Chapter 8

1320 Kata
Semilir angin menerpa, mengiringi langkah yang menyusuri bibir pantai. Dua tangan bergandengan dengan netra yang sesekali beradu. Ombak kecil menyapu kaki telanjang dan segarnya air menyusup hingga ke dalam. Sementara mega yang sebelumnya cerah kini perlahan menjingga, bersiap menyambut matahari terbenam. Bukan tanpa alasan Langit memilih menghabiskan bulan madunya di Senggigi bersama Lintang. Pantai ini begitu indah dengan pemandangan menakjubkan di sekeliling, bahkan hingga lepas ke seberang lautan. Momen menjelang matahari terbenam menambah suasana romantis. Bukan hanya Langit dan Lintang yang tak ingin melewatkan panorama luar biasa itu, beberapa pasangan terlihat berjalan bergandengan atau duduk di hamparan pasir yang membentang. Langit berhenti di salah satu titik. Lintang masih awas mengamati damainya lautan yang airnya ikut menjingga seiring pantulan sinar bagaskara yang merasuk ke dalam. Kedua tangan Langit memeluk pinggang sang istri dari belakang. Sesekali bibirnya mengecup pipi dan leher sang istri, menyalurkan rasa yang perlahan terbangun. Ini usaha Langit untuk memberikan liburan yang menyenangkan bagi Lintang sekaligus memupuk usahanya untuk melupakan masa lalu dan memfokuskan cintanya hanya untuk Lintang. Ia tahu, cinta akan terbangun jika ia mau membangunnya, bukan membiarkannya layu dan mati. Keduanya begitu menikmati kebersamaan itu. Semua untuk melepas penat dan tegangnya atmosfer di rumah orang tua Langit. Rumah impian masih dalam proses pembangunan. Selama itu pula mereka harus bersabar dan mengalah pada keadaan. "Mas, makasih ya, udah ngajak aku ke sini. Aku seneng banget bisa ngabisin waktu berdua bareng Mas Langit." Lintang menoleh sang suami dan menatapnya lembut. Langit tersenyum. Ditelusurinya wajah Lintang yang menyiratkan sejuta bahagia. Mengajak Lintang liburan hanya satu usaha kecil untuk berterima kasih pada wanita itu. Lintang telah memberikan segalanya untuknya. Ia teringat akan perkataan Panji, sahabatnya. 'Zaman sekarang nyari perempuan baik-baik itu susah. Yang cantik itu banyak, tapi yang bener-bener bisa jaga diri itu jarang. Aku ngomong gini karena sebelumnya udah pernah gagal berumah tangga. Dulu aku nilai cewek nomor satu dari fisik. Aku berhasil dapetin hati Ranti. Aku seneng nikahi dia karena di mataku, dia cantik, seksi, pokoknya secara fisik memenuhi kriteria. Tapi kamu tahu sendiri, kan? Setelah sekian tahun menikah, dia malah selingkuh sama pria yang jauh lebih mapan dari aku. Dan itu sakit banget. Padahal dulu, ada satu cewek yang sayangnya tulus tapi aku nggak balas perasaannya hanya karena kurang cantik di mataku. Sekarang dia udah menikah, udah punya anak, dan aku perhatiin dia jadi jauh lebih cantik dibanding awal aku kenal. Rumah tangganya bahagia. Dia istri yang shalihah, setia. Ya Allah, nyesel banget aku lepasin dia. Kayak kena karma aku gara-gara menilai orang cuma dari fisik. Itu jadi pelajaran banget buat aku. Ya ada juga yang cantik juga hatinya baik. Tapi tetep lah aku belajar satu hal, fisik bukan segalanya, yang penting hati.' 'Aku tahu kamu suka Arabel, bukan karena fisik dia yang menarik, tapi karena kepribadian dia. Dia memang baik. Tapi bisa jadi istrimu jauh lebih baik. Kamu cuma perlu buka hati buat mengenal istrimu lebih dalam. Apalagi dia sebelumnya nggak pernah punya pacar, kan? Kamu beruntung jadi orang pertama yang nyentuh hati dan raganya. Kenapa aku bilang raga? Maaf aja, di zaman gini banyak kan cewek yang gampang banget disentuh, yang bisa diapa-apain si cowok meski belum menikah. Ya udah iklimnya begitu kali ya, udah dianggap biasa. Bukan aku sok konservatif ya, tapi aku ngehargai banget kalau ada cewek yang bisa jaga diri dan nggak membiarkan sembarang cowok bisa nyentuh dia. Dan kamu harus bersyukur karena Lintang bisa jaga dirinya dengan baik." Langit mencerna dalam-dalam ucapan Panji. Semua itu memang benar. Ia harus bersyukur karena memiliki istri sebaik Lintang. Tak seharusnya hatinya masih tertambat pada Arabela. Ia harus menghapus semua jejak masa lalu yang bisa menjadi penghambatnya dalam melangkah. "Aku juga seneng bisa honeymoon di sini. Aku sengaja untuk fokus ngabisin waktu di pantai dan hotel karena aku nggak ingin kita kecapaian kalau mengunjungi banyak tempat. Aku ingin kita fokus romantisan bareng." Langit menyandarkan kepalanya di bahu Lintang. Kedua tangannya masih memeluk wanita itu. Lintang bahagia mendengarnya. Mereka meresapi hangatnya pancaran sinar mentari yang mulai tenggelam. Saat kembali menuju hotel, Langit sempat menggendong tubuh Lintang dan bergerak memutar di antara syahdu senja yang menjingga. Keduanya tertawa, menikmati suasana yang asri dan tenang. Dunia seolah berpusat pada romansa keduanya. ****** Malam ini gerimis merintik pelan. Lintang telah membersihkan diri, mengenakan gaun tidur yang transparan hingga menampakkan pakaian dalam yang ia kenakan. Lekuk tubuhnya terlihat seperti siluet sempurna yang membuat degup jantung Langit seolah berkejaran, antara menahan diri dan keinginan untuk menyentuh Lintang saat itu juga. Langit menelisik tubuh sang istri yang mematung di depannya. Tubuhnya indah, tak kalah dari model-model ternama. Namun entah kenapa Lintang jauh lebih menarik dengan proporsi tubuh yang begitu ideal. Berisi di beberapa bagian yang menjadi favorit Langit. Tangan Langit menengadah, seolah memberi isyarat pada sang istri untuk menghambur ke pelukannya. Dengan senyum malu-malu, Lintang berjalan mendekat ke arah sang suami. Langit tersenyum. Ia memeluk Lintang yang duduk di pangkuan dengan mengusap-usap punggung sang istri. Keduanya tertawa, menyatukan kedua kening. "Kamu seksi banget," bisik Langit lirih. Wajah Lintang tersipu dengan pipi yang merona. Malam begitu panas, seperti malam terpanas dan teromantis yang pernah ada. Sesuai keinginan Langit, Lintang lebih bebas mengekspresikan dirinya. Desahan dan erangan yang lebih dahsyat dari malam-malam sebelumnya memercikkan gairah yang semakin menyala. Langit benar-benar gila dibuatnya. Tubuh istrinya bergetar hebat kala Langit memberinya kepuasan terhebat saat Lintang mencapai pelepasannya. Sama seperti yang Lintang rasakan, ini adalah seks terbaik Langit selama menikah dengan Lintang. ****** Paginya Lintang dan Langit menghabiskan sarapan di restoran hotel. Mereka tak ingin ketinggalan momentum untuk menikmati makanan khas Lombok yang begitu menggugah selera. Mereka memesan ayam Taliwang. Biasanya ayam Taliwang ini disajikan bersama plecing kangkung. Banyak yang mengakui bahwa ayam Taliwang Lombok rasanya khas dan lebih enak dibanding ayam Taliwang di daerah lain. Rasanya tak rugi memesan menu satu ini. Keduanya memakan dengan lahap. Apalagi plecing kangkung yang membuat Lintang tak berhenti mengunyahnya. Di atas kangkung ditaburi parutan kelapa dan sambal terasi yang sudah diulek. Plecing kangkung dilengkapi dengan kecambah dan tauge yang direbus setengah matang. Kangkung Lombok itu berbeda dengan kangkung di daerah lain karena ditanam di sungai. Saat memakan batang kangkung tersebut, Lintang tak merasakan ada yang alot dengan batangnya, begitu renyah, ukurannya juga lebih besar. Tak puas dengan dua menu itu, Langit dan Lintang tak ketinggalan mencicipi babalung yang terbuat dari iga sapi diberi bumbu cabe rawit, bawang merah, bawang putih, kunyit, dan jahe. Kuahnya begitu segar dengan rasa yang khas. Lintang dan Langit juga mencicipi beberuk terong khas Lombok. "Ini enak banget, Mas. Mirip kayak karedok, ya. Jadi bahannya terong hijau yang bulet-bulet itu lho, Mas. Terong dipotong-potong, ada kacang panjang juga. Dari rasanya kayaknya bumbunya cabe, bawang merah, bawang putih, tomat, gula, garam, kencur. Hmm... Pulang dari sini aku ingin masak ini, Mas." Senyum Lintang merekah selaras dengan binar matanya yang berloncatan. Langit tersenyum, "Iya, sayang, kamu boleh masak apa aja. Apalagi kalau rumah kita udah jadi, kamu bebas bereksplorasi di dapur." Lintang tersenyum bahagia. Ia bersyukur Langit begitu pengertian dan tidak pernah mengekangnya. Saat mata Langit memandang ke depan, ia terkejut melihat Arabela berjalan bersama Darendra, memasuki restoran. Ia bertanya-tanya, apa yang dilakukan mereka di sini? Berlibur juga? Bukannya keduanya masih bertunangan, artinya belum sah menikah, tapi liburan berdua. Sejenak ia merutuki diri. Tipe laki-laki konservatif seperti dirinya mungkin bisa dihitung jari. Ia tak perlu mencari tahu kenapa Arabela dan Darendra bisa ada di restoran ini. Dia juga tak mau berspekulasi macam-macam dan berprasangka buruk. Ia kembali menatap Lintang yang masih sibuk melahap menu di hadapannya. Langit mengusap pipi Lintang. "Kenapa, Mas?" "Nggak apa-apa, aku seneng aja lihat kamu makan lahap." Lintang tersenyum. "Mas juga dong makan. Jangan dianggurin makanannya." "Lintang, Langit, kalian ada di sini juga?" Darendra menyapa keduanya dengan seulas senyum. Lintang dan Langit menoleh ke arah sepasang kekasih itu. Arabela terpaku dan membisu. Ada rasa canggung setiap kali bertemu dengan Langit. Langit berusaha bersikap sebiasa mungkin menyambut kedatangan keduanya yang tak terduga. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, tak akan lagi membuka cerita lama. ****** bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN