Malam ini hujan mengguyur deras. Suara rintik hujan menggaung merdu menjadi pemecah keheningan. Seperti nuansa di kamar Langit dan Lintang yang juga hening. Hanya desahan lirih dan lenguhan yang tertahan di sepanjang percintaan suami istri itu yang menjadi teman hujan untuk memecah sunyi. Sejak Langit menyadari bahwa ia membutuhkan Lintang dan kehangatan tubuhnya, sejak itu pula seolah tak ada malam tanpa bercinta. Ia tak mengerti kenapa menjadi segila ini pada tubuh istrinya. Rasa-rasanya seperti magnet yang memikatnya kuat-kuat hingga ia tak bisa mengenyahkan bayang-bayang liar sang istri saat di ranjang, meski kala itu ia tengah berada di kantor atau tempat lain..
Langit mencumbu bibir istrinya sekali lagi. Lintang terpejam, merasakan dalam-dalam hangatnya ciuman Langit yang sudah berulang-ulang mendarat di bibirnya. Ia seperti jatuh cinta yang teramat pada laki-laki itu. Ia mencintai Langit lahir batin.
Langit kembali merasakan hawa panas yang seolah menyergap di setiap pembuluh darahnya. Gairahnya kembali naik kala ia jejakkan kecupan di leher dan d**a sang istri. Hasrat untuk kembali menyentuh Lintang semakin membakar dan ia tak bisa menahannya.
Lintang mengusap d**a bidang Langit. Manik beningnya sudah diselimuti bara gairah yang menukik. Langit terkesima dengan keagresifan Lintang yang seolah ingin mendominasi permainan.
"Lakukan apa yang Mas mau. Aku adalah milikmu." Lintang tersenyum dan bertingkah seperti w*************a yang tak ragu lagi memancing gairah suaminya.
Langit begitu gemas dengan apa yang dilakukan Lintang. Segera ia menarik Lintang dalam pelukannya dan kembali menciumi Lintang tanpa ampun.
"Kamu udah mulai nakal sekarang, ya," ucap Langit begitu gemas.
Keduanya tertawa, tersenyum, dan menikmati kembali momen panas yang mengantarkan keduanya pada puncak kenikmatan yang begitu menggetarkan.
******
Pagi-pagi setelah mandi dan sholat Subuh, Lintang aktif di dapur. Ia membuatkan jus untuk Langit juga seluruh anggota keluarga. Selanjutnya ia menuju taman sebelah rumah untuk menyiram tanaman. Sebenarnya sudah ada petugas yang bertugas menyiram tanaman dua kali, pagi dan sore. Namun Lintang ingin lebih aktif bekerja. Di kampung dia terbiasa mengerjakan banyak tugas. Saat tak melakukan apa-apa, justru ia merasa badannya mudah lelah.
Rangga yang tengah berolahraga pagi di ruang gym, mengamati Lintang yang begitu memesona dengan gaun bermotif polkadot. Rambutnya masih terlihat basah, ia menduga Lintang lupa mengeringkannya dengan hair dryer atau mungkin hair dryer-nya rusak. Pikiran mesumnya berkelana, membayangkan bagaimana semalam Langit menggarap Lintang habis-habisan, terbukti pagi sekali Lintang sudah terlihat segar dengan rambut basah. Ia membayangkan jika ada di posisi Langit, mungkin ia akan menghabiskan seharian penuh bersama Lintang untuk mengecap kemolekan tubuh wanita itu dan ia yakin, liang surgawi itu masih begitu sempit.
Terpikir satu hal di benak Rangga tentang serangkaian rencana untuk mendekati Lintang dan menaklukkan perempuan itu. Satu tujuannya adalah bisa mereguk kenikmatan dari tubuh Lintang.
Tepukan keras di bahunya segera membuyarkan fantasi kotor yang sedari tadi menguasai pikirannya.
"Segitunya merhatiin Lintang!" tegur Devana ketus.
Rangga memaksakan kedua bibirnya untuk tersenyum.
"Siapa yang merhatiin dia?" Rangga sedikit gelagapan. Ia kembali mengangkat barbel dan tak menoleh ke arah Devana.
Devana berlalu dari ruang gym dengan kesal. Ia berjalan menuju ruang tengah. Ada Marsha yang tengah memasukkan baju-baju dalam tas.
"Mbak Marsha mau ke butik?" tanya Devana sembari mengamati gerak terampil Marsha yang memasukkan baju-baju yang masih terbungkus plastik dalam satu tas besar.
"Iya, Dev. Kemarin aku nggak ke butik. Kinerja karyawan juga harus diawasi. Kalau nggak, mereka bisa seenaknya."
