Bab 10. Rencana Misterius

1334 Kata
Gracie merasa bingung dengan kehadiran tiga temannya, yang sebelumnya menghilang sejak malam itu. Dia juga tidak mengerti apa hubungan mereka dengan Drake. "Kenapa mereka bisa ada di sini?" gumam Gracie dalam hati, penuh tanya. Tak hanya Gracie, namun Luna, Ruby dan Sheren pun merasakan hal yang sama. "Grac, kamu ada di sini juga?" tanya Luna dengan wajah terkejut. "Ya, aku memang ada di sini karena terlibat kerjasama dengan Perusahaan Xavier. Tapi kalian, kenapa ada di sini? Apakah kalian bekerja di perusahaan ini?" tanya Gracie penasaran. Sebelum ketiganya menjawab, tiba-tiba Drake menghampiri mereka. "Kalian bertiga sudah datang, apa kalian sudah tahu kapan akan mulai bekerja?" ucapnya seraya melihat mereka satu per satu. Sheren, yang tampak tercengang, bertanya, "Maaf, apa Bapak ini Pak Drake, CEO di perusahaan ini?" "Ya, benar. Saya Drake," jawab pria itu dengan wajah datar. Luna, yang sedari tadi terpesona, tidak bisa menahan decak kagum dalam hatinya. "Ya ampun, ternyata Pak Drake sangat tampan. Apalagi yang aku dengar, dia adalah pewaris tunggal perusahaan ini. Benar-benar perfect," batinnya, tercengang menatap ketampanan pria di hadapannya itu. Ternyata, Luna, Sheren dan Ruby, tiba-tiba saja mendapatkan panggilan kerja di Perusahaan Xavier Group. Padahal, mereka sudah lama menaruh lamaran di sana, tetapi tak ada tanda-tanda pemberitahuan sebelumnya. Bahkan Luna dan Sheren sudah bekerja di perusahaan lain, berbeda dengan Ruby yang masih menjadi pengangguran. "Kami baru saja menemui HRD dan diminta untuk langsung datang ke sini, Pak. Katanya, Pak Drake ingin bertemu langsung dengan kami," terang Ruby. Drake berujar, "Ya, memang benar apa yang dikatakan HRD. Saya hanya ingin melihat calon-calon pegawai yang akan bergabung di perusahaan ini. Tapi sekarang, kalian sudah boleh pulang. Besok baru kalian datang lagi untuk bekerja. Dan saya tidak menyangka, ternyata kalian berempat ini saling mengenal, ya? Ada nada misterius dalam perkataannya. Entah kenapa, Gracie merasa ada yang aneh. Tak tahu apakah ini murni kebetulan atau ada yang sengaja merencanakannya. "Apa maksud Drake sebenarnya? Dia berpura-pura tidak tahu atau dia memang sengaja? Bukankah tadi dia sendiri yang bilang, mau memberikan aku kejutan? Ini 'kan kejutan yang dia maksud?" Lagi-lagi Gracie bermonolog di dalam hatinya, masih merasa bingung dan penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. "Iya, Pak. Kebetulan kami adalah teman-teman dekat Gracie." Luna membenarkan ucapan Drake. "Oh, kebetulan sekali," sahut Drake seraya menatap Gracie, namun wanita itu tampak cuek. "Grac, kamu juga mau pulang 'kan? Apa bisa kita bicara sebentar?" kata Luna dengan ragu. "Ehm, Grac, aku dan Ruby juga sepertinya perlu menjelaskan sesuatu," timpal Sheren. Gracie tak menjawab, ia menatap datar ke arah Drake. "Pak Drake, saya permisi dulu," pamitnya, disusul oleh tiga temannya itu. Setelah itu, mereka pun segera meninggalkan ruangan CEO. Sementara Drake hanya menatap punggung kepergian keempat wanita tersebut dengan senyuman misterius. "Cepat atau lambat, aku akan bisa membuktikan semuanya," gumam Drake, yakin jika rencana misteriusnya akan berjalan lancar. Saat sudah berada di parkiran, Gracie hendak langsung masuk ke dalam mobil, namun ia langsung dicegat oleh Luna dan dua temannya yang menyusul. "Grac, aku minta maaf karena malam itu aku meninggalkan kamu. Itu karena aku bingung, kamu tiba-tiba menghilang. Aku nggak tahu harus bagaimana. Kamu 'kan tahu sendiri, papa aku itu galak banget. Dia pasti akan marah kalau aku pulang terlambat. Itu saja, aku sudah kena marah," jelas Luna dengan raut wajah bersalah. Gracie merenung sejenak, mencoba memahami situasi yang terjadi pada malam itu. Sepertinya Luna dan teman-temannya memang ada alasan tersendiri, namun apakah alasan itu cukup kuat untuk bisa dimaklumi? Mungkin dia harus memberi mereka kesempatan untuk menjelaskan. "Aku juga minta maaf, ya. Waktu itu aku bingung harus mencari kamu kemana, Grac, jadi kami pulang duluan. Tapi, kami menitipkan pesan kepada pelayan di sana. Kamu baik-baik saja 'kan?" ujar Sheren, mencoba menjelaskan situasi yang terjadi. Gracie menatap mereka bertiga dengan rasa kecewa yang mendalam. "Kalian tahu 'kan, malam itu adalah malam pernikahanku dengan Kak Alfa. Kalian yang mengajak aku untuk mengadakan pesta lajang, tapi kalian malah meninggalkanku sendirian. Aku menghubungi kalian bertiga, tapi sama sekali tidak ada jawaban. Yang lebih menyakitkan, di saat pernikahanku pun kalian bertiga tidak hadir. Apakah itu yang namanya teman?" keluhnya, mengekspresikan perasaan yang selama ini terpendam. "Gracie, aku benar-benar minta maaf. Aku 'kan sudah jelaskan, pagi itu aku langsung keluar kota karena mendadak ada panggilan kerja dan memang baru hari ini aku pulang. Aku juga terkejut karena mendapat panggilan kerja di perusahaan ini. Kamu juga tahu, nggak gampang bisa bekerja di sini. Aku benar-benar minta maaf, ya. Please," ucap Luna dengan nada menyesal. Ruby juga merasa bersalah. "Aku juga minta maaf, Grac. Aku nggak bermaksud seperti itu," ucapnya pelan. Saat itu, Gracie menyadari bahwa mereka memiliki alasan tersendiri yang cukup logis untuk berbuat seperti itu. Namun, rasa kecewa itu masih sulit untuk hilang begitu saja. Seperti kata pepatah, luka di hati lebih sulit untuk sembuh. Namun, seiring berjalannya waktu, ia yakin bisa kembali mempercayai mereka sebagai teman-teman yang selama ini sudah ia anggap sahabat. "Sudahlah, tidak usah dibahas lagi. Semuanya juga sudah berlalu. Aku pergi dulu, masih banyak pekerjaan," ucap Gracie yang langsung saja masuk ke dalam mobilnya. Sementara itu, Luna dan kedua temannya tidak lagi mencegah dan melepaskan kepergian Gracie. Di perjalanan, pikiran Gracie masih terus melayang pada apa yang baru saja terjadi. "Kenapa semuanya bisa kebetulan seperti ini? Apa ini semua adalah rencana Drake, atau dia tahu sesuatu? Laki-laki itu benar-benar tidak bisa ditebak," gumam Gracie pada dirinya sendiri, lalu menambah laju kecepatan mobil agar segera tiba di butik. *** Meskipun sangat berat, pada akhirnya Lucas mengizinkan Gracie dan Alfa pindah rumah. Ia sadar bahwa cucunya kini sudah dewasa dan sudah menikah, maka bukan tanggung jawabnya lagi untuk menjaga Gracie sepenuhnya. Bukankah dia sangat egois jika melarang cucunya tersebut? Pikir Lucas dengan perasaan yang terbagi. Dan tak menunggu waktu lama, malam itu juga Gracie dan Alfa akan pindah. Setelah mengemas pakaian mereka, pasangan suami istri itu pun berpamitan dengan sang kakek. "Kek, maaf ya, aku nggak bermaksud untuk meninggalkan kakek, tapi ...." Gracie tercekat dan tidak sanggup melanjutkan ucapannya, hatinya terasa amat berat. Namun, Lucas tahu bagaimana perasaan cucunya yang mendalam dan keinginannya untuk mencari kebahagiaan sendiri bersama suaminya. Pria tua itu tersenyum hangat dan mencoba menenangkan hati Gracie. "Sudahlah, Kakek tidak masalah. Yang penting kamu hidup bahagia bersama suamimu, itu sudah membuat Kakek bahagia. Hanya ingat satu hal, jangan pernah melupakan Kakek dan hanya tinggal satu tahun lagi, kamu akan mewarisi seluruh kekayaan Kakek. Tidak peduli di mana pun kamu tinggal, itu tidak akan pernah merubah hak kamu atas rumah ini," kata Lucas dengan tulus. Gracie merasa terharu dan menangis dalam hati. "Iya, Kek, aku tahu. Tenang saja, ya, aku akan sering ke sini untuk melihat Kakek. Pokoknya, Kakek harus menjaga kesehatan dan nggak boleh memaksa melakukan hal di batas kemampuan. Aku nggak mau Kakek sakit lagi." Gracie mengingatkan dengan tegas. Lucas mengangguk. "Kamu tenang saja, tidak usah mengkhawatirkan Kakek," ucapnya. Gracie merasa berat untuk pergi, namun tahu bahwa dia harus menjalani kehidupan yang telah dipilihnya. Ia menyadari betapa besarnya cinta kakeknya yang rela melepaskan dan mengutamakan kebahagiaannya. Gracie pun memeluk Kakeknya, sebagai tanda terima kasih dan rasa sayangnya. Alfa menarik napas dalam-dalam, kini saatnya ia yang berbicara, "Aku minta maaf, kalau keputusanku ini terkesan egois, Kek. Aku tidak bermaksud memisahkan Kakek dan Gracie, aku hanya ingin menjalani hidup berdua bersama Gracie sebagai pasangan suami istri yang mandiri. Kakek tenang saja, aku pasti akan selalu memperlakukan Gracie dengan baik, menyayanginya dan melindunginya. Kakek tidak perlu khawatir." Alfa tampak bersungguh-sungguh. Lucas menatap cucu menantunya dengan tajam. "Kakek percaya padamu, Alfa. Tapi ingat, kalau sampai kamu berani menyakiti Gracie, Kakek pasti tidak akan pernah mengampunimu," tegasnya. Alfa mengangguk mengerti, menjawab tatapan Lucas dengan sungguh-sungguh, sebelum akhirnya mereka pergi meninggalkan kediaman Maddison dengan rasa sedih yang menyelimuti hati Gracie. Sambil menyetir, Alfa melirik Gracie yang terdiam di sampingnya. "Grac, kenapa kamu diam saja? Apa kamu belum ikhlas meninggalkan kakek?" Mata Gracie berkaca-kaca. "Ya, mana mungkin secepat ini aku rela meninggalkan kakek. Tapi aku akan berusaha menerima keputusan ini. Karena bagaimanapun, aku adalah istri kamu, walaupun istri yang tidak dianggap," ucapnya dengan penuh perasaan, rasa sedih dan sakit membaur di dalam hatinya. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN