Betapa lega Safana, presentasi hari ini berakhir lancar. Dia selaku moderator, Olin pemateri dan Melly mencatat semua pertanyaan yang diajukan. Lalu saat menjawab, mereka masing-masing mengambil porsi, hingga semua dibagi rata. Presentasi ditutup dengan mereka mendapat applause dari dosen dan seisi kelas. Makalah yang mereka kerjakan tidak luput dari pujian, karena rapi dan terstruktur, serta penjelasannya cukup detail.
Sampai tiba di tempat duduk, senyum Safana tidak luntur. Ini benar-benar vitamin, dia hanya tidak menyangka, kemampuan serta pelajaran sewaktu SMK tidak benar-benar dilupa meskipun enam tahun sempat terhenti dari dunia pendidikan. Safana bangga pada dirinya sendiri, bisa mengimbangi mereka-mereka yang lulusan terbaru.
“Terima kasih untuk kerja keras hari ini,” ucap Melly saat mereka duduk sejejer bertiga. Dia yang di tengah-tengah, tidak menahan diri untuk menggenggam tangan Safana dan Olin. “Berkat dikerjakan bareng-bareng, hasilnya bagus. Terutama Mbak Safa, perannya banyak banget dimulai dari edit, rapiin sampai kasih wallpaper dan transitions buat powerpoint.”
“Terima kasih kembaliiiii,” sahut Olin, kemudian tatapannya beralih pada Safana, tersenyum memamerkan gigi-giginya yang rapi. “Emang nggak salah ajak Mbak Safa gabung kelompok kita. Mestinya kita bertiga terus, nih. Grupnya nggak usah dihapus, ya. Buat ngobrol-ngobrol santai, bisa juga ghibahh nanti.”
Sungguh, Safana langsung berbunga-bunga. Begini ya vibes kampus itu? Belajar, berteman, jalan dan cerita bareng, lalu ngobrolin hal-hal seru di grup chat. Safana jadi merasa beruntung, intinya nanti saat dia pulang, dia ingin memeluk Kamania erat lalu minta sampaikan lagi ucapan terima kasih banyak-banyak pada Tuan Raja.
“Kalian juga ya, makasih banyak udah ajak aku. Senang rasanya bisa nugas bareng, terus ngobrol-ngobrol. Soal edit-edit dan yang berhubungan sama powerpoint, itu memang hobi aku dari dulu. Pokoknya suka aja. Bagian itu sih paling aku kuasai, kalau soal ngetik masih lambat, karena jarang megang laptop atau komputer.”
“Oh iya, aku penasaran sama beberapa hal. Tapiiii, Mbak Safa jangan tersinggung misal aku nanya ini.” Olin menjilat bibir bawahnya, kemudian menopangkan dagu di kedua tangan. “Orang tua Mbak Safa ke mana? Kenapa Mbak Safa telat kuliah, terus alih-alih dibiayain orang tua, Mbak malah kerja sendiri?”
“Oh, enggak pa-pa. Aku sama sekali nggak terganggu kalau kalian nanya itu. Soalnya masih umum dan sama sekali enggak menyinggung,” ungkap Safana berbinar. “Aku punya tiga adik laki-laki, sama ibu yang sekarang jualan kue kering terus dititipin dari warung ke warung. Bapak udah lama meninggal. Soal kenapa telat kuliah, ya karena dulu belum ada rezeki. Aku fokus kerja buat biayain hidup kami. Untung sekarang udah dikasih jalannya, perantara lewat majikanku yang baik hati dan nggak sombong.”
“Maaf, Mbak.” Olin benar-benar menyesal, dia kaget dan pias mendengar penjelasan enteng Safana, sebaliknya Safana justru biasa-biasa saja. “Harusnya tadi nolak jawab aja, soalnya ini pertanyaan privasi. Aku jadi nggak enak sama Mbak Safa. Gini nih kalau merasa dekat sama seseorang, jadi mau ngorek info lebih jauh.”
“Tau nih Olin, harusnya bisa menyaring atau memfilter. Mbak Safa bisa jadi terlihat nggak pa-pa, tapi hatinya siapa yang tahu?” Telunjuk Melly mendorong pelan bahu Olin, pertanda tidak suka. Tapi, Safana bergegas melerai mereka, “Aku nggak apa, kok. Serius. Justru aku bangga membagikan, karena ini luar biasa.”
“Iya, luar biasa. Mbak hebat,” puji Melly dengan kedua jempol teracung, didukung Olin yang tersenyum kembali berkat aura positif yang ditularkan Safana, “Makasih udah kasih maklum sama mulutku yang remnya suka hilang ini. Mbak, pokoknya kita harus temenan. Aku pengen banget dekat sama Mbak Safa.”
“Iya, harus!”
