Maunya Apasih?

1247 Kata
“Aaaaa— astaghfirullahaladzim, kenapa Gus Zeehan masuk ke kamarku?” Salwa berteriak sembari menutup wajahnya menggunakan selimut saat melihat suaminya dalam keadaan bertelanjang d**a. Keringat masih bercucuran membasahi kening juga d**a bidangnya. Pertanda jika Gus Zeehan baru selesai berolahraga. “Diam Salwa! Jika kamu terus berteriak orang-orang akan berbondong-bondong datang ke sini. Mereka pasti menganggap aku telah melakukan hal yang tidak-tidak pada mu.” “Gus Zeehan tolong pakai baju dulu. Aku ingin ke kamar mandi.” “Memangnya ada hubungan apa antara baju dan kamar mandi?” “Ih— Gus Zeehan jangan pura-pura seperti orang bodoh. Cepat pakai bajunya atau pergi dulu dari kamar ini.” “Aku tidak akan melakukan keduanya. Ini kamarku dan aku bebas melakukan apapun. Lagi pula semalam kita juga tidur satu ranjang.” Salwa membelalakkan kedua matanya. Sangking nyenyak tidurnya, dia sampai tidak sadar jika suaminya semalam kembali ke dalam kamar dan tidur di sebelahnya. Padahal di dalam kontrak pernikahan telah tertulis jika mereka tidak boleh tidur satu kamar maupun satu ranjang. Jika dalam keadaan terpaksa salah satu dari mereka harus tidur di sofa. Lalu semalam apa yang dilakukan oleh Gus Zeehan? “Kita tidak boleh tidur berdua apalagi seranjang. Kenapa Gus Zeehan tidak membangunkanku atau tidur di sofa?” “Aku sudah membangunkanmu tapi tidurmu seperti kerbau. Saking nyenyaknya sampai mengorok dan tidak mau bangun.” “Tidak mungkin aku ngorok! Gus Zeehan jangan mencoba memfitnahku ya.” “Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang pasti suara ngorok mu sangat menggangguku. Hingga aku tidak bisa tidur dan memutuskan berolahraga sejak pukul 03.00 pagi.” Salwa merutuki kebodohannya sambil memukul-mukul bantal. Bisa-bisanya dia ngorok saat tidur dengan sang suami. Ah— lagi pula Gus Zeehan juga salah. Dia yang membuat kontrak pernikahan dan dia juga yang melanggarnya. Terpaksa Salwa turun dari ranjang dengan mata tertutup. Suaminya benar-benar tidak mau memakai baju maupun pergi dari kamar lebih dulu. Malah duduk di sofa yang letaknya persis di depan pintu kaca dan menghubungkan antara teras dan balkon. “Dasar aneh! Tiba-tiba pulang tanpa memberi kabar lebih dulu, sesampainya di rumah marah-marah tidak jelas dan melanggar aturan yang telah dibuatnya sendiri,” gerutu Salwa saat mencuci muka. Karena dia sedang mendapatkan tamu bulanan, tidak perlu bangun untuk sholat subuh, rencananya ingin bersantai sejenak sebelum membantu di dapur. Kini rencana tinggal rencana belaka, karena sang suami berkeliaran di dalam kamar tanpa memakai pakaian, hanya mengenakan celana dalam super ketat. “Mau ke mana Salwa?” “Mau bantu-bantu di dapur. Sarapan Gus Zeehan nanti akan disiapkan oleh Bibik.” Setelah menjawab Salwa berlari menuju ke arah pintu tanpa mau melihat sang suami. Sayangnya gerakannya kalah cepat dengan Gus Zeehan. Tubuh kecilnya kini telah berada dalam dekapan suaminya. “Istriku itu kamu bukan Bibik. Jadi yang harus membuatkan sarapan siapa, hm?” Tubuh Salwa seketika membeku dan tidak dapat digerakkan sedikitpun. Kedua matanya dipejamkan untuk menetralkan degub jantung yang mulai menggila. Ini kali pertama gadis itu dipeluk oleh pria selain Abi Hasbi. Tangan besar Gus Zeehan melingkar pada perutnya. Hangat nafas menerpa tengkuk Salwa hingga membuat bulu kuduk nya berdiri Apa yang harus dilakukan oleh gadis itu? Jika tak segera kabur dia akan pingsan saking gugupnya. “Gus— tolong lepaskan aku,” ujar Salwa susah payah. “Jawab pertanyaanku Salwa!” “Aku yang akan membuatkan sarapan untuk Gus Zeehan. Tapi lepaskan dulu biar aku bisa bergerak.” Bukannya melepaskan Gus Zeehan justru semakin mengeratkan pelukannya pada Salwa. Bibirnya mengecup puncak kepala istrinya itu dengan lembut. ‘Gus Zeehan maunya apa sih?’ Tanya Salwa dalam hatinya. Semalam datang marah-marah. Pagi hari bersikap aneh. Melanggar hal-hal yang dilarang dalam kontrak pernikahn. “Gus— Eyang Uti pasti mencariku. Soalnya aku sudah janji mau membantu beliau menyiapkan kamar untuk keluarga jauh yang akan menginap.” “Beliau tidak akan berani mengganggu pengantin baru. Salwa— aku lapar.” Lapar ya makan bukannya mengendus tengkuk sang istri. Gus Zeehan bersikap aneh. Wajar jika Salwa sampai ketakutan dengan kelakuannya. “Aku ngantuk tapi tidak bisa tidur Salwa.” lagi-lagi Gus Zeehan merengek seperti anak kecil. “Ya Sudah, kalau begitu Gus rebahan dulu. Biar aku buatkan bubur ayam dan minuman hangat. Siapa tahu setelah sarapan bisa tidur nyenyak.” “Ikut— aku khawatir kamu kabur dan meminta Bibik yang membuat sarapan.” Akhirnya, Salwa turun ke lantai bawah bersama dengan sang suami. Tubuh mungilnya seperti ketempelan jin mecum. Lengan kokok suaminya melingkar posesif pada pinggangnya. Dan, penampilan Gus Zeehan pun masih sama. Enggan memakai pakaian dengan alasan gerah dan belum mandi. Untungnya Bibik yang ditugaskan bersih-bersih dan masak sedang membantu di dapur Bu Nyai. Jadi tak ada yang melihat penampilan suami Salwa pagi ini. *** “Suami mu tidak ikut ke sini, Nak?” “Masih tidur, Eyang eh baru tidur lebih tepatnya.” “Tumben pagi-pagi tidur. Lagi gak enak badan?” Salwa menggeleng. “Alhamdulillah, Gus Zeehan dalam kadaan sehat, Eyang. Katanya sih semalam gak bisa tidur.” “Kebanyakan mikir kerjaan jadi kumat penyakitnya. Nanti malam kalau masih sulit tidur tolong dibantu ya, Nak.” Bantu? Bagaimana caranya membantu orang yang terkena insomnia? Lagipula nanti malam Salwa tidak akan mau satu kamar dengan Gus Zeehan lagi. Pria itu sangat mengerikan saat berada di rumahnya sendiri. Tidak suka memakai baju dan dengan percaya diri berkeliaran tanpa rasa sungkan. Selesai menyiapkan kamar untuk para saudara jauh, Salwa menuju ke dapur, ingin membantu Mbak Yanti menyiapkan makanan yang akan dibagikan pada para tetangga. Saking asiknya memasak sambil ngobrol dengan para Mbak santri yang mengabdikan diri pada Bu Nyai, tak terasa sudah waktunya makan siang, Salwa pun bergegas pamit pulang ke rumahnya. “Denger-denger Gus Zeehan pulang. Apa benar itu, Wa?” “Iya, Mbak. Kemarin malam pulangnya.” “Tumben kamu gak cerita.” “Aku juga gak tahu kalau beliau akan pulang, Mbak.” “Kasih kabar aja gak mau. Keterlaluan Gus Zeehan.” Salwa mengajak Mbak Yanti melipir sebentar ke belakang dapur. Dia ingin menceritakan keanehan dari suaminya itu. Setelah memastikan tidak ada orang disekitar mereka. Salwa pun mulai bercerita. “Padahal pas malam pertama beliau memilih tidur diatas sofa. Kenapa semalam malah tidur seranjang denganmu? Memang aneh banget, Wa.” Mbak Yanti masih memanggil Salwa dengan panggilan nama tanpa embel-embel. Permintaan langsung dari istri Gus Zeehan. Padahal semua orang kini telah memanggil dengan panggilan Ning Salwa. “Sampai rumah langsung marah-marah. Katanya aku gak mau jemput beliau di bandara. Terus pesan dan panggilan gak aku jawab dan paling parahnya lagi— insomnia kumat aku yang disalahkan.” “Kayak balita lagi tatrum aja. Yang sabar ya, Wa. Sekarang lebih baik kamu buruan balik rumah. Sebelum Gus Zeehan ngomel lagi. Bawa saja sayur dan lauk biar kamu gak usah masak.” “Mana mau Gus Zeehan, Mbak. Setelah sarapan minta sup ayam kampung untuk makan siang. Sebelum bantu-bantu di sini aku sudah masak jadi tinggal memanaskan jika beliau mau makan.” “Kangen masakan istri kali, Wa—” “Makan masakanku aja belum pernah. Ada-ada saja kamu, Mbak.” “Oh, iya, kah?” “Hm, seingatku sih belum pernah.” Salwa bergegas kembali ke rumahnya setelah mencurahkan kegundahan hatinya pada sahabatnya. Melangkahkan lebar kedua kakinya menyusuri taman bunga yang terlihat sangat cantik. Entah mengapa Salwa merasa jika Gus Zeehan sengaja membuat jalan setapak untuk dirinya. Jalan itu hanya dilewati orang-orang tertentu. Tak banyak Mbak Santri yang bisa lewat sana. Karena jalan menuju ke pondok putri ada sendiri. “Salwa darimana kamu? Suamimu kelaparan dan kamu pergi tidak tahu waktu—”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN