Di dalam kamar mandi, Zia bingung harus apa. Jika menunggu dua orang itu selesai bicara, takut nanti Fariz rewel karena kelaparan. Namun, jika tetap keluar mereka berdua pasti merasa tidak enak karena ketahuan membicarakannya. Setelah berpikir beberapa saat, Zia tetap keluar dan menampakkan diri di hadapan Latifa dan Afandi. Zia berpikir, untuk apa memikirkan perasaan orang yang telah bergibah tentang dirinya? Ia tidak salah, jadi untuk apa harus takut dan tidak enak? “Mari, Mas, Mbak,” sapa Zia sambil berlalu. Ia tidak sempat melihat wajah dua orang itu. Padahal kalau mau melihat, keduanya seperti maling yang tertangkap basah telah mencuri. Bergibah, tetapi ketahuan yang digibahkan. Zia langsung menuju kamar dan benar saja, Fariz menangis kencang dalam gendongan Yuli. “Maaf, Mbak Yul.