Meskipun Carlos terus mendesak untuk mengetahui maksudnya, namun Drake hanya diam. Pikirannya berkecamuk, ia merasa jika saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mengungkapkan tentang wanita yang membuatnya tertarik.
"Sudahlah, Kek, belum saatnya untuk membahas soal itu. Sekarang, lebih baik Kakek istirahat. Ini sudah malam dan tidak baik untuk kesehatan Kakek," ujar Drake, mengalihkan topik pembicaraan.
Carlos malah menyerang, "Kamu tidak usah berpura-pura peduli terhadap Kakek! Kalau kamu memang peduli, seharusnya kamu menikah sesuai keinginan Kakek! Apa kamu ini sengaja ingin melihat Kakek mati lebih cepat?"
Tanggapan tersebut membuat Drake terkejut. Kemudian dia menjawab, "Kek, sudahlah. Bukannya aku tidak peduli, tapi pernikahan itu bukan satu-satunya cara untuk membuktikan rasa sayangku terhadap Kakek. Lagi pula, hidup dan matinya seseorang itu tidak ada yang tahu." Drake menghela napas sejenak, lalu melanjutkan ucapannya dengan nada santai, "Buktinya sampai saat ini Kakek masih hidup, 'kan? Kalau sakit-sakit, sudah tua wajah lah, Kek." Dia berusaha menenangkan suasana hati kakeknya.
"Dasar cucu durhaka! Justru, sikapmu yang seperti ini lah yang akan mempercepat kematian Kakek," ucap Carlos dengan wajah kesal. "Begini saja, kalau kamu tidak datang besok pada kencan buta yang sudah Kakek atur kembali, Kakek akan mencabut seluruh warisan untukmu. Kamu tidak akan mendapatkan sepeserpun dan kamu pasti akan menjadi gelandangan."
Drake merasa kesal, namun di dalam hati ia sadar bahwa sang kakek sudah sangat lelah menghadapi kelakuan buruknya. "Kek, ancaman ini sama sekali tidak adil," bantahnya.
Carlos menegaskan, "Pilihan ada di tanganmu. Wanita mana yang mau denganmu jika tahu, kamu hanyalah seorang gelandangan? Namamu akan Kakek blokir, baik di dalam maupun di luar negeri. Sudah dipastikan, kamu sangat sulit mencari pekerjaan, apalagi membuka bisnis."
Drake merasa seperti ditekan oleh kekuatan ghaib, seolah-olah tiada jalan keluar dari permasalahan ini. Tiba-tiba ia berteriak, "Beni!"
Ia yakin, asisten Carlos pasti berada di dekat sana, menunggu tuannya. Benar saja, tak membutuhkan waktu lama, Beni Sanjaya segera hadir di hadapan mereka.
"Iya, Tuan," sahut Beni sambil menunduk hormat.
"Cepat kamu bawa kakek ke kamar. Kakek harus istirahat karena sudah sangat lelah," perintah Drake.
Carlos terlihat kesal, rasanya ingin sekali menghajar Drake sambil memarahi cucunya itu. Namun, pada akhirnya ia hanya bisa menahan diri karena memang sudah sangat mengerti bagaimana sifat Drake jika sudah tidak ingin lagi mendengar ucapannya.
"Kamu lihat saja, ucapan Kakek tidak main-main," tukas Carlos.
"Iya, Kek, besok aku akan datang. Kakek tenang saja," jawab Drake, berusaha memberikan jaminan pada Carlos. Ternyata, itu cukup untuk membuat kakeknya merasa sedikit lebih lega.
Carlos pun segera pergi dari sana dengan diantar oleh asistennya yang tinggal di rumah itu juga. Selain ART, Beni bertugas mengurus segala keperluan Carlos.
Drt, drt, drt!
Ponsel Drake bergetar di atas meja. Ia segera meraih ponselnya itu dan melihat ada panggilan masuk dari asistennya.
Drake pun segera menjawab telepon tersebut dengan nada ketus. "Kalau bukan urusan penting, lebih baik kamu tidak usah menggangguku."
Namun ternyata, Reyhan memberikan suatu kabar yang membuatnya merasa sangat senang dan lega. Karena akhirnya, ada kabar yang bisa menyenangkan hati setelah kejadian dengan sang kakek tadi.
"Bagus, terus selidiki dan kabari aku apapun itu," ucap Drake.
Setelah asistennya menjawab dan mengerti, Drake pun segera menutup telepon tersebut.
"Ini adalah sesuatu yang bagus. Gracie, aku yakin, kamu tidak akan mungkin bisa lepas dariku," gumam Drake sambil menyunggingkan senyum sinis di sudut bibirnya.
***
Walaupun rasanya sangat enggan untuk bertemu dengan Drake, namun Gracie terpaksa harus pergi ke Perusahaan Xavier Group, karena ada hal yang harus mereka bahas. Drake sendiri yang memintanya untuk datang. Ditambah lagi, asistennya saat ini sedang menangani hal lain, sehingga tidak bisa menemaninya datang ke perusahaan itu.
Setengah jam kemudian, Gracie telah tiba di sana. Dengan langkah cepat, ia langsung menuju ke ruangan Drake sesuai permintaan pria tersebut yang sudah menitipkan pesan di lobby.
Tok, tok, tok!
Gracie mengetuk pintu setelah tiba di depan ruangan CEO.
"Silakan masuk!" Terdengar suara Drake dari dalam, sehingga Gracie pun membuka pintunya lalu masuk ke dalam ruangan itu.
"Bu Gracie, ternyata kamu datang di waktu yang tepat. Silakan duduk!" ucap Drake dengan ramah.
Gracie melangkahkan kakinya mendekat, lalu duduk pada kursi di hadapan Drake. "Maaf, Pak, apakah kita harus langsung bertemu seperti ini? Bukankah semua bisa kita bahas secara online?" Gracie merasa agak kesal.
Drake menyadari perasaan Gracie, namun tetap memilih menjelaskan alasan pertemuan ini. "Membahas secara langsung bukankah lebih jelas? Lagi pula, kamu tahu pekerjaan kita ini menghabiskan banyak dan Jumlahnya tidak main-main. Jika menguntungkan, kita akan sama-sama mendapatkan keuntungan besar, tapi jika rugi—"
"Ya, saya tahu itu, Pak. Tapi kamu tidak harus memaksa saya datang ke sini sesuka hati, seperti yang kamu inginkan." Gracie langsung memotong ucapan Drake sebelum pria itu selesai bicara.
Walaupun merasa jengkel, di dalam hatinya Gracie berusaha untuk tetap mengendalikan emosi. Dia berpikir bahwa meskipun Drake memiliki alasan yang valid, cara penyampaiannya membuat Gracie merasa kurang dihargai.
Drake perlahan bangkit dari kursinya, kemudian menutup tirai ruangan dengan rapat, memastikan tidak ada yang bisa mengintip apa yang terjadi di dalam. Lalu dia mendekati Gracie, membuat hati wanita itu berdegup kencang dan sangat gugup.
"Apa yang mau kamu lakukan? Jangan berbuat sesuatu yang tidak sopan!" Gracie memberi peringatan.
Drake tak menjawab, ia malah duduk di atas meja sambil menatap Gracie dengan tatapan serius. Lalu pertanyaan yang tak terduga terlontar dari mulutnya, "Apa kamu sangat mencintai suamimu?"
Gracie terkejut dengan pertanyaan itu. "Apa urusanmu dengan perasaanku?! Itu urusan pribadi, tidak seharusnya Pak Drake mencampuri urusan pribadi klien," balasnya kesal.
Drake hanya tersenyum sinis. "Oh, ya. Tapi kalau boleh aku tebak, kamu yang mencintainya, sedangkan laki-laki itu sama sekali tidak mencintaimu," ujarnya tajam.
Gracie merasa emosinya meluap mendengar perkataan tersebut, namun dia juga merasa heran darimana Drake tahu perihal perasaannya. Ia pun berdiri tegak, menatap Drake sengit.
"Kamu stalking saya, ya? Saya datang ke sini untuk membahas kerjasama kita seperti yang kamu minta. Tapi sepertinya kamu sedang santai, jadi kamu bisa menggosip dan mengurusi urusan pribadi orang lain. Tapi, saya tidak! Saya punya banyak hal lain untuk dikerjakan. Jadi, lebih baik saya pergi sekarang," kata Gracie dengan tegas, berusaha untuk segera meninggalkan ruangan tersebut.
"Tunggu! Aku ingin memberikanmu sebuah kejutan," ucap Drake, membuat langkah Gracie terhenti sejenak, menatap pria itu dengan ekspresi bingung.
Tok, tok, tok!
Suara ketukan pintu terdengar, Drake tersenyum ke arah Gracie dan memberi isyarat bahwa kejutan yang ia maksud ada hubungannya dengan suara pintu yang terketuk itu.
Merasa penasaran, Gracie kembali melangkahkan kakinya mendekati pintu. "Apa sebenarnya yang Drake maksud? Kejutan apa?" batinnya.
Ketika membuka pintu itu, Gracie benar-benar kaget setelah melihat seseorang yang berada di hadapannya. Siapa sangka, hal ini memang menjadi kejutan yang luar biasa baginya.
Bersambung …