"Kalian lagi liburan di sini?" Langit mencoba bersikap sebiasa mungkin.
Darendra tersenyum. "Sebenarnya aku ada kerjaan di sini. Cuma aku pikir daripada berangkat sendiri, mending aku ajak Ara untuk ikut." Sepasang netra itu melirik sang kekasih yang diam mematung.
Lintang mengamati wajah Arabela yang menunduk. Ia seperti tak nyaman. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Arabela dan Langit. Baik Langit maupun Arabela saling menghindar untuk menatap.
"Oh, silakan duduk di sini, kita makan sama-sama," ujar Langit berbasa-basi. Sejujurnya ia tak nyaman jika ada Arabela ikut duduk dalam satu meja.
"Oh, silakan. Aku nggak mau mengganggu acara kalian. Aku dan Ara makan di meja lain saja." Darendra tersenyum sekali lagi.
Keduanya memilih duduk di salah satu sudut, agak jauh dari tempat Lintang dan Langit duduk. Lintang menatap Langit yang tiba-tiba murung.
"Mas, bukankah Mas Langit dan Arabela teman lama? Tapi kenapa seperti jaga jarak?"
Langit terkesiap mendengar pertanyaan Lintang. Ia tak menyangka Lintang akan menanyakan hal ini dan cukup peka melihat interaksinya dengan Arabela.
"Ehm... kenapa kamu berpikir seperti itu?"
Lintang mengaduk jus dengan sedotan. Sesekali matanya melirik Arabela.
"Entahlah, aku merasa ada yang janggal. Maafkan kalau aku lancang bertanya soal ini."
Langit tak tahu harus membalas apa. Ia tak ingin merusak kehangatan antara dirinya dan Lintang dengan menceritakan apa yang ia rasakan pada Arabela di masa lalu. Langit sendiri tak tahu entah seperti apa perasaannya pada Arabela sekarang. Yang pasti, debaran itu terkadang masih ada. Getaran itu masih sering mendera tanpa permisi, seolah melumpuhkannya untuk sesaat.
Melihat Langit yang membisu, Lintang tak mau mengungkitnya lagi. Ia perhatikan Arabela dan Darendra yang tengah berbincang akrab.
"Mereka belum menikah kan, Mas? Masih tunangan? Tapi udah liburan berdua... Mungkin tidurnya di kamar terpisah ya, Mas?" Lintang bertanya dengan tampang polos.
Langit tercenung. Dua orang dewasa yang sudah bertunangan liburan berdua dan tidur di kamar terpisah? Rasanya sulit diterima.
"Itu bukan urusan kita..." Langit mengusap punggung tangan Lintang.
"Dihabiskan makanannya, ya," ucap Langit lagi.
Lintang mengangguk. "Iya, Mas."
******
Sorenya, Langit dan Lintang kembali berjalan menyusuri pantai. Semilir angin terasa menyejukkan diiringi deburan ombak yang menggulung hingga bibir pantai.
Langit menatap Lintang yang memandang lepas ke seberang lautan. Sejenak ia berpikir, Lintang yang terbaik dan lebih baik dibandingkan Arabela sekalipun. Ia ingin membuang jauh-jauh sosok Arabela yang masih saja mengacaukan pikirannya.
Langit menggenggam tangan Lintang erat. Keduanya beradu pandang. Senyum terlukis di wajah Lintang. Menikah dengan Langit adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Ia sangat bahagia.
Tanpa sengaja mereka berpapasan dengan Arabela dan Darendra yang juga tengah berjalan-jalan di pantai.
Kedua pasangan itu bertegur sapa. Hingga akhirnya Langit dan Darendra berbincang bersama dan untuk pertama kali Darendra bicara begitu serius. Lintang dan Arabela juga berbincang berdua. Arabela pun ingin mengenal lebih dekat seperti apa sosok yang telah membuat sahabatnya jatuh cinta.
"Langit, dulu kamu sahabat baik Ara, kan? Apa kamu tahu banyak tentang dia? Mungkin masa lalunya atau apa saja tentang kehidupan asmaranya di masa lalu?"
Langit menatap Darendra dengan tatapan bertanya.
"Kamu tunangannya, kan? Harusnya kamu lebih paham tentang dia. Apa kamu nggak pernah nanya tentang masa lalu atau kehidupan asmara dia dulu? Dan apa itu penting? Yang terpenting adalah kehidupan dia yang sekarang setelah bertunangan denganmu."
Darendra menyunggingkan segaris senyum tipis. Ia mengambil satu batu kecil dan melemparkan ke laut.
"Aku cuma ingin tahu aja. Dia orang yang sangat tertutup. Dia tak pernah bercerita apapun. Aku merasa ada yang banyak ia tutupi." Darendra menoleh ke arah Langit dan menatapnya tajam.
"Entahlah, aku nggak pernah merasa kalau dia mencintaiku. Pertunangan ini atas kehendak orang tua. Aku berusaha menerima dan mencintainya. Aku rasakan usaha ini hanya sepihak saja. Kenyataannya, dia seolah tak berusaha untuk mencintaiku."
Langit termenung. Arabela dulu memang pernah dekat dengan laki-laki. Laki-laki itu juga yang menjadi alasan Arabela menolak cintanya. Namun lima tahun kemudian, laki-laki itu meninggal. Sejak itu Arabela seolah menutup hatinya pada siapapun, termasuk dirinya.
"Mungkin itu hanya perasaanmu saja. Kalau Ara nggak ada rasa sama kamu, dia nggak bertahan sama kamu," balas Langit sambil memandang lepas ke arah lautan.
"Seseorang bisa bertahan tanpa cinta, Langit. Ada perasaan yang harus dijaga. Ada kebahagiaan orang lain yang harus dipikirkan. Jika memang Ara nggak mencintaiku, aku siap untuk melepasnya." Darendra menatap Arabela yang tengah duduk di pantai bersama Lintang di tempat yang agak jauh.
Langit tak tahu harus bagaimana menanggapi. Ia juga melirik Lintang yang tengah berbincang dengan Arabela.
******
"Aku penasaran, kamu dan Langit apa hanya mengenal dari tempat kerja lalu menikah?" Arabela menelisik penampilan Lintang. Perempuan itu berpenampilan sederhana. Tidak terlalu cantik tapi memiliki senyum yang manis.
Lintang tersenyum. "Kami dijodohkan oleh orang tua kami. Ya awalnya memang berat, tapi kami berusaha untuk menerima dan menjalani pernikahan ini."
Arabela teringat akan momen di mana Langit mengungkapkan perasaan padanya. Ia tahu, ia telah menyakiti perasaan Langit. Namun saat itu ia tak bisa meninggalkan Bima yang sedang berjuang melawan kanker. Meski di hatinya pun memiliki rasa untuk Langit, tapi ia mencoba menutupinya.
Arabela memutuskan untuk melupakan Langit dan membiarkannya mencari kebahagiaannya. Namun ketika Langit benar-benar memilih cinta yang lain, hatinya mendadak kosong dan penyesalan itu datang tiada guna. Ia bahkan tak tahu, apakah Langit masih mencintainya atau tidak.
"Dulu kamu berteman baik dengan Mas Langit, kan? Tapi waktu kami menikah, Mas Langit tidak mengundangmu." Lintang melirik Arabela yang diam terpaku.
Arabela tersentak. Apa ia harus jujur pada Lintang tentang apa yang terjadi di masa lalu?
"Ehm... hubungan kami memang memburuk. Persahabatan kami merenggang..."
"Kenapa?" tanya Lintang segera.
"Dulu... dulu Langit pernah mengungkapkan perasaannya padaku tapi aku menolaknya. Mungkin dia masih kecewa. Sejak itu hubungan kami masih berjalan normal layaknya teman, tapi perlahan Langit menjaga jarak, begitu juga denganku. Aku tahu aku pernah menyakitinya. Jadi wajar jika dia menjaga jarak, terlebih sekarang dia sudah menikah."
Lintang terkejut dengan kenyataan baru yang ia dengar. Langit tak pernah bercerita apapun soal ini. Ia tak heran jika Langit dulu mencintai Arabela. Wanita itu terlihat begitu sempurna dengan kecantikan dan kepintarannya. Ia berpikir, apa Langit masih mencintai Arabela?
"Kalian tidak pernah menjalin hubungan? Apa kamu pernah mencintai Langit?" Lintang menatap Arabela tajam.
Arabela mengendikkan bahu. Ia balas menatap Lintang dengan tatapan tertajamnya.
"Kami tidak pernah menjalin hubungan... Dan aku udah bilang kalau dulu aku menolaknya."
"Aku bertanya apa kamu pernah mencintai Langit, bukan tentang penolakanmu."
Arabela terdiam. Mata beningnya beralih memandangi lautan lepas. Ia mengangguk pelan.
"Ya, aku pernah mencintainya."
Lintang tergugu. Ada rasa sakit yang tak terelakkan. Ia bertanya-tanya, apa Langit masih mencintai Arabela? Ia takut kehilangan Langit. Ia takut Langit akan kembali pada Arabela apalagi gadis itu juga pernah mencintai Langit. Dan mungkin rasa cinta itu masih ada hingga kini.
"Itu hanya masa lalu, Lintang. Kamu adalah masa depan Langit." Arabela seakan bisa membaca kecemasan yang Lintang rasakan.
Lintang masih membeku. Langit memang memperlakukannya dengan baik tapi ia merasa cinta Langit belum sepenuhnya menjadi miliknya.
******
Menjelang tidur, Langit memeluk Lintang yang sudah terbaring lebih dulu. Ia tak mau menyia-nyiakan satu malam pun untuk membangun kemesraan bersama Lintang. Ia mengecup pipi Lintang. Saat jari-jarinya hendak membuka kancing gaun Lintang, Lintang menahannya. Matanya tajam menghunus ke ujung mata Langit.
"Kenapa?" tanya Langit lirih.
"Kenapa Mas nggak pernah cerita kalau dulu Mas Langit pernah mencintai Arabela dan bahkan mengungkapkan perasaan padanya?"
Langit kaget mendengarnya. Bagaimana sang istri tahu akan hal ini?
"Mas nggak usah kaget. Aku tahu dari Arabela. Sore tadi kami ngobrol banyak. Arabela menceritakan semuanya."
Langit tergugu. Ia tak habis pikir kenapa Arabela bercerita soal ini.
"Itu hanya masa lalu Lintang. Aku sedang berusaha untuk menghapus semua jejak masa lalu. Aku nggak mau mengingatnya lagi."
"Apa itu artinya Mas Langit masih mencintainya?"
"Lintang... aku mohon jangan membicarakan hal ini. Aku nggak mau honeymoon kita terusik karena hal-hal yang pernah terjadi di masa lalu."
Lintang tercenung.
"Aku takut Mas Langit masih mencintai Arabela. Aku takut Mas nggak bisa melupakannya. Aku ingin cinta Mas Langit utuh untukku."
Langit menangkup kedua pipi sang istri.
"Aku sedang berusaha untuk itu, mencintaimu seutuhnya. Beri aku kesempatan. Pernikahan kita begitu cepat bahkan sebelum kita mencintai satu sama lain. Wajar jika kadang aku masih terbawa masa lalu. Tapi kamu jangan khawatir, aku akan berusaha menghilangkan semua jejak masa lalu. Aku hanya perlu waktu dan aku ingin kamu membantuku untuk benar-benar move on dari masa lalu."
Lintang menatap sorot mata Langit yang hanya tertuju padanya. Ia mengangguk pelan.
"Ya, Mas, aku akan membantumu. Terima kasih sudah jujur padaku."
Langit mendaratkan kecupan di kening Lintang. Selanjutnya ia mencium bibir Lintang dan menyesapnya begitu dalam. Keduanya kembali menghabiskan malam panas sebelum pulang ke Jakarta.
******
bersambung