"Mbak Marsha memang wanita hebat. Udah cantik pinter ngurus butik pula." Devana tersenyum cerah. Diam-diam iri pada Marsha yang pintar berbisnis. Mungkin ini yang memberatkan Rangga melepas Marsha. Meski wanita itu belum memberi keturunan, tapi dia punya penghasilan yang besar, anak orang terpandang pula. Jelas, Rangga tak akan melepaskan. Dan lagi-lagi ia harus menerima kenyataan pahit bahwa selamanya dia ada di bawah bayang-bayang Marsha dan hanya menjadi wanita kedua di hati Rangga.
Marsha tersenyum. "Kamu bisa aja. Kamu juga bisa kalau mau belajar bisnis. Lumayan buat tambahan penghasilan."
Devana menghela napas. "Dulu udah pernah nyoba, Mbak. Tapi ujung-ujungnya banyak customer yang nggak melunasi cicilan. Saya dulu bisnis tas import sistem cicilan gitu. Saya malah rugi mbak karena pada nggak lunas."
"Bisnis itu ada strateginya, Dev. Kalau nurut aku sih mending jangan bisnis sistem cicilan gitu, cash aja lebih minim resiko. Emang sih mungkin buat orang yang punya dana terbatas bakal pikir-pikir untuk beli cash karena harganya mahal. Tapi kita bisa nyari sasaran yang tepat, misal ibu-ibu pejabat atau bahkan artis."
Devana belum kepikiran lagi untuk berbisnis. Selama ini tunjangan yang diberikan mertuanya sudah sangat cukup. Terlebih Rangga juga sering memberinya uang dan hadiah. Ia tak perlu bekerja susah payah, uang mengalir sendiri ke kantong.
Devana melirik ke arah Lintang yang berjalan menaiki tangga.
"Lintang tuh, ya, berani banget mempengaruhi Langit untuk keluar dari rumah ini. Belagu banget, dia pikir dia siapa? Lupa kali sama asalnya yang dari kampung." Devana masih awas mengamati langkah Lintang yang tengah menaiki tangga.
Marsha mengarahkan netranya pada arah di mana Devana melayangkan pandangan. Ia tersenyum miring.
"Sebenarnya aku nggak peduli dia tinggal di rumah ini atau nggak. Kalau dia keluar dari rumah ini, itu lebih bagus, kan? Dia nggak akan menggoda Mas Rangga lagi." Marsha menarik pelatuk zipper dan menutup tasnya.
Devana tercenung. Apa yang dikatakan Marsha ada benarnya. Meski sebenarnya ia harus siap-siap melancarkan serangan lain. Jika Rangga tak jua meninggalkan Marsha, mungkin ia bisa berganti haluan menggoda Langit agar posisinya sebagai menantu semakin kuat karena kembali menikah dengan anak dari Ramdhan Wicaksana. Ia akan semakin mudah mewujudkan rencananya selama Langit masih tinggal di rumah ini.
"Tapi tetap saja Papa dan Mama nggak akan setuju jika mereka meninggalkan rumah ini. Ini sudah tradisi keluarga," balas Devana.
Marsha mengembuskan napas. "Itu terserah Papa Mama."
Lintang memasuki kamar. Ia melihat Langit sudah mengenakan pakaian kerja. Lintang membantu memasangkan dasi. Mata Langit menatap wajah istrinya seolah menelisik tiap jengkalnya.
Merasa ditatap sedemikian intens oleh sang suami, Lintang mengumbar senyumnya.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Semalam kamu hot banget." Langit mengecup pipi istrinya.
Lintang tersipu. Ia tersenyum dan mengusap pipi suaminya.
"Mas juga," balas Lintang.
"Nanti malam aku ada undangan dinner dari komunitas pengusaha properti. Kamu ikut ya," ucap Langit sembari merapikan sabuk celananya.
Lintang mengangguk. "Iya, Mas. Aku mesti pakai gaun apa, ya?"
"Itu sih gampang. Tinggal pilih di lemari. Pakai yang menurut kamu pas untuk acara makan malam."
Lintang mengangguk sekali lagi. "Baik, Mas."
Lintang mengantar sang suami menuju ruang makan. Seperti biasa sarapan pagi berlangsung sedikit canggung dan diikuti semua anggota keluarga.
"Langit, Mama tadi lihat gambar rumah di meja kerja kamu. Kamu berencana membangun rumah?" Mirna melayangkan tatapan tertajamnya.
Langit bisa melihat ada jejak-jejak kemarahan di wajah sang ibu.
Langit mengangguk. "Iya, Ma."
"Ini untuk rumah kamu? Harus berapa kali Mama bilang kalau Papa dan Mama nggak setuju kamu tinggal di rumah sendiri!" Mirna menaikkan intonasi suaranya.
"Ma, Langit pikir, ini yang terbaik. Rumah ini sudah terlalu banyak penghuni. Langit harus memikirkan kenyamanan Lintang juga. Di sini banyak non mahram juga. Langit nggak mau ada yang mengganggu Lintang." Lirikan Langit tertuju pada Rangga.
Rangga merasa tersindir.
"Istri kamu yang mengganggu saya, bukan saya!" tegas Rangga.
"Kenapa Mas Rangga langsung nyolot? Saya bilang saya nggak ingin ada yang mengganggu Lintang. Berarti benar kan kalau selama ini Mas Rangga yang mengganggu Lintang, makanya Mas Rangga langsung nyolot dan marah." Langit menatap tajam kakak iparnya.
"Enak saja kamu menuduhku begitu!" Rangga mengepalkan tangannya. Atmosfer sudah terasa semakin memanas.
"Lintang yang menggoda Mas Rangga, saya saksinya." Devana turut berkomentar.
"Ini sebenarnya ada apa? Kenapa jadi runyam begini?" Ramdhan menatap Langit, Rangga, dan Devana bergantian.
"Mas Rangga menggoda Lintang, Pa. Ini yang bikin Langit ingin tinggal di rumah sendiri. Rumah ini tidak aman untuk Lintang selama ada Mas Rangga di sini." Langit berseru lantang.
"Dengan kata lain kamu ingin Mas Rangga keluar dari rumah ini? Istrimu yang seharusnya kamu didik!" Marsha menatap Langit tajam lalu beralih melirik Lintang dengan penuh benci.
"Lintang, apa yang sebenarnya terjadi? Apa kamu digoda oleh Rangga?" pupil mata Ramdhan melebar. Ia ingin Lintang bicara jujur.
Lintang mengangguk. "Iya, Pa."
"Kamu jangan main fitnah, ya dasar cewek murahan!" Rangga geram dan tak habis pikir Lintang berani menjawab.
Langit berdiri. Jari telunjuknya menunjuk wajah Rangga.
"Jangan mengatakan sesuatu yang buruk sama Lintang. Saya tahu Lintang perempuan yang baik. Mas yang selama ini mengganggu istri saya."
Suasana semakin panas. Ramdhan berdiri dan meminta keduanya untuk duduk.
"Sudah, cukup! Tolong jangan ribut selama sarapan. Teruskan sarapan kalian. Kita bicarakan soal ini nanti. Bukankah kalian harus berangkat kerja?" Ramdhan mengurut dadanya. Ia berharap semua anggota keluarga dapat hidup rukun, bukan bersitegang seperti ini.
Suasana yang memanas tenang kembali. Gemuruh dendam merasuk di hati Rangga. Sudah lama ia ingin menyingkirkan Langit agar perusahaan keluarga jatuh padanya. Selama ini ia hanya dipercaya untuk memegang anak perusahaan oleh Ramdhan. Ia ingin memegang kendali atas perusahaan utama Bumi Wicaksana.
Seusai sarapan Lintang mengantar Langit menuju mobil yang sudah terparkir di halaman.
"Aku berangkat dulu, ya. Kamu jangan khawatir, aku akan mengusahakan secepatnya untuk menyelesaikan pembangunan rumah kita." Langit menatap lembut Lintang yang tertegun di hadapannya. Tentu dia tak akan pernah rela jika ada mengusik ketenangan Lintang.
Lintang mengangguk. "Iya, Mas. Makasih untuk semuanya. Aku nggak tahu kalau ternyata Mas udah merencanakan untuk membangun rumah kita."
"Sebenarnya ini surprise, tapi keburu ketahuan Mama. Ya udah aku jujur saja." Langit tersenyum lagi. Ia mendaratkan kecupan di kening Lintang.
"Baik-baik ya di rumah, aku berangkat dulu."
Lintang mengangguk dan menjabat tangan Langit serta menciumnya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Lintang melambaikan tangan hingga mobil itu keluar dari pelataran. Saat ia berbalik, Marsha sudah berdiri di belakangnya.
"Aku peringatkan ya Lintang, jangan menuduh suamiku sembarangan. Aku percaya sama Mas Rangga. Jangan mengada-ada." Marsha bicara tegas dengan tatapan menghunjam.
"Saya nggak mengada-ada. Saya bicara apa adanya. Jangan hanya menyudutkan saya yang memang tidak bersalah. Kenali suami Mbak lebih dekat. Mungkin ada banyak yang belum Mbak Marsha tahu akan sosok suami Mbak." Lintang memberanikan diri untuk membungkam mulut pedas Marsha. Ia tak bisa diam jika harga dirinya diinjak-injak.
Lintang melangkah ke dalam tanpa menunggu reaksi Marsha lebih lanjut.
Marsha tercenung. Ia tak menyangka Lintang mampu berkata-kata seperti itu. Namun penuturan Lintang membuat kepercayaannya pada sang suami sedikit goyah. Apa dia harus melakukan seperti yang Lintang katakan? Mengenali suaminya lebih dekat?
******