Bab 9. Sebuah Paket

1076 Kata
“Sudah bangun?” tanya pria itu kembali sambil tersenyum. Sementara Nilna masih berusaha menormalkan kinerja jantung yang hampir lompat dari tempatnya. Siapa yang tidak terkejut saat membuka mata, wajah pria itu langsung menyapa. “Mas Lukman ngagetin aja. Sejak kapan ada di sini?” tanya Nilna. Lukman hanya tertawa menanggapinya. “Baru lima jaman. Ya, maaf kalau bikin kamu kaget.” Nilna mengamati jam dinding. Perasaan baru sejam yang lalu ia tertidur. Ia tahu Lukman bercanda. “Kenapa nggak dibangunin?” “Nggak tega. Pules banget kayaknya.” Pria itu mengambil sesuatu dari nakas. Setelah sebuah styrofoam sudah ada di tangan, ia mengangsurkan kepada Nilna setelah menata isinya. Ada nasi hangat dan cumi-cumi lada hitam yang terlihat menggugah selera. “Makasih.” Nilna menerimanya. Entah dari mana Lukman tahu kalau itu makanan favoritnya. Apalagi olahan tangan Lukman memang tidak diragukan lagi rasanya. Pria itu seorang chef handal. “Makanlah. Entah sudah berapa abad kamu nggak makan sampai kurus kering begini.” Lukman mencoba bergurau. “Terakhir ketemu kamu sekitar sebulan yang lalu. Hampir saja aku pangling karena sekarang kamu benar-benar kayak balon kempes, yang keluar anginnya.” Lukman kembali memancing agar Nilna tersenyum. Harapan Lukman sia-sia. Nilna hanya menanggapinya datar. Wanita itu lalu mulai melahap makan. Pelan-pelan ia mengunyah makanan. Sementara Lukman memperhatikannya intens. “Ma-maaf kalau bikin kamu tersinggung. Aku hanya bercanda.” Lukman merasa bersalah. “Aku nggak tersinggung, kok, Mas. Malah bersyukur ada yang bilang aku kurusan. Biasanya semua orang nyebut aku gendut. Nilna gendut.” Kali ini, bibir Nilna sedikit tertarik. Lukman merupakan salah satu orang yang simpati dan kasihan kepada Nilna. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak karena Anggi berkata kalau Nilna tidak mau ditemui siapa pun termasuk dirinya sebulan belakangan. Hanya dengan mengirim beberapa makanan lewat Anggi yang bisa Lukman lakukan sebagai bentuk perhatian kepada Nilna. Itu pun tanpa sepengetahuan Nilna kalau makanan itu dari Lukman. Kini setelah melihat sendiri kondisi Nilna yang sangat memprihatinkan, rasa simpati Lukman makin besar. Nilna tersedak, membuyarkan lamunan Lukman. Pria itu memberikan botol minum kepada Nilna setelah dibuka tutupnya. “Makasih," ujar Nilna setelah selesai minum. “Apa pun masalah yang tengah kau hadapi, jangan pernah merasa sendiri, Na. Jangan punya pikiran bu*nuh diri. Ada Anggi, ada aku.” Entah apa yang membuat Lukman berani bicara seperti itu. “Terima kasih udah kasihan sama aku.” “Aku nggak kasihan sama kamu, tapi peduli. Mungkin aku pria yang terlalu pengecut.” “Maksudnya?” Nilna menoleh, menatap Lukman tajam. “Aku ....” Kalimat Lukman tertahan karena ada dokter dan perawat yang datang. Nilna diperiksa dokter yang sedang visit. “Masalah itu selalu ada dalam hidup. Entah itu berat atau ringan. Yang jelas, semua orang diberikan masalah oleh Tuhan. Hanya dalam bentuk dan kadar yang berbeda. Kalau semua orang memutuskan mengakhiri hidup kalau ada masalah, kalau ada kemalangan, mungkin makhluk bernama manusia sudah punah sejak Nabi Adam dan istrinya, Hawa. Untuk itu, jadilah manusia kuat dengan tempaan. Seperti Nabi Adam dan Hawa yang berjuang agar kembali bertemu setelah terpisah ketika diturunkan dari surga. Saya yakin Ibu Nilna kuat dan harus tetap semangat. Oke? Dan jangan menjadikan masalah sebagai alasan utama mengakhiri hidup. Bu Nilna pasti bisa menghadapi semuanya.” Dokter memberi wejangan panjang lebar. Nilna hanya mengangguk samar. “Obatnya diminum rutin. Kalau sudah pulih, baru boleh pulang,” tambah sang dokter. “Saya permisi dulu. Mari.” Rombongan tenaga medis tersebut kemudian keluar dari ruangan rawat inap Nilna. “Tuh, kan. Ingat kata Dokter. Kamu harus minum obat biar cepet sembuh. Itu artinya, harus banyak makan biar bisa minum obat. Lanjutin lagi makannya, gih. Nanti baru minum obat.” Lukman kembali mengangsurkan makanan yang sempat diletakkan di nakas kepada Nilna. Tangan Nilna terangkat, tanda ia sudah tidak mau lagi makan. Ia kembali merasakan mual. “Dikit lagi.” Lukman terus memaksa. “Udah kenyang, Mas. Langsung minum obat aja.” Lukman mengalah. Dengan cekatan, ia mengambilkan obat sekalian membukanya. Obat sebanyak tiga jenis kemudian diberikan kepada Nilna beserta sebotol air mineral. Dengan kikuk, Nilna menerima dan meminum obatnya. “Makasih.” Lukman hanya mengangguk. “Tadi Mas Lukman mau ngomong apa? Kepotong gara-gara ada visit dokter.” “Bukan apa-apa. Lupakan. Ya sudah, istirahatlah lagi.” Nilna mengangguk, lalu merebahkan diri. “Bukan berniat mengusir, tapi tidak baik kita berduaan di sini, Mas. Takut ada fitnah. Aku juga mau tidur, nggak enak kalau Mas Lukman ada di sini.” Lukman paham kalau Nilna dalam mode tidak ingin diganggu. Hanya saja, kalau meninggalkan Nilna sendirian rasanya bukan pilihan yang tepat pula. Setidaknya, ia baru bisa pergi setelan Anggi datang. “Baiklah, aku pergi. Tidurlah. Tapi aku nunggu di luar. Kalau perlu bantuan, panggil aja. Ingat, jangan bertindak macam-macam lagi.” Nilna yang sudah pasrah, mengangguk pelan. Ia terpejam sebagai usiran halus kepada Lukman. Setelah yakin Nilna tidur, Lukman benar-benar keluar kamar. Ia duduk di kursi luar sambil memainkan ponselnya. Pria itu kembali melihat video Nilna yang belum dihapus dari ponselnya. ** Empat hari dirawat di rumah sakit, Nilna diperbolehkan pulang. Uang tabungannya benar-benar terkuras. Kesehatannya memang sudah pulih, tetapi tubuhnya masih sangat lemah. Ia sering mual dan muntah, tetapi sebisanya disembunyikan dari Anggi. “Uang tabunganku makin hari makin habis. Aku harus kerja apa, Nggi?” tanya Nilna suatu malam setelah seminggu pulang dari rumah sakit. “Pulihkan dulu kesehatanmu, baru mikir kerja. Toh, kamu belum sembuh total. Terutama mentalmu. Aku masih belum tega lihat kamu kerja dengan kondisi kayak gini. Katakan, kenapa kamu sampai nekat b*nuh diri kemarin?” Nilna menunduk. Ia benar-benar belum bisa cerita kepada siapa pun tentang kemalangannya. “Aku–“ Belum sempat kalimat Nilna terucap sempurna, ponsel Anggi berdering. Anggi mendapat telepon untuk segera ke tempat kerja karena ada pesanan besar sementara rekannya mendadak sakit. “Na, aku ke restoran dulu, ya. Kamu di rumah aja. Jangan macem-macem. Kamu harus janji.” Anggi meletakkan telapak tangannya di kepala Nilna. Ritual itu seperti keharusan yang dilakukan Anggi sebelum meninggalkan Nilna sendiri. Nilna mengangguk. Setelah kepergian Anggi, Nilna berniat tidur. Namun, ketukan di pintu membuatnya urung. Saat membuka pintu kos-kosan, ada sebuah paket tergeletak. Nilna menelisik dan penerima paket yang ternyata atas namanya. Saat itu juga, Nilna membukanya. Saat paket terbuka sempurna, Nilna langsung membuang dan menjerit histeris. Wanita itu tremor. Perutnya tiba-tiba seperti diaduk-aduk. Sambil menangis, ia menutup mulut dan hidung. “Astagfirullah. Siapa yang tega ngirim boneka penuh darah dan berbau busuk ini?” Spontan, Nilna muntah-muntah. Entah dari mana asalnya, seorang pria datang dan mendekati Nilna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN