“Nggak usah repot-repot mengabarinya.” Nilna menggeleng.
Bagaimana mungkin itu bisa dilakukan? Satria sudah barang tentu tidak mau datang karena itu bukan anaknya. Seumur pernikahan, pria itu tidak pernah menjamah Nilna. Mustahil juga menjelaskan semua itu kepada Lukman karena sama saja itu membuka aib pernikahannya.
Di rahimnya ada janin pria bi*dab entah siapa. Haruskah ia mencari pria tidak punya hati itu? Namun, untuk apa? Kalau tahu siapa penj*hat itu, apa semua akan baik-baik saja atau justru makin runyam? Terlalu pusing Nilna memikirkan.
Kemarin, saat rawat inap pertama dokter sudah melakukan sugesti dan beberapa terapi agar Nilna tenang dan itu sedikit membantu. Ia sudah agak tidak terlalu memikirkan kehamilannya. Namun, setelah kiriman paket itu, jiwanya tertekan lagi. Belum lagi ditambah akan dilakukan USG. Nilna seperti akan melihat hasil noda permanen di rahimnya.
“Mas pulanglah. Biar aku yang nanti meneleponnya sendiri. Itu urusanku. Jangan ikut campur terlalu dalam.”
“Sekali nggak tetap nggak. Aku akan menemanimu. Kalau suamimu benar-benar datang, baru aku pergi.” Lukman bersikukuh.
Nilna sudah berusaha menahan agar tangis dan rasa tidak nyamannya tidak diketahui Lukman. Ia lalu memutar tubuh menghadap tembok di sampingnya, enggan menatap Lukman. Agar pria itu tidak tahu betapa kacaunya ia.
“Aku harap Mas masih punya rasa sungkan. Aku masih istri orang dan tidak baik kita berduaan di sini. Aku mohon, pergilah, Mas.” Suara Nilna bergetar.
“Apa kehamilan ini juga alasanmu ingin mengakhiri hidup? Na, ceritakan semua kepadaku apa yang terjadi sama kamu. Siapa tahu aku bisa membantu. Bukankah kita teman?” tanya Lukman.
“Sekali lagi pergilah, Mas. Aku ingin sendiri.”
“Aku tahu kalau ada tragedi yang menimpamu. Tapi aku berharap, anak yang kamu kandung adalah anak suamimu. Semoga saja begitu.”
“Mas.” Nilna sudah benar-benar lelah.
“Baiklah, aku pergi.” Lukman mengembuskan napas berat, lalu bangkit. Terdengar bunyi kursi yang ditarik.
Lukman mengangguk. Anggukan yang tidak dilihat Nilna karena wanita itu masih membelakangi.
Lukman kemudian keluar ruangan Nilna. Ia tidak benar-benar pergi. Pria itu sejenak mengintip. Terlihat bahu Nilna berguncang. Hijabnya dipakai untuk mengelap air mata yang terus turun ke pipi. Sesekali Nilna memukuli perutnya.
Lukman ragu untuk masuk lagi berniat menenangkan. Ia hanya menjadi pengamat tanpa bisa mendekat. Tangannya mengepal. Ia menyugar rambut frustrasi.
Sebenarnya, sejak lama Lukman menaruh hati kepada Nilna. Namun, orang tuanya sudah menyiapkan calon istri. Pria itu hanya manut dan ternyata sang calon tidak sesuai kriterianya. Pun si calon istri menerima Lukman karena terpaksa. Meski begitu, keduanya tetap menikah. Baru setahun membina rumah tangga, istrinya tidak mau lagi dengannya.
Jika biasanya istri yang dipulangkan, kali ini berbeda. Lukman yang dipulangkan ke rumah orang tuanya. Beruntung istrinya belum hamil karena tanpa diketahui Lukman, wanita itu selalu mengonsumsi pil kontrasepsi selama menikah. Pernikahan tanpa cinta, nyatanya tetap tidak bisa menumbuhkan cinta. Pernikahan mereka berakhir di Pengadilan Agama.
Lukman tidak menyesal dan tidak menyalahkan takdir. Ia ikhlas menjalani itu semua. Namun, berbagai kata 'seandainya' kerap kali membuatnya sesak.
Seandainya dulu ia memperjuangkan Nilna. Seandainya Nilna tidak menikah dengan pria lain, dan sebagainya. Lukman kini tidak bisa berbuat banyak karena status Nilna yang masih istri orang.
Batin Lukman ikut teriris kala melihat keadaan Nilna yang tengah menutup wajah dengan kedua tangan di dalam sana. Lukman memang tidak tahu pasti apa yang terjadi dalam rumah tanggal Nilna. Namun, dulu ia sering melihat Satria bersama wanita lain. Pun Nilna sekarang juga tinggal dikos-kosan Anggi, tidak di rumah suaminya. Itu cukup membuktikan kalau hubungan Nilna dan suaminya sedang tidak sehat.
Masalah Nilna cukup pelik. Dirud*paksa dalam keadaan pingsan, videonya menyebar, dan kini tengah hamil. Lukman benar-benar kasihan dan tekadnya menjaga Nilna kian besar.
**
“Ini yang terlihat seperti titik inilah nanti yang akan tumbuh menjadi bayi. Semuanya bagus, perkembangan bayinya juga sehat.” Dokter kandungan mulai menjelaskan saat Nilna melakukan USG.
Tidak sedikit pun Nilna memerhatikan monitor. Ia hanya melengos sambil terus menangis. Wanita itu juga tidak tahu kenapa menjelma menjadi wanita selemah dan secengeng itu.
“Alhamdulillah.” Suara Lukman yang terdengar, justru membuat Nilna mual.
Lukman masih menunggu di depan kamar Nilna saat perawat datang dan menginformasikan menuju poli kandungan tadi. Awalnya, Nilna terkejut karena mengira Lukman sudah pulang. Nilna sudah mengusir, tetapi Lukman begitu keras kepala dan kukuh menemaninya.
“Ibunya, kok, malah nangis?” tanya sang dokter.
“Mungkin saking bahagianya, Dok,” timpal Lukman.
“Dijaga istrinya, ya, Pak. Pastikan nutrisi dan gizi untuk istrinya cukup. Agar bayinya sehat, normal. Jangan lupa untuk selalu membuat suasana hati istrinya selalu bahagia karena itu juga sangat berpengaruh untuk si bayi. Kalau ibunya stres, bayinya juga ikut stres.” Dokter kandungan berjenis kelamin perempuan itu memberi saran.
Lukman hanya mengangguk dan menyimak dengan saksama. Seolah-olah ia benar-benar suami Nilna. Sementara sejak tadi, Nilna lebih banyak diam dan hanya menjawab seperlunya saat dokter bertanya.
Nilna benar-benar tidak menyangka, sekali dijamah ia langsung hamil.
Setelah melakukan USG, Nilna kembali ke kamar rawat inap dibantu perawat dan didampingi Lukman. Di sana sudah ada Anggi.
“Syukurlah masih ada Mas Lukman di sini. Tadi pulang kerja niatnya mau langsung ke sini, tapi aku ketiduran dan pules banget. Maaf, ya, Na. Ini aku baru nyampe, mau tanya perawat jaga kamu di mana, kok, nggak ada. Eh, kamu udah balik,” ujar Anggi sambil membantu Nilna naik ke ranjang.
“Nggak apa-apa,” ujar Nilna lirih.
Setelah tugasnya selesai, perawat pamit undur diri.
“Sudah ada Anggi di sini. Aku pamit dulu, ya, Na.” Lukman ambil suara.
Nilna yang menunduk, mengangguk lemah.
“Lekaslah sembuh, jangan banyak pikiran. Kalau ada apa-apa atau pengen sesuatu, bilang Anggi. Nanti aku bawakan. Jaga diri baik-baik.”
Anggi hanya mengamati keduanya dengan wajah melongo.
"Eh, btw, ada yang kamu sembunyiin?” tanya Anggi penuh selidik setelah Lukman pergi.
“Apa?” Nilna balik bertanya.
“Kamu sama Mas Lukman?”
“Apaan? Jangan ngaco.” Nilna memijat kepalanya yang terasa pusing.
“Tatapannya, perhatiannya, terasa beda. Trus kenapa dia bisa tahu kamu pingsan? Eh, ini apa?” Anggi menunjuk nakas yang ada bekas makan Nilna yang tadi dibelikan Lukman.
“Bom,” jawab Nilna asal. Ia lalu berbaring sambil menatap langit-langit kamar.
“Bom cinta. Cie ....”
“Diem, Nggi. Kepalaku pusing.”
Anggi hanya tertawa.
“Nggi.” Nilna kembali memanggil.
“Hm.” Anggi meletakkan tasnya ke dalam lemari kecil di bawah nakas.
“Beliin aku nanas muda yang banyak sekarang juga bisa? Aku pengen makan yang asem.”