Chapter 10

1704 Kata
Langit dan Lintang tiba kembali di Jakarta. Sebenarnya Lintang masih ingin berlibur. Rasanya momen honeymoon bersama Langit benar-benar membuatnya lepas dan bahagia. Kini ia harus dihadapkan kembali dengan perilaku tak menyenangkan orang-orang rumah yang tak menyukainya. Sehari setelah mereka kembali, ibu Lintang datang ke Jakarta untuk menemuinya. Langit dan Ramdhan menyambut kedatangan Suryati dengan ramah, tapi tidak dengan Mirna dan Devana, sedangkan Marsha bersikap masa bodo. Ramdhan meminta salah satu bawahannya untuk membawa satu tas Suryati yang berisi pakaian ke kamar tamu. Selanjutnya mereka berbincang di ruang tengah. Suryati membawa banyak oleh-oleh dari kampungnya yang ada di Banyumas. Tempe mendoan, lanting, getuk Sokaraja, juga singkong hasil panen. Ramdhan menerimanya dengan suka cita. Sedang Mirna lebih banyak diam karena tak suka dengan kedatangan besannya. "Banyak sekali ini oleh-olehnya. Bu Suryati tak perlu repot-repot bawa oleh-oleh sebanyak ini." Ramdhan tersenyum ramah. "Tidak apa-apa, Pak Ramdhan. Toh, saya juga nggak sering-sering ke Jakarta," balas Suryati seraya melirik Lintang. "Makasih banyak ya, Bu Suryati. Saya suka sekali mendoan khas Banyumas," balas Ramdhan. Mirna membisu. Ia tak suka dengan besannya yang selalu ia anggap sebagai pelakor. Di matanya Suryati hanyalah wanita kampung yang tidak sederajat dengan keluarganya. "Mendoan itu memang banyak yang suka. Rasanya khas. Nanti biar Lintang yang menggoreng tempe mendoannya." Suryati kembali melirik Lintang. "Papa ingin makan mendoan sekarang? Biar Lintang yang menggoreng," ucap Lintang dengan senyum terulas. "Nggak perlu. Kamu kurang terampil dalam menggoreng. Biar Bibi aja yang menggoreng," sela Mirna sedikit ketus. Lintang tercekat. Suryati merasa ada yang janggal dari sikap Mirna. Ia takut putrinya diperlakukan buruk oleh ibu mertuanya. Terlihat jelas, Mirna tidak menyukai putrinya, juga dirinya. "Bi... tolong goreng tempe mendoannya!" Mirna melirik ke arah dapur dan bicara lantang. "Baik, Nyonya," balas sang asisten. Ia segera mengerjakan perintah majikan. "Oya Pak Ramdhan, Bu Mirna, saya mohon maaf jika selama tinggal di sini Lintang banyak membuat kesalahan." Suryati menatap Ramdhan dan Mirna bergantian. "Lintang menantu yang baik, Bu. Dia tidak pernah berbuat sesuatu yang tidak baik," balas Ramdhan. "Iya, Bu, Lintang adalah istri yang baik." Langit turut memuji Lintang. Ia menggenggam tangan Lintang erat. "Lintang ini perlu menjaga sikap layaknya perempuan terhormat. Jangan sampai bersikap agresif dengan laki-laki lain, apalagi suami dari kakak iparnya!" mata Mirna menyorot tajam Lintang yang melongo mendengarnya. Lintang tak menyangka ibu mertuanya akan berbicara sesuatu yang tidak benar tentangnya di hadapan ibunya. Suryati menatap tajam putrinya. Ia berharap apa yang dikatakan Mirna tidak benar adanya. "Lintang nggak pernah agresif sama Mas Rangga, Ma. Mas Rangga lah yang agresif dan merayu Lintang. Lintang nggak pernah menanggapi." Lintang kecewa dengan sikap sang ibu mertua. "Ma, kenapa Mama bicara sesuatu yang tidak benar soal Lintang? Mas Rangga yang udah berbuat kurang ajar sama Lintang!" Langit turut serta membela sang istri. "Apa kesaksian Devana, Marsha, serta Rangga sendiri tak cukup membuktikan? Buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Mirna menatap Suryati tajam. Tatapan yang menghunjam itu diartikan Suryati sebagai penghakiman untuknya. "Ma, sudahlah Ma. Hormati kedatangan Bu Suryati. Jangan membahas sesuatu yang tidak ada buktinya!" Ramdhan menatap tajam sang istri. "Memang benar yang dikatakan Mama. Ibu Suryati harus tahu gimana kelakuan anaknya di rumah ini. Dia menggoda Mas Rangga. Ganjen itu tabiat. Lintang punya tabiat itu." Devana tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menjatuhkan Lintang. Lintang tak bisa tinggal diam. Ia menatap Devana lekat-lekat. "Yang ganjen itu Mbak Devana. Tadinya saya cuma ingin bicara hal ini empat mata dengan Mbak Marsha..." Lintang melirik Marsha yang duduk di sebelah Mirna, "tapi karena Mbak Devana memfitnah saya untuk ke sekian kali, saya akan membukanya di sini. Saya pernah melihat Mbak Devana dan Mas Rangga berciuman di taman belakang." Semua yang ada di ruangan tersebut kaget bukan kepalang. Rangga dan Devana bungkam seribu bahasa dan tak menyangka Lintang mengetahui perselingkuhan mereka. "Kamu jangan mengada-ada. Apa buktinya kalau saya dan Devana punya hubungan?" Rangga membulatkan matanya. "Saya memang belum punya bukti selain mata saya sendiri yang pernah melihatnya. Tapi semua yang di sini bisa memegang kata-kata saya." Lintang beralih melirik Marsha yang masih membisu, "silakan Mbak Marsha mengawasi Mas Rangga. Jangan mau tertipu dengan sikap manis Mbak Devana dan Mas Rangga. Mereka telah menikam Mbak Marsha dari belakang. Mbak Marsha bisa memegang kata-kata saya. Saya tidak membuat kebohongan. Saya bicara yang sebenarnya." Lintang menegaskan kata-katanya. Marsha menatap Rangga dan Devana. Ia tak menyangka keduanya tega mengkhianatinya. Namun, dia tak mau gegabah mempercayai Lintang. Dia akan menyelidiki hubungan keduanya. "Jaga bicara kamu, Lintang! Saya dan Mas Rangga tidak memiliki affair. Kamu jangan memfitnah saya!" Devana gusar, ia tak habis pikir gadis yang di matanya lemah ini berani membongkar perbuatannya. "Saya tidak memfitnah. Demi Allah saya melihat mereka berciuman di taman belakang," balas Lintang lantang. "Sejak kamu datang ke rumah ini, suasana rumah ini jadi kacau. Kamu ingin mengadu domba keluarga ini?" Mirna membulatkan matanya seakan hendak menelan Lintang hidup-hidup. "Sesuatu yang tampak tenang dan adem ayem belum tentu baik keadaannya. Sedangkan sesuatu yang kacau itu terjadi karena terbongkarnya sebuah pengkhianatan yang dilakukan dua menantu Mama, Devana dan Mas Rangga. Kacau tapi ada kejujuran yang saya sampaikan." Lintang belum ingin menyudahi pembelaannya. Selama ini ia lebih banyak diam. Ia tak mau lagi diinjak-injak dan difitnah seenaknya. "Kamu sama saja seperti ibu kamu, penghancur kebahagiaan rumah tangga orang lain!" Rasa benci yang bergemuruh di d**a Mirna telah membutakan matanya. Hingga apapun yang Lintang katakan selalu saja salah. Suryati tak terima putrinya dihina seperti ini. Ia beranjak dan menatap lekat sang besan. "Anak saya bukan penghancur rumah tangga orang. Saya juga tidak seperti yang Ibu tuduhkan karena Ibu tak tahu seperti apa duduk persoalannya. Saya tidak terima anak saya diperlakukan seperti ini oleh ibu mertua dan ipar-iparnya." Suryati beralih menatap Lintang dengan perasaan berkaca. "Lintang, Ibu pamit pulang. Mungkin Ibu akan bermalam semalam saja di hotel. Besok Ibu pulang ke kampung. Jaga diri kamu baik-baik." Ia beralih menatap Langit. "Maaf, Nak Langit, tolong ambilkan tas Ibu di kamar. Ibu tak bisa menginap di sini." Setitik bulir bening jatuh membasah di pipi Suryati. "Bu Suryati, saya mohon jangan diambil hati kata-kata istri dan menantu saya. Bu Suryati sudah jauh-jauh datang ke sini, sebaiknya Ibu beristirahat di sini dulu." Ramdhan merasa tak enak hati. Ia pun menyayangkan sikap istrinya yang telah melontarkan kata-kata pedasnya. "Terima kasih, Pak. Saya pamit, Pak. Putri saya anak yang baik. Saya hanya meminta Bapak untuk tidak mendengar kata-kata buruk tentangnya." Langit yang telah mengambilkan tas Suryati mendekat ke arah ibu mertuanya. "Bu, saya antar ke hotel, ya." "Tidak perlu, Nak. Kamu di sini saja dan jagalah Lintang baik-baik." Lintang menangis terisak. Ia tak menyangka kedatangan ibunya akan disambut dengan sambutan seperti ini. Lintang dan Langit mengantar Suryati hingga ke depan. "Bu, saya dan Lintang akan mengantar ibu." Langit merasa bersalah akan sikap ibunya yang semena-mena terhadap ibu mertuanya. "Tidak usah, Nak. Kalian di sini saja. Jelaskan pada semuanya kalau Lintang memang tidak bersalah." Suryati mengusap lengan putrinya. "Maafkan sikap Mama, Bu." Langit menunduk. Ia tahu perasaan ibu mertuanya pasti sangat terluka. "Tidak apa-apa. Ibu ini cuma orang kampung. Lintang juga lahir di kampung. Meski kami orang kampung yang nggak punya banyak harta tapi kami masih punya harga diri. Ibu mohon, jaga Lintang baik-baik. Kalau perlu bawa Lintang keluar dari sini." Suryati menyeka air matanya. Lintang tak kuasa lagi menahan laju air matanya. Ia memeluk ibunya erat. Langit menelepon salah satu hotel untuk memesan satu kamar untuk ibu mertuanya. Ia meminta salah satu supir mengantarkannya. Langit meminta maaf sekali lagi atas ketidaknyamanan di rumahnya. Ia berjanji akan mengunjungi ibu mertuanya di hotel bersama Lintang. Lintang masih sesenggukan kendati sang ibu sudah berangkat ke hotel diantar supir. "Mas, aku masih bisa terima kalau aku dihina, dicaci oleh Mama dan juga kakak-kakak ipar. Tapi aku nggak rela ibu direndahkan. Aku nggak tahan lagi untuk tinggal di sini, Mas." Lintang mengusap air matanya. "Baik, kita akan pindah ke apartemen hari ini juga." Langit menggandeng tangan Lintang dan masuk ke dalam. "Dasar kamu ini pandai sekali memutarbalikkan fakta. Kamu tuduh Devana dan Rangga bermain di belakang." Mirna menatap Lintang penuh amarah. "Ma, harus berapa kali Langit bilang, Lintang tidak bersalah. Selidiki dulu semuanya. Silakan periksa semua cctv di rumah ini. Aku yakin, ada yang bisa melacak perbuatan Mbak Devana dan Mas Rangga." Langit menatap tajam Devana dan Rangga yang mematung dengan kecemasan yang terlukis di raut wajah mereka. Marsha tak tahan lagi berdiam diri. "Mas, apa benar kamu dan Devana ada hubungan?" Marsha mulai curiga. Terkadang suaminya memang begitu akrab dengan Devana. "Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan Devana." Rangga geram dengan Lintang yang telah berani mengadu. Ia pastikan tak akan membiarkan perempuan itu hidup tenang. "Maling mana ada yang mau ngaku, Mbak. Mulai sekarang awasi suami Mbak ini." Langit beralih menatap sang ayah. "Maaf, Pa. Langit dan Lintang akan pindah ke apartemen hari ini juga. Sangat tidak sehat berada di rumah ini di mana kita tinggal satu rumah dengan non mahram. Sampai-sampai ada yang m***m di rumah ini." "Tapi Papa inginnya kita ngumpul, Langit." Ramdhan keberatan jika Langit dan Lintang meninggalkan rumah. "Mohon maaf, Pa. Kali ini Langit harus keluar dari rumah ini bersama Lintang. Langit nggak bisa berlama-lama di sini, sementara Mama, Mas Rangga, dan Mbak Devana terus saja menyudutkan Lintang." "Kamu sudah berani melawan Mama? Kamu lebih membela istrimu ini?" Mirna melotot ke arah Lintang. Ia tak terima Langit lebih memihak pada perempuan kampung itu. "Istri saya benar, tentu Langit akan membelanya." Langit menuntun Lintang menuju kamar. Mereka segera mengemas pakaian dan barang-barang yang lain. Lintang menata baju-bajunya masih dengan isak tangis yang tersedu-sedu. "Mas, aku nggak nyangka semua jadi seperti ini. Aku pinginnya kita keluar dari rumah ini baik-baik." Langit menatap Lintang lembut. Ia mengusap air mata yang bercucuran dari kedua sudut mata Lintang. "Kamu nggak usah khawatir. Nanti keadaan juga akan membaik kembali. Kebenaran pasti terungkap. Aku akan ikut menyelidiki Mas Rangga dan Mbak Devana. Aku juga nggak rela Mbak Marsha dikhianati suaminya. Kita akan tinggal di apartemen sampai rumah kita selesai dibangun." Lintang memeluk suaminya erat. Ia berterima kasih karena Langit mempercayainya dan menuruti nasihat ibunya untuk membawanya keluar dari rumah ini. "Terima kasih, Mas. Insya Allah segalanya akan lebih baik." ****** bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN