Bab 8. Keputusan Yang Sulit

1117 Kata
Gracie merasa terkejut, bahkan hampir tak percaya saat Alfa mengajaknya pindah rumah. Yang lebih mengejutkan lagi, suaminya itu mengatakan ingin mereka keluar dari rumah kakeknya, tempat di mana Gracie dibesarkan, secepatnya. Bagi Gracie, ini adalah keputusan yang sulit. Bagaimana mungkin? Di sinilah ia tumbuh besar dan banyak sekali kenangan bersama kedua orang tuanya saat masih hidup. Satu hal lagi, bagaimana mungkin ia tega meninggalkan kakeknya yang sudah tua dan sakit-sakitan? Membuatnya merasa sangat berat untuk menerima keputusan Alfa. Apalagi, hal itu juga tidak ada di dalam perjanjian surat kontrak pernikahan yang sudah Alfa buat, jadi ia bisa membantahnya. "Kamu serius mau mengajak aku pindah dari sini dan harus secepat itu? Kamu nggak memikirkan bagaimana nasib kakek nanti?" tanya Gracie, mencoba memastikan apa yang sedang dipikirkan suaminya. "Iya, aku serius. Apa aku terlihat sedang main-main? Aku harap kamu mengerti. Bukannya aku tidak memikirkan kakek, tapi kita ini sudah menikah. Aku hanya ingin kita hidup mandiri, tanpa siapapun," ucap Alfa dengan tegas. "Lagi pula, kakek tidak sendirian di sini. Ada ART yang urus kakek." Gracie merenung, mencoba memahami alasan di balik keputusan Alfa. Namun, perasaan terjepit antara keinginan suaminya dan kenyataan bahwa kakeknya membutuhkan dukungan membuatnya merasa bingung. "Tapi kakek juga nggak pernah mencampuri urusan rumah tangga kita, bahkan kakek nggak tahu bagaimana hubungan pernikahan kita," ujar Gracie dengan nada pasrah, merasa terpukul mendengar kata-kata itu. "Justru itu, sebelum kakek mengetahui bagaimana hubungan kita sekarang, aku harus mengambil keputusan yang tepat," ujar Alfa. "Kamu itu istriku, seharusnya kamu mendukung keputusanku. Kalau kamu tidak mau, oke, aku yang akan pindah sendiri dan kamu tinggal saja di sini bersama kakek." Gracie terkejut dengan keputusan yang Alfa ambil. "Kamu mau pisah rumah sama aku?" Dia bertanya dengan air mata yang mulai menggenang di matanya. Tanpa ragu, Alfa menjelaskan keputusannya. "Ya, mau bagaimana lagi? Kamu adalah istriku, tapi kamu tidak mau mengikuti keinginanku dan lebih memilih tinggal bersama kakekmu di sini. Kamu juga tidak mau 'kan, kalau aku ajak kamu tinggal di rumah orang tuaku? Jadi lebih baik kita tinggal di rumah sendiri saja. Bukankah itu lebih adil?" Alfa mencoba menenangkan Gracie, "Kamu tenang saja, walaupun kita nanti sudah pindah, kamu tetap bisa datang ke sini kapanpun kamu mau. Aku tidak akan melarangmu. Yang pasti, aku ingin kita hidup mandiri. Ini demi masa depan kita, Grac." Keputusannya sudah bulat, tak dapat lagi digoyahkan. Sejenak, Gracie terdiam dan kembali merenung. Masih bingung, bagaimana ia harus mengambil keputusan yang sulit, tak tahu apakah mengikuti keinginan Alfa itu adalah hal yang tepat atau malah akan menambah beban dalam kehidupan mereka sebagai suami istri? Memang sebagai seorang istri ia harus mengikuti kemana suaminya pergi, namun bagaimana dengan Lucas? Gracie tak tega jika meninggalkan kakeknya itu sendirian. Gracie menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. Setelah melewati pertimbangan yang berat, akhirnya ia pun mengambil keputusan tersebut. "Oke, aku setuju. Tapi, kita harus bicarakan dulu ya, sama kakek. Mudah-mudahan kakek mau mengerti dan mengizinkan aku keluar dari rumah ini. Karena sejak awal, Kakek nggak membolehkan aku pindah dari sini. Kakek ingin kita tinggal di sini karena aku keluarga kakek satu-satunya," ucap Gracie dengan lembut. Alfa menatap istrinya dengan serius, kemudian mengangguk pelan. "Oke, bila perlu biar aku yang bantu bicara. Aku yakin, kakek pasti akan mengerti." Iya, Kak. Biar aku samperin kakek dulu," sahut Gracie, membulatkan tekad. Alfa menganggukan kepalanya lagi, kemudian bergegas menuju ke kamar mandi. Sementara Gracie, sambil melangkah keluar dari kamarnya, ia berbisik dalam hati, "Maafkan aku, kek, tapi mungkin ini yang terbaik. Mungkin saja saat kami tinggal berdua nanti, sikap Kak Alfa bisa berubah. Mungkin dia bisa mencintai aku dan kami bisa hidup bahagia seperti harapan kakek, mama, dan juga papa." Dengan langkah yang mantap, Gracie melanjutkan perjalanannya mencari keberadaan Lucas. Ternyata, sang kakek berada di teras samping rumah. Tanpa ragu, ia pun segera menghampiri pria tua itu. "Kek, Kakek ngapain di luar malam-malam seperti ini? Nanti Kakek masuk angin, loh," ucap Gracie dengan penuh perhatian. "Kamu ini, sama saja seperti ibu kamu, selalu melarang Kakek duduk malam-malam di luar. Padahal, Kakek 'kan hanya mau menikmati udara segar," ujar Lucas. "Iya, tapi jangan malam-malam seperti ini, Kek. Ayo masuk, kita makan malam. Kak Alfa juga sudah pulang dan dia lagi mandi sebentar," kata Gracie dengan lembut. "Iya, tadi Kakek juga lihat Alfa baru saja pulang," sahut Lucas. Di saat itu, dia melihat raut wajah cucunya tampak menyembunyikan sesuatu. Dengan rasa penasaran, Lucas pun bertanya, "Kamu kenapa? Ada yang mau kamu sampaikan kepada Kakek?" Gracie menatap Lucas dengan ragu, ia pun mengucap, "Kek, seandainya aku dan kak Alfa pindah dari rumah ini, apa kakek setuju?" tanyanya lirih, membuat Lucas merasa terkejut. "Kenapa? Apa kalian tidak betah setelah menikah tinggal di sini? Apa Kakek mengganggu kalian?" Lucas bertanya dengan nada skeptis. Tak ingin Lucas salah paham, Gracie segera menjelaskan, "Sama sekali bukan itu masalahnya, Kek. Kami hanya ingin mencoba hidup mandiri, tanpa bergantung kepada siapa pun, termasuk Kakek." Gracie mencoba menjelaskan dengan hati-hati, berharap kakeknya bisa mengerti dan menerima keputusan mereka dengan lapang d**a. Namun Lucas tak menjawab, membuat Gracie merasa terjepit. "Kek, aku minta maaf, ya. Kalau Kakek nggak setuju, nggak apa-apa kok. Aku akan tetap di sini bersama kakek," ucapnya dengan perasaan yang bercampur baur. *** Di tempat lain, Drake tengah asyik menghisap sebatang rokok sambil merenung, pikirannya terus dihantui oleh wajah cantik seorang wanita yang tak pernah bisa ia lupakan. Begitu larut dalam lamunan, ia terkejut saat tiba-tiba sang kakek, Carlos, merampas rokoknya dan menginjaknya hingga padam. Ketegangan di antara mereka semakin terasa dan dalam hati, Drake merasa kebingungan yang semakin dalam. "Kakek, apa yang sedang Kakek lakukan?" tanya Drake, menatap heran. "Kamu masih bertanya, apa yang Kakek lakukan? Seharusnya Kakek yang bertanya, Drake. Ini adalah ketiga kalinya, kamu tidak datang pada kencan buta yang sudah Kakek atur. Apa maumu sebenarnya? Kamu sengaja, mau buat Kakek malu?" tanya Carlos dengan tatapan tajam. "Ya, sudah jelas karena aku tidak menginginkannya, Kek. Apa kakek lupa? Aku sudah mengatakan kalau aku sudah memiliki wanita yang aku cintai. Cepat atau lambat, aku pasti akan mengenalkannya kepada Kakek," jawab Drake dengan nada tegas. Dia merasa tidak perlu menjelaskan lagi, tetapi ia bisa merasakan kekhawatiran Carlos yang mulai memuncak. "Jangan kamu pikir, Kakek tidak tahu jika ini adalah akal-akalanmu saja untuk menghindar dari perjodohan. Kalau memang benar ucapanmu itu, beritahu Kakek, siapa dia? Siapa keluarganya dan bebet bobotnya harus jelas!" ujar Carlos dengan nada tinggi. "Kakek tenang saja, mana mungkin aku memilih pasangan yang sembarangan. Aku sudah yakin, dia yang pantas untukku." Kata-kata itu meluncur dari mulut Drake seolah menyatakan tekad yang telah ia buat. Dia melanjutkan, "Walaupun dia …." Drake menghentikan ucapannya, menyadari bahwa mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengungkap rahasia itu. Namun, hal itu justru membuat Carlos merasa semakin penasaran. "Dia apa?" Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN