Abi Hasbi akhirnya membuka mata setelah koma selama empat hari. Beliau kini telah dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Dokter menyatakan jika Abi mengalami stroke berat. Seluruh tubuhnya tidak dapat digerakkan.
Salah seorang Mbak santri mengadu pada Mbak Yanti jika melihat wanita berpakaian seksi dan berambut pirang bicara dengan Abi Hasbi ketika berjemur di halaman rumah.
Mbak Yanti pun menyampaikan informasi penting itu pada Pak Reno dan Bu Diana. Agar terduga penjahat itu segera ditangkap untuk dimintai keterangan.
Pak Reno langsung mengecek CCTV yang mengarah pada halaman rumah kediaman Abi Hasbi. Ternyata benar yang dikatakan oleh Mbak santri itu. Ada seorang wanita asing yang bicara dengan Abi Hasbi cukup lama. Saat itu Pak Reno di suruh Abi membantu mendirikan tenda di halaman pondok pesantren.
“Siapa wanita itu, Pak?!” Tanya Gus Zeehan dengan geram.
“Saya juga tidak tahu. Sepertinya dia bukan warga desa Wonosukas,” jawab Pak Reno.
“Apa ada yang Bapak curigai saat ini?”
“Ada— Danila yang membuat ulah. Dia membayar orang untuk menceritakan tentang kontrak pernikahan yang Gus Zeehan dan Ning Salwa buat. Hingga membuat kondisi Abi Hasbi drop,” terang Pak Reno tanpa ada yang ditutupi.
“Tidak mungkin Danila yang melakukannya. Dia sibuk bekerja sampai tak memiliki waktu istirahat. Lagipula apa untungnya dia menceritakan tentang kontrak pernikahan itu.”
“Maaf, Gus— saya sedang malas berdebat,” ungkap Pak Reno sembari berlalu meninggalkan Gus Zeehan.
Semua orang kini tengah merasa sedih melihat kondisi Abi Hasbi dan Salwa. Meski sudah keluar dari ruang ICU bukan berarti Abi telah sembuh.
Beliau kini tak bisa melakukan apapun. Hanya sekedar minum air dan makan pun harus bersusah payah. Bibirnya sulit di buka dan beliau juga kesulitan menelan makanan.
Tubuh Salwa terlihat semakin kurus. Gadis itu kehilangan banyak berat badannya akibat sering melewatkan waktu makan.
Selama Abinya masuk rumah sakit dia belum sekalipun pulang ke pondok. Kesehatannya pun mulai terganggu. Dia demam namun tidak mau istirahat barang sedetikpun.
Salwa kekeuh ingin selalu berada di samping Abi Hasbi. Bu Nyai sudah merayunya hingga memohon agar mau pulang ke rumah. Tetap saja ditolak dan gadis itu menangis meminta agar tak dijauhkan dari Abinya.
“Gus— jadi kembali ke Singapura?” Tanya Pak Yai Syam saat cucunya duduk disampingnya.
Gus Zeehan mengangguk lemah. Hatinya berat meninggalkan Magelang tapi pikirannya penuh dengan masalah yang sedang terjadi dalam perusahaannya.
Nasib ribuan karyawannya kini sedang dipertaruhkan. Jika masalah tak cepat terselesaikan bisa jadi perusahaan yang dibangun susah payah oleh kedua orang tuanya akan bangkrut.
“Zeehan harus kembali dan melakukan perjalanan bisnis ke Jepang, Abah—”
Pak Yai Syam hanya menganggukkan kepala. Tidak berusaha mengatakan apapun tentang rencana kepergian cucunya.
Sejak dulu Gus Zeehan memang selalu begitu. Enggan berlama-lama tinggal di Magelang. Daripada disalahkan atas hancurnya perusahaan, Pak Yai membebaskan sang cucu melakukan apapun yang di maunya.
Salwa dan Abi Hasbi akan diurus oleh beliau. Tanpa meminta bantuan dari Gus Zeehan yang selalu gelisah selama berada di rumah sakit.
“Eyang Abah, Zeehan janji akan secepatnya kembali ke Magelang setelah semua urusan selesai,” ujarnya lagi.
“Pergilah, Nak. Kembalilah jika kamu ingin. Jangan memikirkan Salwa dan Abi Hasbi karena Eyang yang akan mengurus mereka.”
“Eyang— bukan seperti itu maksud Zeehan. Kali ini perusahaan sedang dalam masalah. Jika tidak segera diselesaikan—”
“Ribuan karyawan akan kehilangan pekerjaan. Dan ratusan anak-anak akan putus sekolah,” lanjut Pak Yai Syam.
Alasan yang selalu digunakan oleh Gus Zeehan agar tidak ditahan oleh Eyang Abah dan Eyang Utinya. Padahal perusahaannya dalam keadaan baik.
Bu Nyai datang— duduk di samping cucunya yang sedang memasang wajah frustasi. Beliau pun berkata, “Kenapa belum ke bandara, Nak? Bukannya pesawat berangkat pukul 10 siang.”
“Eyang Umi tahu darimana?” Tanya Gus Zeehan dengan suara serak.
“Danila yang mengatakan. Segeralah ke bandara— perusahaan sedang dalam masalah serius. Biar Eyang yang menjaga Salwa dan Abi Hasbi.”
Gus Zeehan merasa semua orang tidak menginginkan kehadirannya. Seolah dia menjadi penyebab kesedihan yang dialami oleh Salwa.
Sebelum pergi ke bandara, Gus Zeehan mengajak istrinya ke cafe yang ada di depan rumah sakit.
Awalnya Salwa menolak, setelah Bu Nyai ikut merayu akhirnya gadis itu mau beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan Abinya yang sedang tidur.
“Aku harus kembali ke Singapura, Salwa— untuk berapa lamanya aku tidak bisa memastikan. Namun, aku janji akan berusaha menyelesaikan masalah dalam waktu cepat. Hingga bisa pulang ke Magelang,” terang Gus Zeehan.
“Iya, Gus.”
“Kali ini aku benar-benar dalam masalah, Salwa.”
“Iya—”
Gus Zeehan menghela nafas pelan. Tidak tahu lagi cara membuat istrinya percaya dengannya. “Bu Diana dan Pak Reno akan selalu menjagamu selama di rumah sakit. Aku harap kamu tidak melewatkan waktu makan lagi.”
Salwa hanya menganggukkan kepala sambil menjawab ‘iya’ saat suaminya selesai bicara. Matanya melihat ke arah kanan dan kiri seperti orang yang tengah kebingungan.
Saat Gus Zeehan ingin mengambil tangan Salwa, gadis itu dengan cepat menaruh tangannya dibawah meja.
Keduanya pun terdiam. Gus Zeehan menatap sang istri dengan mata berembun. Sementara Salwa menundukkan kepala sambil meremas tangannya sendiri.
Hingga suara deheman memecah keheningan. Danila datang dengan pakaian rapi. Memberitahu Bos-nya jika sudah waktunya berangkat ke bandara.
“Aku akan mengantar Salwa dulu,” putus Gus Zeehan namun dihalangi oleh sang sekretaris.
“Salwa punya kaki dan tahu jalan ke arah ruang perawatan Abinya,” ujar Danila dengan ketus.
Tanpa berkata apapun Salwa meninggalkan dua orang yang kini masih beradu mulut. Waktunya yang sangat berharga tak akan dibuang-buang hanya untuk mendengarkan perdebatan tidak penting.
“Zeehan— kamu berubah setelah menikahi gadis kampung itu!” bentak Danila.
“Jaga bicaramu Danila! Seharusnya kamu tahu batasan. Sahabatmu kabur di hari pernikahan kami. Hingga kini tak ada kabar darinya. Lalu kamu menyalahkan Salwa yang sudah menyelamatkan nama baik keluargaku?”
“Kalian hanya menikah—”
“Danila!” seru Gus Zeehan ketika sekretarisnya akan membicarakan tentang kontrak pernikahannya. “Ingat statusmu itu hanya seorang sekretaris. Jangan melebihi batasanmu!”
Gus Zeehan berlari meninggalkan cafe. Mengejar sang istri yang sudah berada di depan rumah sakit.
Langkah kakinya diperlebar agar bisa mengantar gadis yang kini sedang dalam keadaan terpuruk.
“Salwa—” Gus Zeehan menarik lengan istrinya ketika ada seorang pria yang sengaja ingin menabraknya.
“Maaf, Pak,” ujar Pria itu.
“Lain kali kalau jalan pakai mata.” Gus Zeehan geram dengan pria yang mencuri pandang ke arah sang istri.
Salwa memeluk lengan suaminya. Dia risih ditatap oleh pria asing yang memindai tubuhnya dari atas kepala hingga ujung kaki.
“Ayo antar aku ke ruang perawatan Abi, Gus,” pinta Salwa.
“Iya, yuk—” ajak Gus Zeehan.
Gus Zeehan melepaskan pelukan Salwa, lalu melingkarkan lengannya pada pinggang istrinya. Berjalan ke arah lift yang akan mengantar mereka ke lantai 6.
Kotak besi itu hanya berisi dua orang saja. Salwa dan Gus Zeehan. Masih sepi karena belum waktunya jam besuk.
Salwa mengambil sesuatu dari dalam saku gamisnya. Sebuah surat yang dimasukkan ke dalam amplop putih. Lalu memberikannya pada sang suami.
“Saat Gus Zeehan berkata tidak bisa pulang ke Magelang, Abi menulis surat itu, aku disuruh mengirim ke alamat tempat tinggal Gus— tapi belum aku kirim karena tidak tahu tempat tinggal Gus Zeehan,” terang Salwa.
“Ya Allah, Salwa— kenapa baru bilang sekarang?” Tanya Gus Zeehan.
“Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara bicara dengan Gus Zeehan,” jawab gadis itu dengan menatap lekat kedua mata elang suaminya.