Salwa bergegas menyiapkan makan siang untuk Gus Zeehan yang sejak tadi tak berhenti mengomel. Telinganya dia tulikan seolah semua yang dikatakan oleh suaminya adalah sebuah nyanyian indah menenangkan hati.
Pasalnya di rumahnya kini tak hanya ada sang suami melainkan sekretarisnya juga. Salwa merasa menjadi pembantu disana. Tanpa tahu sopan santun, Danila minta disediakan air hangat untuk mandi setelah makan siang. Cuaca di Magelang sangat dingin dan dia terbiasa berendam sebelum mandi.
Masalahnya bathub hanya ada di dalam kamar utama. Kamar yang ditempati oleh si empunya rumah.
Salwa sudah menjelaskan pada sekretaris suaminya itu. Namun, Danila tak mau tahu. Malah mengadu yang tidak-tidak pada Gus Zeehan.
“Biarkan Danila meminjam kamar mandi mu, Salwa. Toh, dia tidak akan membawa pulang bathtub. Kasihan dia baru saja melakukan perjalanan jauh. Belum sempat istirahat langsung mengerjakan setumpuk pekerjaan,” ujar Gus Zeehan.
Salwa malas menjawab. Dia pun memilih pergi meninggalkan rumahnya. Tugas mengurus suami telah dilakukan. Jika soal Danila mau berendam itu bukan urusannya.
“Tidak sopan! Apa perempuan seperti itu yang membuatmu tergila-gila Zeehan?” Tanya Danila dengan wajah kesal.
“Jangan bicara sembarangan! Cepatlah mandi dan gunakan kamar mandi di kamar tamu,” titah Gus Zeehan.
“Tapi aku butuh berendam—” rengek sang sekretaris.
“Justru kamu yang tidak sopan jika memakai kamar mandi tuan rumah. Pakai saja water heater agar tidak kedinginan.”
Danila berlalu meninggalkan Bos-nya yang masih asik menikmati sup ayam kampung buatan istrinya. Sepertinya jika belum habis Gus Zeehan tidak akan berhenti makan.
***
Sore hari, Salwa mendapatkan kabar dari Bu Diana tentang kesehatan Abi Hasbi. Tiba-tiba beliau muntah-muntah setelah minum obat. Padahal Dokter mengatakan jika kondisinya mulai membaik.
Betapa paniknya gadis itu hingga berlarian menuju ke rumahnya lewat pintu samping. Setelah menjadi menantu pemilik pondok— Pak Yai membuat pintu yang menghubungkan antara pondok dan kediaman orang tua Salwa. Tujuannya agar menantunya itu lebih mudah jika ingin mengunjungi Abinya.
“Kenapa Bapak jadi seperti ini, Bu?” Tanya Salwa saat melihat Abi Hasan kesulitan bicara.
“Saya juga tidak tahu, Ning— Abi saat makan malam masih bisa bicara dan kondisinya juga baik-baik saja,” jelas Bu Diana.
Pak Reno menyeka tubuh Abi menggunakan air hangat. Lalu membantu memakaikan kemeja dan jaket agar tak kedinginan.
Salwa membantu Pak Reno dengan berlinang air mata. Hatinya diliputi ketakutan. Takut kondisi Abinya semakin memburuk.
“Pak Yai bilang jika besok belum ada perubahan langsung dibawa ke rumah sakit,” jelas Pak Reno.
“Kenapa tidak malam ini saja?” Tanya Bu Diana.
“Dokter keluarga mengatakan jika masih bisa dirawat di rumah. Semoga saja setelah minum obat dan istirahat kondisi Abi membaik seperti sedia kala,” terang Pak Reno.
Salwa memandang wajah Abinya yang kini telah tertidur pulas. Sama sekali tidak seperti orang sakit. Membuat hati gadis itu sedikit tenang.
Tepat pukul 10 malam, Gus Zeehan meminta Salwa untuk kembali ke rumahnya. Katanya ada hal penting yang harus dikatakannya.
Salwa sudah menjelaskan jika Abinya sedang sakit tapi suaminya tidak mau tahu. Tetap memintanya kembali ke rumah.
Dengan berat hati gadis itu kembali ke rumahnya. Sedikit kesal karena suaminya tidak mau menjenguk mertua yang sedang sakit.
Ah— Salwa sepertinya lupa jika Dia tidak pernah dianggap sebagai seorang istri oleh Gus Zeehan. Itu berarti Abinya bukan mertuanya.
“Sudah jam berapa ini Salwa? Makan malam belum ada diatas meja.”
“Aku sudah minta tolong Mbak Yanti untuk menyiapkan makan malam.”
“Kamu yang harus menyiapkannya bukan Mbak Yanti!”
Salwa menghela nafas lelah— suaminya seperti monster. Tak memiliki belas kasihan padanya meski sedang dilanda kecemasan luar biasa.
