Bab 7. Semakin Nekat

1228 Kata
Gracie mengernyitkan dahinya, ia merasa bingung dan heran dengan sikap Drake yang seolah tak peduli dengan ucapan yang keluar dari mulutnya. Padahal, ia baru saja mengatakan sesuatu yang seharusnya bisa memancing emosi Drake, tetapi kenapa justru pria itu malah tersenyum dan semakin mendekat? Ia mencoba untuk tidak panik ketika Drake semakin nekat mendekat, bahkan hendak mencium bibirnya. Dengan buru-buru, Gracie menutup mulutnya dan memberikan tatapan tajam. "Jangan melakukan hal di batas kewajaran, atau saya akan teriak!" ancamnya. Sama sekali tak merasa takut, dengan santainya Drake mengancam balik, "Coba saja kalau kamu berani, justru aku akan memberitahu semua orang tentang apa yang sudah kita lakukan pada malam itu." Gracie merasa panik, tentu saja ia tidak ingin hal itu terjadi. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Laki-laki ini benar-benar b******n!" batin Gracie dengan perasaan kalut. "Nanti kita bicarakan lagi, tapi sekarang saya mohon kamu lepaskan saya dulu. Ada yang datang, saya tidak mau ada yang salah paham terhadap saya," ucapnya dengan hati-hati. Ia berusaha untuk menenangkan diri dan berpikir jernih menghadapi situasi ini. "Aku tidak mau! Kamu baru saja mengatakan jika permainanku sangat buruk. Aku tidak percaya, aku akan membuktikan kembali kemampuanku supaya kamu mengerti maksud dari kata 'buruk'," tukas Drake, sambil menarik pinggul Gracie, mendekat padanya. "Maaf, Pak. Kita sedang berada di kantor dan ini jam kerja. Jadi, jangan berbuat hal-hal yang tidak pantas. Tolong lepaskan saya," ujar Gracie, berusaha mengatur napas yang mulai tercekat. "Oh, jadi boleh kalau di luar kantor?" balas Drake dengan nada sarkastik, namun tak ada tanggapan dari Gracie. Tok, tok, tok! Suara ketukan pintu terdengar kembali, mengalihkan perhatian mereka. Akhirnya, Drake melepaskan Gracie dan duduk santai di atas sofa yang ada di dalam ruangan itu. Sedangkan Gracie segera menuju ke pintu dan membukanya. Ada sesuatu yang membuatnya terkejut, ternyata pintu itu tidak terkunci sebagaimana yang Drake katakan tadi. "Dinda, ada apa? Kenapa kamu tidak masuk saja?" tanya Gracie yang berdiri di depan pintu. "Maaf, Bu. Saya takut mengganggu. Pasti Ibu sedang membahas urusan pekerjaan bersama Pak Drake," ujar Dinda dengan rasa was-was. "Oh, benar. Kami memang sedang membahas pekerjaan," sahut Gracie gugup. "Ada apa, Din? "Saya hanya mau mengantar yang tadi Ibu minta. Mungkin Bu Gracie memerlukannya sekarang." Dinda mengatakan maksud kedatangannya seraya menyerahkan berkas yang berisi beberapa referensi busana. "Oh, iya. Kamu benar, saya memang membutuhkan ini. Terima kasih ya, Din. Nanti kamu siapkan saja supaya Pak Drake bisa melihat langsung dan memilih mana yang diinginkannya," ucap Gracie. Ia merasa lega karena Dinda tak menyadari kegugupannya. "Iya, Bu. Kalau begitu, saya permisi dulu," pamit Dinda dan segera pergi. Sementara Gracie kembali masuk ke dalam ruangannya dan menghampiri Drake. Ia mencoba berbicara dengan nada santai, seolah tak terjadi apa-apa. "Pak Drake, Anda bisa lihat sendiri mana yang cocok untuk model kamu," kata Gracie sembari menyerahkan berkas yang baru saja diterimanya. Gracie berusaha untuk melupakan kejadian yang baru saja terjadi, namun ternyata tidak semudah itu. Drake bukan mengambil berkas tersebut, dia malah menarik tangan Gracie hingga wanita itu pun terjatuh di atas pangkuannya. Gracie merasa kaget luar biasa, matanya terbelalak saat mata mereka saling menatap, jantung berdebar kencang tak menentu saat ia berdekatan dengan Drake, bahkan tidak pernah sedekat itu dengan suaminya sendiri. Rasa kehilangan kendali terasa menyerang hati Gracie. "Tidak, ini tidak boleh terjadi," batin Gracie sebelum cepat-cepat bangun. PLAK! Dengan emosi yang memuncak, Gracie menampar pipi Drake dengan keras. Namun, bukan marah yang tersirat di wajah Drake, pria itu malah tersenyum sinis. "Apa seperti ini sikap Bu Gracie terhadap klien, menampar dengan semaunya?" sindir Drake. Gracie langsung membela diri, "Saya juga tidak akan melakukannya jika klien saya itu punya etika!" Dia melotot dan menggigit bibir kecil. "Apa maksud kamu dengan sikap seperti tadi? Apa sebenarnya yang mau kamu katakan?" tanyanya dengan suara gemetar. "Aku menginginkanmu," sahut Drake dengan penuh percaya diri. "Tadi kamu yang bilang sendiri kalau permainanku di atas ranjang sangat buruk. Tapi, kenapa malam itu kamu sangat menikmatinya?" Ucapan Drake yang seakan mengejek, membuat Gracie merasa terpojok dan semakin emosi. "Cukup! Jangan bahas soal itu lagi. Kamu ini kenapa, sih? Bukannya berhenti mengganggu saya, tapi kamu malah semakin nekat dan terus saja membahas soal itu? Apa kamu ini tidak punya pekerjaan lain? Saya tegaskan kepada kamu, saya ini adalah seorang wanita yang sudah bersuami. Jadi lebih baik kamu berhenti mengganggu saya, kecuali soal pekerjaan. Apa yang terjadi di malam itu hanyalah kesalahan. Jadi, saya mohon dengan sangat, kamu lupakan semuanya. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita." Wanita itu merasa kesal dengan sikap Drake yang semakin nekat. Sejujurnya, di dalam hati Gracie, ada sedikit rasa gugup bercampur dengan penyesalan. Karena ucapan itu, entah mengapa kali ini Drake merasa sangat emosi. Ia beranjak dari tempat duduknya, lalu mendekati Gracie dan mencengkram dagunya dengan erat. "Kalau kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu, lebih baik jangan dipaksakan. Aku bisa memberikanmu kebahagiaan yang sesungguhnya." Mendengar kata-kata Drake, Gracie seolah terhipnotis, ia merasa terjebak dalam belitan rayuan dan keinginan terlarang. Sejenak ia tidak bisa berkutik, seakan kehilangan daya melawan ketika Drake semakin mendekatinya dan siap untuk menciumnya. Namun untungnya, tepat ketika tinggal sedikit lagi bibir Drake menyentuh bibirnya, Gracie pun tersadar dan mendorong tubuh pria tersebut hingga jarak mereka menjauh. "Maaf, Pak Drake, saya tidak mengerti apa maksud ucapan Anda. Lebih baik sekarang kita lihat langsung beberapa busana yang sudah disiapkan oleh asisten saya, sesuai dengan yang ada di berkas itu. Anda bisa langsung melihat dan memilihnya. Silakan, Pak!" Gracie mengalihkan ke arah pembicaraan lain dan sudah pasti lebih penting karena terkait pekerjaan. Drake pun tak menolak, ia sangat senang melihat ekspresi Gracie yang seolah bimbang dengan perasaannya. Lalu, dia mengikuti wanita tersebut keluar dari ruangan. *** Meski sudah berada di rumah, pikiran Gracie masih saja terlarut dalam kenangan saat di perusahaan bersama Drake. Ia benar-benar tak menyangka jika pria itu semakin nekat dan terang-terangan mendekatinya. Padahal, Gracie sudah mengatakan bahwa ia telah berstatus istri orang, namun sepertinya itu sama sekali tidak membuat Drake mengendurkan niatnya. Dia terhanyut dalam kegelisahan, hingga di saat itu Alfa baru saja pulang dari perusahaan dan membuat Gracie tersadar dari lamunannya. Ia bergegas menyambut suaminya dan ketika hendak membuka jas yang dikenakan oleh Alfa, respons pria tersebut sungguh di luar dugaan. "Kamu tidak perlu repot-repot, aku bisa melakukannya sendiri," ungkap Alfa, menolak bantuan Gracie. "Kamu ingat 'kan, tentang perjanjian di kontrak pernikahan kita? Lakukan saja urusanmu dan aku juga melakukan urusanku sendiri. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot melakukan kewajibanmu sebagai seorang istri," tegasnya. Rasa sedih dan kecewa mulai menyelimuti hati Gracie karena ucapan Alfa begitu tajam, seolah-olah menusuk ke relung hatinya. "Kak, bukannya tadi kamu meminta kesempatan untuk bisa menjadi suami yang baik? Tapi kenapa, kamu tidak memberikan aku kesempatan untuk menjadi istri yang baik juga?" ujar Gracie dengan perasaan terluka. Alfa menjelaskan, "Aku memang mengatakannya seperti itu, tapi bukan berarti harus sekarang juga, Grac. Sudah aku katakan, aku belum terbiasa dengan perubahan ini. Dari persahabatan yang dulu terjalin, sekarang menjadi pasangan suami istri, rasanya seperti mimpi." Alfa memohon agar Gracie lebih memahami perasaannya. Dengan hati berat, Gracie menyetujui permintaan suaminya. "Oke, kalau memang itu mau kamu. Aku tunggu kamu untuk makan malam bersama kakek," katanya. Sebelum beranjak pergi, Alfa mengingatkan Gracie, "Oh ya, ada satu hal yang ingin aku katakan." Gracie menatap Alfa dengan penuh penasaran, apa yang ingin diungkapkan oleh suaminya itu? Alfa kemudian menjelaskan tentang rencana yang sudah dipikirkannya matang-matang dan membuat Gracie merasa terkejut serta bertanya-tanya. "Apa? Tapi kenapa dan apa harus secepat itu?" Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN