Bab 10. Janin tak Bertuan

1039 Kata
Pria itu mendekat hendak menyiramkan sesuatu ke tubuh Nilna yang masih mengeluarkan isi lambung. Posisi Nilna membelakangi hingga tidak sadar ada bahaya yang mengintai. “Hey, mau apa kau!” Suara bentakan terdengar. “Nilna awas!” Suara Lukman terdengar melengking. Pria asing itu lalu berlari menjauh sebelum niatnya terealisasi. Ia urung menyiramkan air keras yang sekiranya akan disiramkan di tubuh Nilna. “Hey, tunggu! Jangan kabur!” Lukman hendak mengejar, tetapi tidak jadi karena melihat Nilna yang duduk terkulai. Wanita itu syok dan lemas. Wanita berhijab navy tersebut masih terus muntah sambil memegangi kepala yang kian terasa pusing. “Kamu kenapa bisa sampe kayak gini?” tanya Lukman. Nilna tidak bisa menjawab. Dalam keadaan biasa saja ia sering mual dan muntah, apalagi ketika mencium bangkai? Mual bertambah luar biasa. Lukman memberanikan diri masuk kamar kos-kosan untuk mencari air. Beruntung ada sebotol air mineral yang ada di atas meja tidak jauh dari pintu. Setelah barang yang didapat ada di tangan, Lukman kembali keluar. Betapa terkejutnya pria berkaus abu-abu itu saat melihat Nilna sudah tidak sadarkan diri. “Nilna!” Lukman mencoba membangunkan dengan menepuk-nepuk pipi Nilna. Sedikit air juga dicipratkan ke wajah Nilna. Namun, nihil. Wanita itu tidak jua tersadar. "Baru kemarin keluar rumah sakit, kamu sudah kayak gini lagi. Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Na?" gumam Lukman. Setelah beberapa saat tidak ada respons berarti, cepat-cepat Lukman membopong Nilna ke mobilnya yang terparkir agak jauh dari kos-kosan. Tubuh wanita itu diletakkan di kursi belakang. Mobil itu lalu melaju menuju rumah sakit. "Na, bertahanlah." Lukman sesekali menoleh belakang untuk memastikan Nilna tidak terjatuh. ** Tiba di rumah sakit, Nilna langsung ditangani. “Keluhan sebelum pingsan apa Bapak tahu?” tanya sang dokter. “Dia muntah-muntah, Dok.” “Apa mungkin keracunan? Makanan apa yang terakhir dimakan pasien?” “Kalau masalah itu, saya kurang tahu. Saya temannya, begitu datang ke tempatnya dia sudah seperti itu.” “Baiklah, kami akan melakukan pemeriksaan menyeluruh.” “Lakukan yang terbaik untuk teman saya, Dok.” Dokter UGD itu mengangguk. Kedatangan Lukman ke kos-kosan tadi untuk menjenguk Nilna. Pasalnya, setelah pulang dari rumah sakit, ia belum pernah menjenguk wanita bermata sendu itu lagi. Namun, apa yang dilihatnya justru membuat pria tersebut merasa geram sekaligus teriris hati. “Entah siapa orang tadi. Tampaknya dia ingin mencelakakanmu. Si*l! Aku nggak sempat mengejarnya," gumam Lukman. Ia lebih memprioritaskan keadaan Nilna daripada harus mengejar orang misterius tadi. Lukman keluar saat Nilna masih ditangani dokter. Ia mencoba mengabari Anggi akan kondisi Nilna yang kembali drop dan terpaksa kembali dibawa ke rumah sakit. ** “Apa yang terjadi, Na? Kenapa kamu sampai muntah-muntah kayak tadi?” tanya Lukman setelah Nilna siuman. “Tadi ada paket yang ditujukan kepadaku, Mas. Isinya boneka berlumuran darah yang berbau busuk. Aku mual banget.” Nilna kembali ingin muntah saat mengingat kejadian sebelumnya. “Dokter sudah tanya semua keluhanmu?” tanya Lukman. Nilna mengangguk. “Udah, tapi darahku katanya tetap akan di-lab. A-aku takut.” Wanita itu bukan takut tersebab mungkin ada penyakit berbahaya, tetapi takut kalau kehamilannya ikut diketahui. Pasalnya, ia tidak ingin orang tahu jika ia sedang berbadan dua. “Nggak usah takut. Semua pasti akan baik-baik saja.” “Mas Lukman, terima kasih udah nolong aku. Tapi seharusnya jangan bawa aku ke sini lagi. Aku capek kalo ke rumah sakit lagi.” “Aku terpaksa karena khawatir banget sama keadaanmu. Bagaimana mungkin aku membiarkanmu tanpa membawa ke sini padahal kondisimu sangat memprihatinkan? Lagian, sudah kewajibanku lakuin ini." Nilna menatap Lukman sambil memicing, bingung menganalisa kewajiban yang dimaksud pria di hadapannya. “Maksudku, sudah tugasku menolong sesama, apalagi teman.” Nilna mengangguk-angguk, tetapi sedikit curiga dengan kata kewajiban yang dilontarkan Lukman. “Kalau hasil lab-nya nggak apa-apa, kira-kira aku bisa cepat pulang nggak, ya?” Kali ini, Nilna menunduk. “Yang penting kamu sehat dulu, Na. Masalah pulang, itu dipikir belakangan. Aku tunggu di luar. Kamu istirahatlah.” Nilna mengangguk. Beberapa saat kemudian, Nilna dihampiri seorang perawat. Lukman ikut masuk saat tenaga medis itu datang. “Permisi, Bu Nilna. Nanti dua jam lagi kita jadwalkan ke poli kandungan untuk kepastian yang lebih akurat.” “Po-poli kandungan? Ma-maksudnya apa, Sus?” tanya Lukman terbata-bata. Pria itu belum pulang dan masih setia menunggu Nilna. “Salah satu hasil tes darah, ditemukan hormon hCG dalam darah Bu Nilna. Itu artinya Bu Nilna sedang hamil. Untuk melihat lebih detailnya, kita lakukan USG agar tahu perkembangan janinnya seperti apa, apa kehamilannya sehat atau tidak.” Suara perawat selanjutnya tidak terlalu didengar oleh Lukman. Suara itu justru seperti gelegar pesawat TNI yang sering ia dengar. Bising, mencekam. Belum selesai masalah video, kini muncul lagi masalah lain. Masalah yang lebih serius dan memengaruhi masa depan Nilna, wanita yang diam-diam dicintainya. “Selamat, ya, Pak. Sepertinya anggota keluarga kalian akan bertambah.” Si*alnya, perawat justru mengira Lukman adalah suami Nilna. Setitik butiran bening lolos dari mata Nilna. Perlahan, ia meraba perut. Benih siapa pun di sana, harus segera dihilangkan. Setelah pulang dari rawat inap yang pertama, ia belum bisa melakukan apa-apa karena tubuhnya masih sangat lemas. Kini, ia harus kuat demi meluruhkan bayi itu. Bagaimanapun caranya. Nilna benar-benar tidak bisa hidup dalam bayang-bayang kelam seumur hidupnya. Bayi itu harus m*ti. Nilna berpikir, belum lahir saja sudah sangat merepotkan, apalagi kalau sudah lahir nanti? Bukan hanya mencoreng wajahnya, tetapi juga akan ada kebutuhan banyak untuk menghidupinya “Na,” panggil Lukman. Nilna menoleh dengan mata yang sudah berembun. Mati-matian ia menahan agar air mata itu tidak jatuh lagi. “Nanti tolong temani istrinya, ya, Pak,” ujar perawat lagi. “Ta-tapi dia bu–“ “Ya, pasti, Sus.” Ucapan Nilna dipotong Lukman. “Nanti dua jam lagi saya ke sini dan saya bantu ke poli.” Usai mengatakan itu, perawat tersebut pergi. Nilna kembali menatap Lukman dengan sorot kecewa. “Mas, jangan bohong kalau aku–“ “Aku nggak mengaku suamimu, hanya mengiakan apa yang diminta perawat.” Lukman seolah-olah tahu Nilna akan menyatakan protes. “Pergilah, Mas. Pulanglah. Aku mau sendiri. Aku malu.” Kali ini genangan air mata Nilna benar-benar meluber dan terjatuh setitik. “Aku akan pergi kalau suamimu datang. Atau haruskah kukabari dia berita ini? Dia harus tahu, bukan? Ini pasti anaknya." Lukman sengaja memancing. Ia ingin tahu seperti apa ekspresi Nilna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN