“Satria! Ke sini kau!” Suara Anggi kembali melengking.
Satria menoleh sekilas, lalu kembali fokus kepada wanita di dekapannya. Seorang perawat datang sambil membawa brankar dorong, lalu wanita yang bersama Satria ditidurkan di sana. Wanita itu Rosa.
"Sayang, kamu ke dalam dulu sama perawat. Aku mau menghadapi Nilna," bisik Satria.
"Tapi, Yang ...."
"Sebentar saja. Aku ingin memberi pelajaran ke dia dan ingin tahu apa yang terjadi sampai dia ada di sini." Satria memotong ucapan sang kekasih.
Dengan berat hati, Rosa mengangguk. "Tapi jangan sampai kamu kepincut lagi sama dia."
"Enggak akan, Sayang. Ada kesempatan untuk kita bersatu, nggak mungkin aku kembali pada dia."
"I love you."
"Love you too." Satria tersenyum lembut ke arah Rosa.
“Nggi, kenapa malah kamu panggil dia? Ayo pergi aja dari sini,” ajak Nilna dengan suara bergetar.
Meskipun tahu sang suami tidak pernah menginginkannya, melihat Satria bersama wanita lain sementara ia sakit, itu sangat menyesakkan. Terlebih, suaminya terlihat sangat khawatir dengan Rosa dan tidak peduli dengan dirinya.
“Nggak. Sebelum aku ngasih pelajaran ke pria itu.”
“Jangan nambah masalah. Biarin dia semaunya. Aku lelah.”
“Ini nggak adil, Na. Bagaimanapun juga, kamu masih istrinya, kalian masih terikat pernikahan, kamu sakit. Tapi dia nggak sekali pun peduli. Sementara itu wanita lain dan dengan manisnya diperlakukan demikian. C*h!”
“Lebih tepatnya mantan. Ingat itu. Anggi, ayolah kita pergi dari sini. Atau aku akan jalan sendiri.” Nilna berusaha bangkit. Namun, belum sempurna berdiri, kepalanya kembali terasa berdenyut nyeri. Ia kembali terduduk di kursi roda.
Satria mendekat kepada Nilna dan Anggi setelah Rosa dibawa masuk ke IGD oleh perawat. Ia meminta perawat membawa kekasihnya itu ditangani sementara dirinya ingin mengolok-olok mantan istrinya.
Dengan senyum menyebalkan, Satria berdiri di hadapan Nilna.
“Akhirnya kena karma juga kamu. Sakit-sakitan? Atau jangan-jangan tertular penyakit kelamin dari pria yang menyentuhmu itu?” Satria menyejajarkan tubuh dengan kepala Nilna.
Anggi memundurkan kursi roda Nilna. Ia lalu maju tepat di depan Satria dengan berkacak pinggang.
“Jaga ucapanmu, Bang*at! Istri yang sakit, tapi wanita lain yang diperhatikan. Luar bisa laki satu ini. Kamulah yang berpenyakit sebenarnya.”
“Oh, masih ngarep dan ngerasa aku ini suaminya? Jangan harap.” Satria menunjuk wajah Anggi.
“Enggak. Nilna nggak berharap sama kamu. Tapi aku yang keberatan. Setidaknya selesaikan dulu masalah kalian di pengadilan. Bukan malah seenaknya berduaan dengan wanita lain. Aku curiga, semua yang menimpa Nilna itu konspirasi darimu agar kamu punya alasan menceraikannya.”
Nilna menarik-narik baju sang sahabat sebagai kode memperingatkan agar tidak memperpanjang masalah.
Namun, Anggi tetap kukuh perang ucapan dengan Satria.
"Kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kami sudah selesai. Jangan ikut campur kamu!" gertak Satria.
"Tapi masih ada masa iddah yang mengikat Nilna."
"Ya, itu mengikat dia, tapi tidak ada hukum yang mengikatku."
"Dasar pria hobi celap-celup sama wanita lain, tapi istri sendiri malah dianggurin."
“Tutup mulutmu!” Satria melotot.
“Aku nggak akan tutup mulut sebelum puas mengolok-ngolokmu! Dasar suami parasit, suami toksik!”
“Kalau bukan seorang wanita, sudah kusobek mulutmu!”
“Memang kalau aku wanita kamu nggak berani? Ayo coba, aku nggak takut!” Anggi menantang.
“Anggi stop! Biarkan dia semaunya. Mau pacaran atau apa pun terserah dia.” Nilna menimpali.
“Aku lebih mending pacaran, daripada kamu. Z*na! Wanita menjijikkan! Aku bersyukur kedokmu terbongkar dan sekarang aku bebas!” tekan Satria sambil melotot ke arah Nilna.
“Aku tunggu dari tadi, tapi kalian ternyata masih di sini. Ayo, Na. Mobil sudah siap.” Suara Lukman menginterupsi ketegangan itu. Ia mendorong kursi roda Nilna yang ada di belakang tubuh Anggi.
“Nggi, udah ayo! Yang waras ngalah.” Dengan santai, Lukman mendorong kursi roda Nilna menuju tempat di mana mobil berada.
"Ingat, Satria. Kamu akan membayar mahal semua ini." Anggi lalu mengikuti Nilna yang didorong Lukman.
“Emang seberapa mahal? Ck! Aku nggak takut! Semahal apa pun, aku beli."
Satria tersenyum menyebalkan sambil menggeleng. Ada kepuasan tersendiri saat melihat Nilna menderita.
"Kita lihat saja nanti. Saat kamu hancur, kamu akan ngemis sama Nilna. Ingat itu!" Usai berkata demikian, Anggi yang awalnya berhenti, berlalu.
"Semua itu nggak mungkin!"
“Kamu, sih, Nggi. Nyari masalah. Harusnya tadi diem aja,” protes Nilna setelah ada di mobil dalam perjalanan pulang.
“Aku, tuh, be*ci banget sama dia. Kalau bun*h orang nggak dosa, mungkin udah aku lakuin. Saat istri ada masalah, harusnya ada suami yang siap support. Lah, dia? Malah menalak seenaknya.”
“Sabar, Anggi. Ambil sisi positifnya. Setidaknya setelah diceraikan, Nilna bisa mencari kebahagiaannya sendiri tanpa ada beban pernikahan toksik. Maksudnya, semoga ini memang jalan terbaik untuk Nilna.” Lukman menambahkan.
Anggi lalu mengangguk samar.
**
Berbadan dua nyatanya membuat hidup Nilna kian menderita. Setiap hari, ia terus berpikir, bagaimana cara agar hatinya menerima sepenuh hati. Namun, nyatanya semua itu terlalu sulit. Mengandung anak yang tidak diketahui siapa penanam benihnya terlalu menyakitkan untuk wanita itu.
Nilna yang dulu cerah, berubah diselimuti kabut hitam. Ia menjadi wanita linglung, suka menangis sendiri, dan hilang semangat hidup. Tanpa sepengetahuan Anggi, ia kadang sengaja membeli makanan yang berbahaya untuk kandungannya.
Lama-lama, sedikit demi sedikit Nilna memberanikan diri membuka sosial media miliknya. Perkara video yang pernah viral dulu, ternyata sudah tidak ada kelanjutannya.
Semua akses yang berkaitan dengan Satria pun, sudah diblokir. Ia sudah tidak mau lagi berurusan dengan sang mantan. Hanya saja, ia sempat meninggalkan fotokopi berkas miliknya agar Satria leluasa mengurus perceraian tanpa saling bertemu lagi.
Sekarang, Nilna juga mulai berani keluar kos-kosan dengan mengenakan masker. Tujuannya tentu saja COD di suatu tempat karena membeli obat untuk meluruhkan sang jabang bayi. Namun, berbagai obat yang selama ini diminum tidak bereaksi apa-apa. Janinnya terlalu kuat di dalam sana.
Siang itu, Nilna keluar saat Anggi sedang bekerja. Ia ingin mencari pekerjaan karena tabungannya kian menipis. Bagaimanapun, ia tidak bisa hidup seperti itu terus. Ada cicilan sepeda motor yang tinggal beberapa bulan lunas, juga biaya hidupnya.
Saat akan keluar kos-kosan, ada kurir yang mengantar dua paket. Satu untuknya, satu untuk Anggi. Berhubung Nilna sendiri yang ditanya, langsung diterimanya paket tersebut.
Seperti dejavu, Nilna ketakutan sebab teringat kejadian boneka berbau busuk waktu itu. Ia hanya meletakkan tanpa berani membuka dan kembali keluar. Ia takut, paket itu berisi barang aneh seperti waktu itu.
Malam harinya, Anggi yang diminta membuka paket Nilna. Begitu dibuka, keduanya saling pandang.
“Surat perceraian. Kamu disuruh tanda tangan.”