Lintang masuk ke dalam kamarnya. Ia mengambil ponsel. Satu surel masuk dan ia segera membukanya. Surel yang ia kirim pada Arabela baru mendapat balasan dari gadis itu.
'Hai Redrose, maaf baru balas. Selamat ya untuk pernikahanmu. Aku senang mendengarnya. Semoga kamu bahagia dan pernikahan ini bisa menjadi titik awal dari kehidupan yang lebih baik.'
Lintang tersenyum. Mendapat balasan dari psikolog favoritnya membuncahkan kebahagiaan tersendiri untuknya. Arabela memang dikenal ramah dan enak diajak sharing. Ia telah mendengar berita pertunangan Arabela dan ia ikut senang mendengarnya.
'Aamiin, makasih banyak Arabela, selamat juga untuk pertunanganmu.'
Lintang meletakkan kembali ponselnya. Ia mendekat ke arah tirai dan membuka sedikit celah untuk melihat pemandangan di luar. Matanya menunduk ke bawah, mengamati taman belakang. Keningnya mengernyit saat ia melihat Rangga yang menjinjing tas kerjanya berbincang dengan Devana.
Lintang kaget bukan kepalang ketika Rangga menarik tubuh Devana di salah satu sudut dan mencium bibir wanita itu. Rangga segera berlalu dan masuk ke dalam, mungkin takut ada yang memergoki. Lintang tak menyangka orang yang frontal menyebutnya penggoda suami orang, nyatanya dirinya lah yang justru menggoda suami orang. Ia tak bisa membiarkan Devana merusak rumah tangga Marsha. Ia harus menceritakan kebenaran ini di depan Marsha. Namun ia berpikir ulang, tanpa bukti apa pun, bisa jadi dia akan dituduh mengada-ada dan memfitnah.
Ia tak sampai hati melihat Marsha dikhianati suami dan adik iparnya. Meski Marsha tak pernah berlaku baik padanya, tapi sebagai perempuan, ia bisa merasakan sakitnya. Terlebih dirinya selalu dituduh menggoda Rangga. Lintang berpikir ia harus mengumpulkan bukti perselingkuhan Devana dan Rangga untuk membuka mata Marsha lebar-lebar.
******
Lintang mematut diri di cermin. Ia mengenakan gaun panjang berwarna marun yang begitu cocok di tubuh langsingnya. Langit bahkan tak bosan memperhatikannya dari ujung kepala hingga kaki.
Lintang menatap Langit dengan senyum melengkung di kedua sudut bibirnya.
"Apa gaun ini cocok untukku?" tanya Lintang dengan binar matanya yang selalu terlihat bening dan memukau.
Langit mengangguk. "Sangat cocok. Sudah selesai?" tanya Langit kemudian.
Lintang mengangguk. "Tapi aku nggak tahu apa penampilanku udah pantas untuk bersanding sama Mas..."
"Penampilan kamu sudah bagus, rapi, dan elegan," balas Langit segera.
"Benarkah?" Lintang ingin memastikan dia tak salah memilih gaun dan riasan yang minimalis.
Langit tersenyum. "Iya. Sekarang kita berangkat, ya, acaranya sebentar lagi dimulai."
Lintang mengangguk dan mengulas senyum, "Ayo..."
Langit dan Lintang melaju menuju sebuah restoran mewah tempat diadakan makan malam. Sudah banyak tamu undangan yang hadir. Ada yang datang sendiri, ada pula yang membawa pasangan.
Lintang mengapit lengan sang suami dan untuk pertama kali ia tak canggung berjalan di depan umum dengan gaun yang ia kenakan sekarang. Ia merasa lebih percaya diri karena Langit membuatnya nyaman.
Ketika mereka berjalan menuju salah satu meja, Langit terkejut melihat Arabela berjalan beriringan dengan seorang pria, yang ia tahu pria itu adalah pengusaha properti. Mungkinkah pria itu tunangan Arabela? Langit mengenal sang pria, tapi hanya sekadar kenal biasa. Ia tak menyangka jika pria bernama Darendra Januar itu adalah tunangan dari Arabela.
Sekelebat kenangan masa silam mengisi pikiran Langit. Arabela adalah teman SMA-nya. Perempuan pertama yang mengajarkan arti jatuh cinta padanya. Hingga kuliah, hubungan mereka masih dekat meski beda universitas. Keduanya kerap menghabiskan waktu bersama dan sharing segala hal. Langit pernah mengungkapkan perasaan yang terpendam, tapi Arabela hanya menganggapnya sahabat dan gadis itu tak pernah memberikan hatinya pada Langit.
Arabela adalah sosok perempuan sempurna di mata Langit. Ia tak hanya memiliki paras yang cantik, tapi kepribadian dan hatinya juga begitu cantik. Ia seorang sahabat yang penuh perhatian dan selalu memberi semangat kala sahabatnya down. Dia bukan sosok yang manja. Dia begitu mandiri, pintar, dan tangguh. Sosok perempuan yang benar-benar langka.
Namun ketika menyadari ada Lintang di sisinya, ia tahu saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk bernostalgia. Ia telah menikah dan tak seharusnya memikirkan perempuan lain.
Arabela pun terkejut melihat Langit datang bersama istrinya. Dulu ia pernah merasa bersalah karena pernah menolak Langit dan itu berakibat pada persahabatan mereka yang merenggang. Namun melihat sahabatnya datang bersama istrinya, ia berharap Langit bahagia dengan pernikahannya.
Lintang merasa tak asing saat matanya tertambat pada sosok Arabela. Wajah itu tak asing dan mengingatkannya pada Arabela, psikolog favoritnya. Ia pernah melihat postingan foto Arabela di akun media sosialnya. Ia yakin tak salah duga bahwa sosok perempuan yang begitu cantik dan anggun itu adalah Arabela.
"Langit..." sapa Arabela.
Langit sedikit salah tingkah. Debaran itu bertalu dan kian membuatnya gugup. Usaha untuk menata hati setelah memutuskan untuk tak berkomunikasi maupun bertemu dengan Arabela sekian bulan seolah terbuang percuma karena pikirannya kembali kacau dan hatinya porak-poranda. Ia tak bisa membiarkan rasa itu kembali membesar.
"Arabela..," balas Langit dengan memaksakan bibirnya untuk tersenyum.
Lintang terperangah. Rupanya benar bahwa gadis itu bernama Arabela. Ia tak menyangka pada akhirnya ia bertemu dengan psikolog favoritnya yang kerap ia sapa di surel. Namun, ia tak berani mengungkap jati dirinya sebagai Redrose.
"Oya kenalkan, ini Lintang, istriku," ucap Langit seraya melirik Lintang.
"Lintang, ini Arabela, dulu kami teman SMA."
Lintang mengangguk dan tersenyum. Keduanya berjabat tangan. Selanjutnya Arabela mengenalkan Darendra pada Langit.
"Oya kenalkan ini Darendra, tunanganku." Arabela melirik sosok pria berperawakan tinggi dan berwajah tampan yang berdiri di sebelahnya.
"Kami sudah kenal karena sering bertemu di acara komunitas pengusaha properti. Ternyata kamu teman SMA Langit." Darendra mengerlingkan senyum dan menatap Arabela serta Langit bergantian.
"Iya, kami sudah kenal," balas Langit canggung.
"Oya lebih baik kita duduk di sudut sana, sambil ngobrol-ngobrol." Darendra menunjuk salah satu sudut.
Acara makan malam itu diisi berbagai sambutan dari ketua komunitas dan juga Langit, sebagai CEO dari perusahaan properti terbaik. Mata Lintang tak lepas memperhatikan sang suami yang bicara di atas stage. Ia bangga dengan kepandaian Langit bicara di depan publik penuh percaya diri. Tepuk tangan bergema setelah Langit menyudahi pidatonya.
"Speech yang bagus, penuh motivasi dan semangat."Darendra melayangkan pujian pada Langit.
Langit hanya tersenyum kecil. "Sebenarnya saya nggak nyangka disuruh berpidato. Padahal nggak ada persiapan apapun."
"Luar biasa, tanpa persiapan tapi sangat bagus," puji Darendra lagi.
Arabela lebih banyak diam. Sejujurnya ia merasa canggung berhadapan dengan Langit. Hubungan pertemanan mereka yang merenggang membuatnya tak bisa lepas dan berkali-kali menghindari kontak mata dengan pria itu. Persahabatan yang dibumbui perasaan yang lebih dari sahabat itu pada akhirnya menjadi bumerang. Ada rasa sungkan karena cinta yang tak terbalaskan.
"Oya kalian ini pengantin baru, nggak liburan kemana? Kebetulan saya punya agen trip untuk honeymoon. Barangkali mau ikut. Ada paket eksklusif untuk sepasang pengantin baru." Darendra memecah keheningan sesaat. Ia perhatikan Arabela sepertinya tak berminat untuk berbincang dengan Langit dan Lintang. Langit pun tampak kaku.
"Sebenarnya saya ada rencana. Ingin juga rehat sejenak dari pekerjaan dan mengajak istri liburan." Langit melirik Lintang dan tersenyum, "apa kamu mau pergi berlibur? Kalau mau, nanti aku ambil jadwal yang pas untuk liburan."
Lintang tersenyum. "Terserah Mas, aku ngikut aja."
"Sudahlah, ajak istrimu berlibur. Istri mana yang nggak senang diajak suaminya berlibur." Darendra mengurai senyumnya.
"Iya, saya akan mengajaknya berlibur," tukas Langit.
Arabela menyeruput minumannya. Diam-diam ia memperhatikan sepasang pengantin baru itu. Lintang terlihat sederhana, wajahnya cukup cantik, dan sepertinya ia gadis yang baik dan penyayang. Ia bahagia Langit menemukan seseorang yang bisa mengisi hatinya. Meski mereka sempat menjauh dan bahkan Langit tak mengundangnya di acara pernikahannya, Arabela tetap mendoakan yang terbaik.
"Oya, aktivitas kamu apa Lintang?" Arabela mencoba mengakrabkan diri dengan Lintang.
Lintang tersenyum pendek. "Saya di rumah saja. Sebelumnya saya bekerja di perusahaan Mas Langit. Menjelang pernikahan, saya resign."
Arabela mengangguk. "Oh..."
"Saya minta Lintang untuk resign. Saya lebih suka dia di rumah. Kalau nanti kami punya anak, dia yang akan menjaga anak selagi saya bekerja," balas Langit sambil melirik sang istri dan tersenyum hangat.
"Sebenarnya istri bekerja juga tak apa biar nggak jenuh di rumah dan untuk eksistensi diri. Lagipula kalian belum punya anak. Perempuan juga perlu belajar mandiri." Arabela mengumbar senyum. Tatapannya tertuju pada Lintang yang terdiam dengan senyum menghiasi wajahnya.
"Selama saya masih bisa bekerja, saya nggak akan meminta istri saya bekerja kecuali kalau dia memang mau. Itu pun ada syaratnya. Dia tidak boleh bekerja sampai malam dan melalaikan keluarga. Atau dia bisa bisnis di rumah agar lebih banyak waktu bersama keluarga." Lagi-lagi Langit tersenyum dan melirik Lintang.
"Istri saya pintar memasak. Dia bisa berbisnis masakan jika mau. Hanya saja kami belum pindah ke rumah baru, jadi belum bebas," cetus Langit.
Arabela tersenyum kecil. Langit begitu memuja istrinya dan memperlakukannya dengan baik.
"Saya sebenarnya menurut saja sama kata suami. Kalau Mas Langit ingin saya di rumah, ya saya akan menurut. Istri bekerja di luar rumah itu harus seizin suami," ujar Lintang.
"Seorang istri yang baik memang harus seperti itu, selalu minta izin suami," timpal Darendra.
Acara makan malam itu kembali berlanjut dengan atmosfer yang sedikit mencair. Lintang merasa bahagia karena Langit tetap menjaga harga dirinya dan tidak lantas merendahkannya meski ia seorang ibu rumah tangga. Ia bisa memahami kenapa Arabela menanyakan perihal pekerjaan dan menyayangkan keputusan Lintang untuk resign. Arabela terbiasa bekerja, belum menikah, dan dibandingkan dirinya, pendidikan Arabela juga lebih tinggi. Setiap orang punya pilihan masing-masing. Yang terpenting adalah bagaimana ia menjalankan perannya dengan tanggung jawab, apa pun peran itu.
Sepulang dari acara makan malam, Langit merenung. Bayangan Arabela tiba-tiba melintas dan ia mati-matian berusaha mengenyahkan. Wanita itu memang memiliki karir cemerlang, pendidikan yang lebih tinggi dibanding Lintang karena dari usia pun Lintang lebih muda dan belum lama lulus kuliah. Namun, belum tentu Arabela bisa memasak seperti istrinya. Belum tentu juga Arabela bisa sepatuh istrinya.
Lintang mengambil air di kulkas dapur untuk Langit. Saat menaiki tangga, ia berpapasan dengan Devana. Wanita itu memandang sinis ke arah Lintang.
"Hmm nyonya muda mulai diajak ke acara-acara formal sama suami. Makin sok aja gayanya." Devana begitu membenci Lintang. Entah apa yang membuat Rangga tertarik pada gadis desa ini.
Lintang awalnya tak ingin menanggapi. Namun saat ia teringat akan apa yang dilakukan Devana dan Rangga di taman belakang, ia ingin membungkam mulut nyinyir perempuan itu.
"Saya istrinya, istri yang dinikahi secara resmi dan sah di mata agama dan negara. Jadi wajar kalau Mas Langit mengajak saya makan malam. Kecuali untuk perempuan yang berstatus selingkuhan atau simpanan, pasti nggak berani untuk dibawa ke acara resmi," tandas Lintang. Ia berlalu dari hadapan Devana.
Devana terpekur dan menatap Lintang tanpa bicara. Lintang semakin berani mematahkan kata-katanya.
Lintang masuk ke kamar. Ia meletakkan segelas air di nakas.
"Minumnya, Mas."
Langit tersenyum. "Makasih."
Keduanya berbaring. Langit masih terpaku pada pikirannya yang mendadak kacau. Ada sesuatu yang kosong di hatinya. Tak seharusnya ia kembali memikirkan Arabela sementara sudah ada Lintang di sisinya.
Langit menggeser posisinya lebih dekat pada Lintang. Wanita itu membeku sesaat. Netranya menatap lembut pada netra Langit yang menatapnya lekat-lekat. Langit mengusap pipi Lintang, berusaha untuk fokus sepenuhnya pada wajah cantik di hadapannya. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa Lintang jauh lebih menarik dari Arabela. Meski ia belum jatuh cinta pada Lintang, tapi ia harus berusaha mematikan cinta yang tak seharusnya bermuara pada hati Arabela.
"Kenapa Mas menatapku seperti itu?" Lintang memperhatikan ekspresi wajah Langit yang tak terbaca.
Langit tersenyum, "Aku... aku cuma ingin menatapmu."
"Hanya menatap?" tanya Lintang lagi.
Langit mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Lintang lembut. Ia memperdalam ciumannya, berusaha menikmati dan menyesapnya dalam-dalam. Matanya terpejam, menguatkan hati bahwa hanya Lintang, satu-satunya wanita yang ia inginkan. Ia tak ingin hatinya memikirkan perempuan lain. Ia hanya perlu membuka hati untuk mencintai Lintang sepenuhnya.
Lintang merasakan ada yang berbeda dari cara Langit menciumnya. Lintang menangkup wajah Langit. Ia menatap sang suami lekat-lekat.
"Apa ada yang Mas pikirkan?"
Langit menggeleng.
"Aku hanya ingin bersenang-senang denganmu malam ini," balas Langit.
Keduanya kembali berciuman, memadu cinta sepanjang malam seolah tiada pernah bosan. Langit berbisik lirih di telinga Lintang. "Kita akan berlibur, hanya berdua. Aku ingin kita bisa lebih bebas dan lepas tanpa gangguan siapapun. Aku ingin dengar desahan kamu jauh lebih keras dibanding ini." Langit menjejakkan kecupan di setiap jengkal tubuh Lintang.
Lintang tersenyum. Ia kembali hanyut dalam permainan panas Langit yang selalu bisa membawanya ke puncak tertinggi.
******