Tanpa membantah lagi, Salwa menuju ke arah dapur. Membuka lemari es dan mengeluarkan semua bahan-bahan makanan yang ada.
Dia akan memasak semua makanan yang diinginkan oleh suami dan sekretaris tak tahu diri itu.
Satu jam berlalu, kini semua makanan telah tersaji diatas meja makan. Bau harum menguar pada makanan itu hingga membuat Gus Zeehan datang dengan wajah berbinar.
Salwa memilih menyingkir dari sana. Tubuhnya terasa tidak nyaman karena belum mandi sejak sore. Ditambah lagi baru selesai berkutat dengan bahan makanan di depan kompor. Dia akan membersihkan badan dan berganti pakaian bersih. Lalu kembali ke rumah Abinya.
“Tolong buatkan kopi dan coklat hangat. Kami akan lembur malam ini,” ujar Danila ketika Salwa baru sampai di ujung tangga.
“Kamu punya tangan ‘kan?!” Tanya Salwa dengan ketus.
“Bukankah tugasmu disini itu sebagai pelayan?” Tanya balik sekretaris Gus Zeehan.
Salwa terkekeh pelan. Kemudian melanjutkan langkahnya menjauh dari Danila yang menatanya dengan nyalang.
Meski statusnya di rumah itu sebagai istri yang tak dianggap. Salwa tidak mau tunduk dengan Danila yang notabennya hanya seorang sekretaris.
Kedudukannya jauh lebih tinggi. Toh— Pak Yai dan Bu Nyai sangat menyayanginya. Jika terjadi perdebatan pasti dia yang akan dibela.
“Salwa mau ambil pakaian dulu?” Bu Nyai memeluk tubuh cucu menantunya yang kini tengah terisak pelan.
“Tidak perlu, Eyang— biar Mbak Yanti yang membawakannya besok.” Salwa tidak peduli dengan pakaian. Yang paling penting Abinya segera dibawa ke rumah sakit.
Pak Yai Syam memutuskan membawa Abi Hasbi ke rumah sakit saat mengalami kejang hebat. Dokter keluarga tidak bisa datang karena sedang ada praktek di kliniknya.
Tak ada yang berniat memberitahu Gus Zeehan tentang kondisi mertuanya. Begitu juga dengan Pak Reno dan Bu Diana. Padahal keduanya adalah tangan kanannya sejak dulu.
Sesampainya di rumah sakit— Pak Hasbi dibawa ke ruang IGD sebentar, setelahnya dipindahkan ke ruang ICU. Beliau dinyatakan koma oleh Dokter setelah mengalami kejang-kejang hebat.
“Tidak usah diangkat. Aku sudah memberitahu kondisi Abi Hasbi tadi siang tapi beliau sengaja tak mau datang menjenguk,” ucap Pak Reno kala Bu Diana menunjukkan layar ponselnya.
Gus Zeehan menelepon, mencari keberadaan sang istri yang tidak ada di kediaman Pak Yai— sayangnya dia tidak mau menginjakkan kaki di kediaman mertuanya.
“Bagaimana jika hal buruk terjadi pada Abi, Mas?”
“Biar Abah Yai yang mengurusnya,” kata Pak Reno pada sang istri.
Pak Reno dan Bu Diana adalah suami istri. Beliau berdua mengabdikan diri pada mendiang orang tua Gus Zeehan.
Hingga kini mereka belum dikaruniai keturunan. Dan telah menganggap Gus Zeehan sebagai putranya sendiri.
Salwa tidak mau diajak pulang oleh Bu Nyai, berkata jika dia akan menunggu Abi Hasbi hingga sadar, padahal wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya pun panas.
“Salwa pulang dulu. Istirahat di rumah malam ini. Besok pagi baru ke rumah sakit lagi,” bujuk Pak Yai Syam.
“Istirahat di sini saja, Eyang— Mbak Yanti sudah membawa selimut dan tikar,” jawab Salwa dengan suara lirih. Tenaganya terkuras habis setelah menangis.
Tidak ada yang memaksa gadis itu untuk pulang. Pak Yai dan Bu Nyai membiarkan menantunya menginap di rumah sakit.
Namun beliau harus kembali ke pondok karena keluarga jauh sudah mulai berdatangan. Besok rangkaian acara haul Abi dan Umi Gus Zeehan dimulai sejak pagi.
Ting …
Gus Zeehan
“Salwa aku ingin kopi. Pekerjaanku menumpuk. Sebagai istri seharusnya kamu tidak kabur-kaburan seperti ini.”
Air mata Salwa kembali mengalir setelah membaca pesan dari sang suami.
Meski saat ini dia berperan sebagai istri pengganti tak seharusnya diperlakukan seperti pembantu.
Abinya sedang koma di dalam ruang ICU. Seharusnya Gus Zeehan memberinya semangat agar kuat dalam menjalani cobaan. Bukannya minta kopi karena akan lembur dengan sekretarisnya.