“Jangan makan yang asem, kamu lagi sakit,” cegah Anggi.
“Sekali aja, Nggi. Kalau nggak ada, rujak aja. Tapi banyakin nanasnya. Pliiis.” Nilna mengiba dengan mata syarat permohonan.
"Pliis, Anggi."
"Enggak. Minta makanan yang masuk akal dikit, kek. Setidaknya yang bikin kamu lekas sehat misalnya sayur atau ayam. Lah ini?"
"Kalau nggak kamu beliin, aku nggak mau minum obat."
"Nilna, jangan keras kepala."
"Anggi, jangan menolak permintaanku. Pliis."
Anggi mengembuskan napas dalam. “Baiklah.” Dengan berat hati, Anggi memenuhi permintaan sang sahabat.
Tidak butuh waktu lama setelah keluar, apa yang diinginkan Nilna ada di hadapan.
Air liur Nilna bergejolak melihat nanas dan sambal. Tidak butuh waktu lama, makanan itu habis tidak bersisa.
“Nggi, lagi.”
Anggi hanya mengepalkan tangan ke wajah Nilna, pura-pura marah. Nilna hanya tertawa menanggapinya.
"Enak, Nggi. Besok mau lagi."
**
Hanya dua hari Nilna dirawat di rumah sakit. Hari ini, ia sudah diperkenankan pulang. Saat ini, ia masih menunggu perawat melepas jarum infus di tangannya.
“Aku mau nyari kos-kosan sendiri ajalah, Nggi. Nggak enak ngerepotin kamu terus,” ujar Nilna, sedangkan Anggi mengemasi barang-barang yang akan dibawa pulang.
“Udah ratusan kali kamu ngomong gitu. Sekali lagi, berhadiah c*bit dariku. Kamu yang bayarin kosku kemarin. Apa itu berarti aku yang harusnya nyari kosan lain? Apa ini usiran halus?”
“Bukan gitu maksudku.”
“Na, kamu sedang nggak sehat fisik dan psikis. Kalau kamu nekat kayak kemarin gimana? Kalau kamu tiba-tiba pingsan kayak kemarin gimana? Kalau ada penj*hat lagi gimana? Kamu butuh orang di sampingmu dan aku akan selalu ada untukmu.”
“Nggi.”
“Sst, diem! Nggak nerima penolakan.”
Saat mereka tengah ribut, tanpa disadari ada seorang pria yang dari tadi memperhatikan sambil melipat tangan di depan d**a. Tubuhnya menyender pada pintu. Bibirnya tertarik membentuk sabit.
“Dasar bawel kayak emak-emak,” ujar Nilna tidak mau kalah.
“Asem. Kalau aku emak-emak, kamu nenek-nenek yang suka ngeyel.”
Pecah tawa Lukman membuat dua wanita itu menoleh.
“Lucu juga denger kaum hawa bertengkar,” ujar Lukman.
“Makanya lekas nikah lagi, Mas. Pasti lagi kangen diomelin is–“ Anggi menutup mulut karena sadar telah keceplosan.
“Hehe, maaf.” Anggi menyengir.
“Is apa? Istri? Nggak apa-apa atuh, Nggi. Mau ngomongin mantan ratusan kali pun nggak masalah.” Lukman lalu duduk di ranjang kosong pada ruangan itu.
Setahun sudah cukup bagi Lukman menyambung hatinya yang telah dipatahkan sang mantan. Ia sudah siap membuka pintu, menyambut untuk orang baru. Namun sayang, kandidatnya saat ini sudah menjadi milik orang lain meski pernikahannya bermasalah. Dialah Nilna.
“Mas Lukman ngapain ke sini?” tanya Nilna lirih. Sejak Lukman mengetahui dirinya hamil, wanita itu sangat membatasi diri dengan pria tersebut. Saat pria itu datang, Nilna memilih mengusirnya.
“Tadi Anggi bilang kalau kamu udah bisa dibawa pulang. Lalu aku nawarin jemput,” jawab Lukman santai.
“Nggi.” Nilna memandang Anggi, meminta penjelasan.
“Mas Lukman katanya mau jenguk kamu lagi. Aku larang karena kamu udah bisa dibawa pulang. Ya, dia lalu nawarin, sayang, kan, kalau nolak rejeki. Gratisan itu enak.”
Lukman bangkit, hendak membawa barang Nilna keluar kamar. Namun, matanya justru tertuju pada nanas yang ada di dalam tas yang belum tertutup sempurna ritsletingnya. Sedikit banyak ia tahu kalau buah itu berbahaya untuk wanita hamil.
Dulu, ia pernah mendengar dari ibunya kalau tetangganya keguguran karena terlalu banyak mengonsumsi buah tersebut.
“Ini apa, Na?” tanya Lukman penuh penekanan. Ia mengeluarkan buah itu.
“I-itu.” Nilna bingung harus menjawab apa.
“Kemarin Nilna yang minta dibelikan. Awalnya aku takut karena dia sakit, takut nggak boleh makan yang asem, tapi dia terus maksa. Ya udah, terpaksa aku beliin. Lahap bener dia makan rujaknya. Habis, minta lagi.” Anggi menyahut santai. Ia memang belum tahu kabar kehamilan Nilna karena sahabatnya itu tidak cerita.
Saat bertanya dari mana saat dibawa periksa dari poli kandungan waktu itu, Nilna hanya berkata sedang konsultasi dengan dokter.
“Nggi, Nilna sedang hamil dan kamu kasih ginian? G*la kamu, ya! Orang hamil dilarang makan nanas!”
“A-apa? Ha-hamil? Nilna hamil?” Giliran Anggi yang menatap Nilna tajam.
Sementara Nilna hanya menunduk. “Kalian tidak tahu apa yang aku rasain, jadi aku harap jangan menasihati atau memarahiku. Aku ngelakuin ini ada alasannya.”
Anggi terduduk lemas di kursi samping ranjang Nilna. Ia meraup wajah dengan kedua tangan. Sungguh, ia merasa sangat bersalah telah memenuhi permintaan konyol Nilna. Wanita itu merasa berdosa karena memfasilitasi Nilna yang ingin menggugurkan kandungannya.
“Na! Jangan tambah gi*la kamu. Dosamu kurang banyak? Kemarin niat bundir, sekarang mau b*nuh anakmu? Kamu minta nanas buat b*nuh anakmu? Perbanyak dosamu sendiri, jangan malah ngajak aku ngelakuin dosa kayak gini. Dia anakmu dan dengan teganya kamu mau bun*h dia? Induk hewan aja nggak ada yang tega ngelakuin itu!”
“Ya, aku tega. Daripada nasib anak ini nanti nggak jelas. Daripada dia tambah menderita! Cukup aku yang menderita di dunia ini, anakku jangan.” Nilna berteriak.
“Nggak jelas apa maksudmu, Na? Kamu belum cerai, masih bisa kembali sama suamimu.” Lukman ikut buka suara.
“Itu nggak mungkin. Suamiku nggak mungkin mau rujuk sama aku. Aku nggak tahu ini anak siapa! Bisa jadi anak pria yang menodaiku waktu itu! Katakan apa aku bisa hidup bersama noda seumur hidupku kalau dia lahir nanti, hah!” Nilna berbicara penuh penekanan.
“Aku egois, aku akui itu. Tapi bayangkan kalau anak ini lahir, aku dan dia pasti akan lebih menderita. Kalian mau semua itu terjadi? Kalian hanya bisa memarahi tanpa berpikir apa yang aku rasakan! Kalian nggak tahu betapa aku tersiksa. Janin ini benih siapa, aku nggak tahu!” Nilna menutup wajah seraya tergugu dalam tangis.
Anggi dan Lukman mengembuskan napas panjang, lalu saling tatap. Keduanya masih bingung cara menjelaskan dan menenangkan Nilna yang tengah menangis.
**
Setelah dilepas jarum infusnya, Nilna didorong Anggi menuju lobi. Sementara Lukman sudah keluar lebih dulu sambil membawa barang sekalian mengambil mobil.
Pertengkaran ketiganya tadi berakhir saat perawat datang. Setelah itu, mereka sama-sama diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Saat hampir saja tiba di lobi, mata Nilna menangkap siluet pria yang sangat dikenalinya. Pria itu terlihat memapah seorang wanita. Wajah pria itu terlihat tegang. Sementara si wanita terlihat pucat.
Anggi berhenti. Bahunya naik turun menahan amarah saat pandangannya terfokus pada titik sama di mana Nilna melihat.
“Satria!” teriak Anggi. Ia bahkan sengaja memanggil tanpa sapaan Bang seperti biasanya.
“Di rumah sakit pun masih sempet pacaran! Hebat!” teriak Anggi lagi.