Bab 8. Usaha Mengakhiri Hidup

1045 Kata
Begitu dicek, hasilnya membuat Nilna meremas alat untuk mengetes kehamilan itu. Nilna terduduk lemas di lantai kamar mandi. “Ini nggak adil buatku! Ini sangat keja*m!” Nilna menutup telinga dengan kedua tangan seiring bisikan nakal setan terus-menerus seperti ditiup ke telinganya. Dua garis yang terlihat di testpack, membuat dunia Nilna seperti runtuh menimpa kepala hingga ia kesulitan bahkan untuk sekadar menoleh. Kanan kiri, atas bawah, depan belakang, semua ditekan masalah yang tiada habisnya. Nilna memukuli perutnya dengan sangat kuat. Ia berharap noda di dalamnya bisa luruh. Ia berharap, janin yang ada di sana tidak betah ada di rahimnya. Setelah menangis cukup lama, Nilna benar-benar tidak kuat lagi menanggung beban hidup. Wanita itu berdiri mengambil gunting yang biasa digunakan untuk memotong sampo atau sabun. Dengan tangan gemetar dan mata terpejam, tanpa berpikir panjang ia memutus urat nadi tangan kirinya. Tekanan hidup benar-benar membuatnya gelap mata. Tepat saat darah mulai keluar, hatinya mati rasa. Sudah tidak ada lagi tangis atau sekadar ucapan protes kepada Sang Maha Kuasa. Rasa sakit di pergelangan tangan sebisanya tidak dirasakan. Wanita itu juga masih sempat memasukkan hasil tes kehamilan ke saku baju. Kedua tangannya mengepal kuat meski rasa sakit terus mendera. "Mungkin ini yang terbaik. Wanita kotor sepertiku tidak ada gunanya mengisi dunia ini." Nilna tersenyum tawar. Matanya hanya menyorot kosong saat melihat darah segarnya menetes di lantai kamar mandi. Perlahan-lahan, pandangannya terasa mengabur, kepalanya terasa berputar-putar. Ia terduduk, lalu tidak sadarkan diri. Sementara Anggi yang ketinggalan dompet, kembali ke kos-kosan. Ia mencari di setiap sudut kamar sambil meneriakkan nama Nilna. “Na, Nilna!” “Nilna, yuhuu!” Anggi terus berteriak sambil mengobrak-abrik isi lemari dan kasur. “Di mana dompetku?” Anggi terus bergumam. “Na! Tahu dompetku di mana?” Karena merasa tidak ada sahutan, Anggi berdecak. “Ke mana ni anak?” Anggi baru sadar kalau mungkin saja dompetnya tertinggal di saku baju. Begitu mencari di keranjang baju kotor dekat kamar mandi, Anggi melihat pintu kamar mandi dalam keadaan tertutup. “Nilna, kamu di dalam!” Anggi berteriak. Tangannya hendak menggedor pintu, tetapi baru disentuh sudah terbuka sebab pintu tidak dikunci. Begitu melihat dalam kamar mandi, Anggi berteriak histeris. Di sana, ada Nilna yang tergolek dengan darah di sekitarnya. “Nilna!” Anggi berderap masuk. Tangannya gemetar saat melihat darah memenuhi lantai kamar mandi. “A-aku harus apa?” Keringat dingin membasahi tubuh Anggi. Ia mendadak bingung harus berbuat apa. “Nilna, bangun! Jangan mati di sini, Bo*oh! Kamu mau menghantuiku padahal aku yang selama ini nolong kamu!” Anggi menangis. Tubuhnya masih gemetar. Sekadar berdiri pun rasanya susah. “To-toloong!” Dengan sekuat tenaga, akhirnya Anggi berteriak. Sekali, dua kali tidak ada yang datang. Ia menambah volume suara hingga akhirnya banyak orang masuk kos-kosan. "Ba-bantu saya ke rumah sakit bawa teman saya. Tolong," pinta Anggi sambil menangis. "Apa dia masih hidup? Atau sudah tiada?" tanya salah seorang. Anggi menggeleng. Setelah diperiksa, denyut nadi Nilna ternyata masih ada. Tubuh lemas Nilna lantas dibopong dan dilarikan ke rumah sakit dengan mobil tetangga. ** Dengan gelisah, Anggi menunggu sang sahabat yang masih ditangani. Setelah menunggu beberapa saat, akhirinya dokter mempersilakan ia masuk melihat keadaan Nilna. “Kenapa kamu begitu g*la, Na! Kamu pikir setelah m*ti masalahmu selesai, hah! Sudah yakin amalmu banyak sampe berani bunuh diri! Yakin kamu kuat masuk neraka, hah!” bentak Anggi kepada Nilna. Wanita itu sampai izin tidak bekerja demi menunggu sang sahabat di rumah sakit. Nilna akhirnya tersadar setelah ditangani dan diberi transfusi darah. Bukannya menenangkan, Anggi malah memarahi. Jika kelembutan sudah tidak bisa membuat Nilna tenang, Anggi mencoba dengan cara sedikit tegas. Nilna tetap diam meski Anggi masih memarahinya. Pandangannya tak ubahnya seperti manusia tanpa masa depan. Matanya terbuka, tetapi pandangannya seperti tidak berujung. Kosong. “Kamu nggak ngehargai aku yang begitu peduli sama kamu!” Anggi terus membentak sambil menangis. Ia juga mengguncang bahu Nilna. Anggi benar-benar sangat kecewa. Di saat semua dikira sudah baik-baik saja, sang sahabat justru melakukan hal di luar nalar. “Coba kalau tadi aku nggak balik, coba kalau dompetku nggak ketinggalan, kamu mungkin sudah m*ti dan jadi setan yang terus ganggu aku! Itu bukan rumahku, bukan rumahmu sampai kamu bisa berbuat seenaknya. B*doh jangan dipelihara, Go*lok!” Anggi terus memarahi sambil menangis. Sementara yang dimarahi hanya menatap langit-langit UGD dengan pandangan kosong. Anggi meraup wajah dengan kedua telapak tangan. “Na, plis jangan lakuin ini lagi. Nyawamu terlalu berharga untuk mengaku kalah dengan Satria, dengan penj*hat itu.” Ucapan Anggi sudah mulai lembut. “Ribuan kali aku bilang, ada aku, kamu nggak sendiri. Kita hadapi masalahmu sama-sama. Tapi apa yang kamu lakuin barusan? Hah! Aku ngerasa kamu nggak nganggep aku ini sahabat. Kamu bener-bener bo*oh!” Pandangan linglung Nilna perlahan sirna. Air wajahnya sudah tidak se-t***l tadi. “Ada aku, Nilna. Semua sudah baik-baik saja. Videomu sudah tidak tersebar, kamu bisa lanjutin hidup. Tapi, ah!” Air mata Nilna mulai menitik. “Menangislah, sekencangnya. Itu lebih baik daripada diam kayak gini. Na, sekali lagi aku mohon jangan punya niat bunuh diri. Kalau kamu ngerasa dunia begitu tidak adil sama kamu, lihatlah aku. Masih ada aku yang peduli sama kamu. Itu yang harus kamu tanamkan dalam pikiranmu.” Anggi memeluk sang sahabat yang masih tergolek di ranjang sambil menangis kencang. Air mata Nilna juga ikut berderai. Ucapan Anggi merupakan tamparan telak untuknya. "Maaf, bukan niat memarahimu. Tapi agar kamu sadar kamu itu nggak sendiri. Ada aku. Jangan kayak gitu lagi, kumohon." Anggi berbisik di telinga Nilna. ** Keesokan harinya, Anggi terpaksa bekerja meski sebenarnya berat meninggalkan Nilna sendiri di rumah sakit. Ia sudah izin, tidak enak jika izin lagi. Kondisi Nilna belum pulih meski sudah mau bicara dan berkomunikasi setelah ditangani dokter. Tidak seperti kemarin yang diam seribu bahasa. Namun, belum ada yang tahu alasan di balik niatannya bun*h diri. “Titip teman saya, ya, Sus. Tolong awasi dia terus. Saya takut kenapa-napa sementara saya harus kerja,” ucap Anggi kepada perawat. “Siap, Bu. Kami akan memberikan pelayanan terbaik.” Perawat dengan senang hati mengiakan. Setelah dirasa Nilna aman di rumah sakit, Anggi berangkat kerja. Ia berpikir akan kembali nanti setelah jam kerja berakhir. Siangnya, Nilna membuka mata setelah entah sudah berapa lama terlelap. Saat berusaha membuka mata, wanita itu terlonjak karena ada seorang pria duduk di sampingnya. “Hai, Nilna? Apa kabar?” sapa pria tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN