Gus Zeehan murka saat mengetahui mertuanya dibawa ke rumah sakit semalam. Dia kecewa karena tak ada satu pun yang memberitahunya. Bahkan istrinya sendiri tak membalas pesan ataupun menjawab teleponnya.
Pak Reno hanya menjawab dengan santai saat disalahkan oleh Bos-nya, bahwa dia sudah memberi kabar mengenai kondisi Abi Hasbi.
Sementara Bu Diana memilih diam. Dia terlalu kesal dengan sikap acuh Gus Zeehan terhadap istrinya dan keluarga, takut ucapannya malah jadi tak terkontrol.
“Salwa di rumah sakit dengan siapa?” tanya Gus Zeehan begitu acara haul orang tuanya selesai.
“Dengan Mbak Yanti. Kami harus kembali ke pondok,” jawab Pak Reno tenang.
Gus Zeehan menyibak rambutnya ke belakang. Wajahnya terlihat lelah—belum tidur sejak kemarin. Pekerjaan dan tanggung jawab di pondok benar-benar menyita waktu. Apalagi, dia nyaris tak berselera makan kalau bukan istrinya yang memasak.
“Kunci mobil,” pinta Gus Zeehan sambil menengadahkan tangan pada Pak Reno. “Aku akan ke rumah sakit sekarang.”
“Sudah malam, hujan deras, dan jalanan menuju kota sangat licin,” kata Pak Reno memberi peringatan.
“Istriku sedang menunggu Abinya sendirian. Apa aku harus menunggu sampai besok?”
“Ning Salwa justru terlihat lebih tenang saat tidak ada suaminya di samping,” sela Bu Diana akhirnya.
“Maksud Ibu apa?” Gus Zeehan memandangnya tak percaya.
“Ning Salwa bilang, dia tidak ingin suaminya datang ke rumah sakit. Abi-nya sedang kritis, dan dia tak sanggup bersandiwara—” jelas Bu Diana.
Gus Zeehan menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata. Tangannya mengepal kuat. Rasa bersalah perlahan menjalar ke dadanya. Semua pesan kasar yang sempat dia kirimkan ke Salwa telah terbaca.
Bagaimana perasaan gadis itu saat membacanya di depan ruang ICU?
“Aku akan ke rumah sakit sekarang!” tegasnya bangkit dari kursinya.
Pak Reno dan Bu Diana refleks mengejar. Mereka tahu, jika Gus Zeehan sudah mengambil keputusan, tak ada satu pun yang bisa mengubahnya—sama seperti sikap keras kepala mendiang Abi-nya.
“Mau ke mana, Zeehan?” Danila menghadang langkah Bos-nya, baru kembali dari rumah Bu Nyai.
“Menemui Salwa di rumah sakit.”
“Baru saja sahabat Abi Zhafran dari Jakarta tiba. Beliau datang hanya untuk menghadiri haul.”
“Bilang saja aku sedang—”
“Tidak bisa! Kamu harus menemuinya,” potong Danila tegas.
Bu Diana langsung menarik Danila ke belakang. “Minggir! Atau kau akan kuhajar!” desisnya tajam.
Danila terdiam, mundur dengan wajah kesal, tak berani melawan.
Bu Diana bergegas masuk ke mobil, meninggalkan sekretaris yang masih berdiri mematung.
“Sialan. Ternyata Zeehan sudah tahu kalau si tua bangka masuk ICU,” gumam Danila lirih, menatap tajam kepergian mobil sang Bos.
***
Di rumah sakit, Mbak Yanti membujuk Salwa agar mau makan malam. Sejak siang tadi, gadis itu hanya menyentuh dua sendok makan sebelum bilang sudah kenyang. Tubuhnya makin lemas, bahkan kesulitan berdiri.
“Jangan pedulikan kata-kata suami jahatmu! Kalau perlu, buang saja ponselmu. Biar dia nggak bisa kirim pesan cacian lagi,” ujar Mbak Yanti geram.
Semua pesan kasar dari Gus Zeehan telah terbaca olehnya. Tak ada yang menyangka, seorang Gus yang dihormati ribuan santri dan masyarakat pondok, bisa melukai hati seorang gadis polos dengan kata-kata keji.
Salwa bukan kabur mencari pria lain. Ia hanya menunggui Abi-nya yang sedang kritis. Ia juga tidak melanggar kontrak pernikahan yang sudah disepakati—bukan pula kelayapan mencari hiburan.
Semua tuduhan itu fitnah semata.
“Mbak—Abi akan sembuh, kan?”
“Tentu. Dokter bilang kondisinya mulai stabil. Tinggal menunggu Abi sadar.”
“Aku takut Abi menyusul Umi. Nanti aku sama siapa?”
Salwa menutup wajah dengan hijab, air matanya tumpah. Hatinya penuh firasat buruk setelah mendengar ucapan suster tadi—peluang Abi Hasbi sembuh sangat kecil.
“Salwa harus yakin Abi akan sembuh. Dulu beliau juga pernah masuk ICU, tapi berhasil pulih, kan?”
“Dulu cuma koma sebentar, Mbak. Sekarang lebih parah.”
“InsyaAllah, Abi kuat.”
Mbak Yanti membelai lembut punggung Salwa yang bergetar. Dalam hati, dia pun memanjatkan doa tulus untuk kesembuhan Abi Hasbi.
Begitu tiba di rumah sakit, Gus Zeehan langsung menemui dokter yang menangani Abi Hasbi. Setelah itu, dia meminta izin menjenguk sang mertua sebentar saja.
“Abi maafkan aku. Perusahaan sedang banyak masalah. Itu sebabnya aku belum sempat pulang. Tapi aku selalu pastikan Salwa baik-baik saja lewat Bu Diana.”
Dengan suara parau, Gus Zeehan mencium tangan Abi Hasbi, menahan tangis. Penyesalan membuncah. Permintaan terakhir sang mertua untuk pulang—justru tak dipenuhinya. Dia malah sibuk dengan dokumen perusahaan.
Entah apa yang ingin disampaikan mertuanya kala itu?
“Pak, waktunya habis,” ujar perawat lembut. Gus Zeehan mengangguk dan keluar dengan hati gundah.
Dari kejauhan, dia melihat Salwa duduk di pojok ruang tunggu keluarga pasien ICU. Tatapannya kosong, wajah pucat, seolah tak menyadari kehadiran sang suami.
“Tidak mau makan, Mbak?” tanya Gus Zeehan, duduk di sebelahnya. Matanya melirik kotak makan yang masih utuh.
Mbak Yanti mengangguk. “Sejak siang hanya makan dua sendok, Gus,” ujarnya.
Pak Reno memberi isyarat agar Mbak Yanti pergi. Dia pun pamit, mengaku hendak ke toilet.
Kini hanya Gus Zeehan dan Salwa yang tersisa. Dia memandangi istrinya dalam diam. Gadis dengan senyum sejuk dan tutur lembut itu masih termenung, belum sadar ada suaminya di dekatnya.
Perlahan, tangan besar Gus Zeehan membelai kepala Salwa, lalu menariknya ke dalam pelukan.
“Salwa—” suaranya tercekat. Dadanya sesak, sulit bernapas.
“Maaf aku nggak sempat bikin kopi. Abi masuk rumah sakit—koma setelah kejang,” bisik Salwa di antara isaknya.
“Seharusnya aku yang minta maaf. Aku kasar padamu hanya karena kamu nggak ada di rumah.”
“Setelah Abi sembuh, Gus bisa layangkan gugatan cerai. Aku yang akan jelaskan soal kontrak pernikahan.”
“Kenapa bicara tentang perceraian, Salwa?”
Salwa melepaskan diri, menyeka air matanya, lalu tersenyum paksa. “Tak perlu khawatir soal Abi. Aku yang akan jelaskan pada Eyang Akung dan Uti.”
“Salwa, aku tidak suka mendengar kata 'cerai'!”
Tanpa bicara, Salwa membuka ponselnya dan menunjukkan pesan dari suaminya.
“Ingat, bulan depan tepat 3 bulan pernikahan kita. Dalam kontrak, kita akan bercerai. Tugasmu menjelaskan pada Abi, Eyang Abah, dan Eyang Yai bahwa kita tak bisa melanjutkan pernikahan.”
Gus Zeehan membaca pesan itu berulang kali. Dia yakin bukan dirinya yang menulis itu.
“Aku nggak pernah kirim pesan ini,” ucapnya lirih, gemetar.
Salwa tetap tersenyum, meski air matanya tak berhenti mengalir. “Tidak usah kasihan padaku. Perceraian tetap terjadi meski aku sedang dalam keadaan terpuruk.”