Mendengar ucapan istrinya, Alfa terdiam, tak tahu bagaimana harus bersikap. Memang perasaannya untuk Gracie saat ini tidak bisa dipaksakan. Mereka memang sudah dekat sejak kecil, tetapi ia belum bisa menyayangi Gracie lebih dari seorang sahabat yang bahkan sudah menganggap wanita itu sebagai adiknya sendiri.
Di sisi lain, Gracie merasa sangat kecewa. "Ternyata Kak Alfa benar-benar nggak peduli dengan perasaanku. Padahal aku sudah mengungkapkan isi hatiku, tapi dia nggak memberikan respon sama sekali," batinnya, sambil menahan kepedihan di dalam hatinya.
Gracie merasa lebih bahagia di saat mereka belum menikah, ketika Alfa masih peduli dan sangat perhatian padanya. Namun kini, sikap Alfa benar-benar berubah. Pria yang sudah sah menjadi suaminya itu, terlihat menghindar darinya.
Gracie terus berpikir, bagaimana mungkin Alfa menganggap dirinya sebagai seorang istri? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama. Entah bagaimana kehidupan mereka nantinya setelah pindah rumah. Haruskah ia terus bersabar dan berharap Alfa akan berubah? Atau mungkin saatnya ia mulai memikirkan kebahagiaannya sendiri? Gracie mencoba menemukan solusi terbaik untuk kehidupan mereka berdua. Namun satu hal yang pasti, ia berharap suaminya akan berubah menjadi lebih baik.
"Semoga saja saat nanti aku dan Kak Alfa tinggal berdua, aku bisa lebih mudah mengambil hatinya. Aku sangat berharap kamu bisa mencintaiku dan menerima aku apa adanya, Kak." Gracie kembali bergumam dalam hatinya.
***
Beberapa menit kemudian, mereka telah tiba di sebuah perumahan mewah yang berada di pusat kota. Alfa segera turun dari mobil dan membuka bagasi untuk mengambil koper pakaian mereka, disusul oleh Gracie yang mengambil kopernya dari tangan suaminya itu.
"Biar aku saja yang bawa kopernya," tawar Alfa.
"Nggak usah, Kak, biar aku bawa sendiri," tolak Gracie, membuat Alfa tak memaksa.
Kemudian, Alfa segera membuka pintu dan masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Gracie yang mengamati rumah tersebut, cukup luas dan juga nyaman. Terdapat dua lantai yang membuatnya merasa pasti akan kesepian jika hanya tinggal berdua di sana.
"Apakah kami bisa bahagia bersama di rumah ini? Apakah Kak Alfa akan berubah?" batin Gracie sembari berjalan mengikuti suaminya menjelajahi rumah baru mereka. Hatinya masih penuh harapan akan perubahan sikap Alfa yang lebih baik.
"Kamar kita berada di lantai atas. Ayo, kita ke atas," ajak Alfa.
Gracie mengangguk dan bersama-sama mereka menaiki tangga, menuju ke lantai atas. Sesampainya di sana, terdapat dua kamar yang saling berhadapan.
"Ini adalah kamarku, dan kamarmu ada di sana," kata Alfa seraya menunjuk ruangan yang dimaksud, membuat Gracie merasa terkejut.
"Maksud kamu, kita pisah kamar?" tanya Gracie.
"Ya. Menurut kamu bagaimana? Di rumah kakek, kita satu kamar, tapi juga tidak tidur satu ranjang, 'kan? Dan itu benar-benar membuatku tersiksa, selama seminggu harus tidur di atas sofa, bahkan di lantai. Tapi sekarang, aku sudah bisa bebas tidur di kamar sendiri," kata Alfa dengan terus terang.
Mendengar itu, Gracie merasa sedih yang mendalam. Dia pikir, kehidupan mereka setelah menikah akan lebih baik. Namun ternyata, Alfa sengaja merencanakan itu semua agar hubungan mereka semakin renggang.
Dia merenung sejenak, kemudian berkata dengan lirih, "Sekarang aku mengerti, pantas saja kamu ingin cepat-cepat pindah dari rumah kakek."
"Terserah kamu mau beranggapan seperti apa, tapi ini adalah yang terbaik. Kamu juga tidak mau 'kan, kakek tahu bagaimana hubungan kita yang sebenarnya?" kata Alfa dengan tegas.
Gracie tampak terdiam dan menggigit bibir bawahnya, menyadari bahwa ucapan suaminya itu memang ada benarnya.
"Kamu langsung masuk kamar saja dan istirahat, aku juga mau istirahat," sambung Alfa yang segera masuk ke dalam kamarnya.
Dalam hati Gracie, rasa sakit tak terhindarkan. Ia mencoba untuk tidak menangis, namun hatinya remuk redam. "Kenapa harus begini? Kenapa aku harus merasakan rasa sakit ini?" gumamnya dalam hati.
Dengan langkah gontai, ia masuk ke dalam kamar yang telah disiapkan suaminya. Walaupun kamar itu cukup luas dan Alfa sudah menyiapkan sebaik mungkin, namun tetap saja Gracie sama sekali tidak merasa bahagia dengan situasi ini.
***
Pagi-pagi sekali, Gracie bangun terlebih dulu dan menyiapkan sarapan untuk suaminya, seperti biasa saat mereka masih tinggal di rumah sang kakek. Walaupun sikap Alfa padanya begitu dingin, Gracie mencoba untuk bertahan. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah kewajibannya sebagai istri.
Saat itu, Gracie melihat Alfa yang baru saja turun dari kamar dan sudah berpakaian rapi, tampak siap untuk pergi ke kantor. Dengan penuh semangat, ia segera menghampiri suaminya.
"Kak, ayo sarapan dulu. Aku sudah siapkan sarapan untuk kita," ajaknya.
Alfa menghela napas lalu menatap serius ke arah Gracie. "Grac, terima kasih karena kamu sudah repot-repot membuatkan sarapan untukku selama satu minggu kita berada di rumah kakek. Tapi sekarang, kita sudah tidak tinggal di rumah kakek lagi. Jadi, tidak perlu berpura-pura lagi 'kan? Kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau, begitu juga denganku," ucapnya tegas.
Gracie tersentak, merasa tak habis pikir dengan perkataan Alfa. "Maksud kamu apa, sih, Kak? Jadi, kamu pikir selama di rumah kakek, aku menyiapkan sarapan untuk kamu itu hanya berpura-pura? Supaya kakek melihat kalau hubungan kita berjalan dengan baik, gitu?" tanyanya, merasa tertohok.
"Iya, memang begitu 'kan adanya. Aku rasa kita bisa lebih jujur satu sama lain sekarang," tukas Alfa, tak menampik ucapannya yang terasa seperti pukulan bagi Gracie.
Perasaan Gracie kini semakin terluka dan bingung, mencoba mencari makna di balik ungkapan Alfa yang tajam dan menusuk hatinya.
"Kak, peraturan-peraturan dalam kontrak pernikahan itu kamu sendiri yang buat dengan banyaknya aturan yang tidak penting dan tidak seharusnya ada. Walaupun aku tidak tahu kapan kontrak itu akan berakhir, tapi percayalah, aku hanya mau menjalankan kewajibanku sebagai istri dengan sepenuh hati. Aku tidak pernah berpura-pura dan apa yang aku lakukan hari ini sama saja seperti saat kita masih tinggal di rumah kakek," ujar Gracie, emosinya mulai memuncak.
"Dan sudah aku katakan, kamu tidak perlu melakukannya! Urus saja hidupmu sendiri, jangan pernah ikut campur urusanku. Kita hanya perlu berpura-pura di depan kakek dan kedua orang tuaku, paham! Oh ya, mobil kamu ada di butik, 'kan? Jadi, kamu bisa 'kan pergi naik taksi dan mulai hari ini, kamu bisa kemana pun tanpa harus mengandalkanku. Aku benar-benar sibuk," ucap Alfa, yang membuat Gracie semakin terkejut.
Gracie tak pernah menyangka, setelah pindah rumah, sikap Alfa berubah begitu drastis, seperti 100% berubah. Apakah selama ini, Alfa hanya menyembunyikan sifat aslinya di depan sang kakek dan kedua orang tuanya? Pikiran itu berkecamuk di dalam hati dan pikirannya.
"Oke, kalau ini memang yang kamu mau. Aku harap kamu tidak akan menyesal," ucap Gracie dengan serius.
"Aku tidak akan pernah menyesal," sahut Alfa, sebelum segera menghilang dari pandangan Gracie.
Sementara Gracie mencoba menenangkan perasaannya yang begitu sakit, merasa tak bisa memahami sikap suami yang begitu cepat berubah seperti orang lain. Segera, Gracie memesan taksi online dan mulai bersiap-siap. Setelah taksi pesanannya sudah tidak jauh lagi, ia segera keluar dari rumah dan mengunci pintu, menunggu di depan pagar rumahnya.
Akan tetapi, tiba-tiba saja Gracie merasakan kepalanya sangat sakit dan pandangannya berkunang-kunang. "Aku kenapa?" gumamnya.
Dia mencoba bertahan dari rasa sakit yang semakin menjadi. Namun meski berusaha tetap tegar, tubuhnya terhuyung dan hampir saja tumbang. Untungnya seseorang tiba-tiba datang dan menahan tubuhnya agar tak jatuh. Gracie merasa sangat terkejut dan penasaran siapa orang yang telah menolongnya, namun sayangnya, pandangannya semakin kabur dan tak bisa melihat jelas.
"Siapa kamu?"
Bersambung …