“Setuju!” sorak Safana, berakhir membuat mereka tertawa cekikikan. Jam kuliah pertama, berakhir dengan obrolan bisik-bisik mereka. Selanjutnya saat istirahat datang, Melly mengajak Safana dan Olin ke cafe depan kampus. Tentu saja Safana setuju, tapi dia membuat penawaran dengan mengajak satu orang lagi, yang tentu diangguki Melly dan Olin.
“Aku jemput dia bentar, kalian duluan aja ke sana,” kata Safana saat mereka berpisah di depan kelas. Dia sempat melambai pada Olin dan Melly, lalu berbalik setelah cukup berjauhan. Langkah Safana terkesan cepat, karena dia harus ke fakultas seni dan musik. Berjalan sendiri dirasa menyenangkan, karena itu Safana dutanya percaya diri. Tapi, mendadak dia sebal saat ada yang mengimbangi di sisi kiri. Tidak lain, tidak bukan, Riko Rafandra. Memang dia tuh kayak setann, suka ngikut tiba-tiba kalau lihat Safana. Tidak jera sekalipun sudah disindir dan diusir-usir.
“Mau ke mana, Mbak?”
Dih, kayak yang dekat aja, dumel Safana dalam hati. Dia tidak menjawab, fokus saja ke depan dengan kepala mendongak songong. Dia sudah memaafkan Riko, tapi rasa kesal tidak bisa hilang. Jadi solusi satu-satunya, mereka tidak boleh dekat lagi. Baik Safana maupun Riko, harusnya jadi dua orang asing yang acuh tak acuh saja.
“Makan bareng gue, deh. Nanti traktir. Di cafe depan kayak dulu.”
“Aduh jadi takut, belakangan aku dengar tas bisa bicara sendiri,” gumamnya pelan, tapi masih bisa didengar Riko. “Gedung seni dan musik kenapa jauh, ya? Aku capek jalan, makin capek lagi kalau diganggu. Lihat aja energi udah terkuras, apalagi disamperin kayak gini. Memang bebal itu setann.”
“Mau gue gendong, nggak? Gratis ini sebagai permintaan maaf.”
“Udah mau kiamat kayaknya, debu juga bisa ngomong kayak manusia.” Safana otomatis bergidik memegangi tangan, kemudian semakin mempercepat langkahnya supaya Riko tertinggal. Sayang berondong kaleng rombeng masih setia mengikuti, membuat Safana jengkel setengah mati. “Tahan diri, jangan sampai tangan ini gerak sendiri mau jambak rambutnya.”
“Bicara itu natap gue, Mbak. Orang-orang bakal lihat lo aneh kalau lo ngomong lihat depan.”
“Bodo amat!” Begitu tiba di belokan, Safana langsung mengambil langkah seribu. Untungnya kelas Kamania sudah terlihat, jadi tidak butuh waktu lama dia langsung masuk bahkan memilih untuk menutup pintunya keras. Membuat yang ingin keluar menatap heran sekaligus jengkel, sementara Safana yang terengah-engah hanya bisa nyengir seraya mengangkat kedua tangan, saking belum sanggupnya bicara.
“Kenapa, Fa?” tanya Kamania saat mendekat. Dia juga sudah siap keluar, tapi keburu heran melihat Safana yang kecapekan. “Itu jauhan dulu dari pintu, supaya yang lain bisa keluar. Kita duduk sebentar sampai Safa udah mendingan. Yuk ke kursi depan.”
Safana mengangguk kuat. Dia kemudian berucap maaf pada yang lain, seraya memasrahkan diri saat Kamania menarik ke deretan kursi. Setelah mereka menempati dua di antaranya, Safana mendapat tatapan intens dari Kamania. Di manik mata jernih itu, sarat akan rasa ingin tahu.
“Aku tadi dikejar cowok.”
“Hah, kok bisa? Orang jahat?”
“Bukan. Kita satu kelas, tapi dia rese gitu. Udah aku cuekin tapi masih aja ngejar-ngejar. Jadi karena gedek, aku bilang ke dia ‘bodo amat’ terus lari sekencang-kencangnya ke sini. Syukur deh dia nggak ngikut lagi.”
“Orang ini ... punya niat buruk ke Safa?”
“Enggak, kayaknya murni mau ngajak temenan.”
“Lho, kenapa ditolak?”
“Soalnya aku nggak suka.”
Kamania mengerjap bingung, buat Safana terkekeh geli. Tapi sedetik kemudian, dia menepuk kepala sambil berseru, “Astaga! Aku ke sini mau ajakin kamu ke cafe depan. Yuk, cepat! Yang lain udah menunggu!”
***
Setelah rapat bersama dewan direksi berakhir, Shaka yang diajak sang papa mengambil bagian paling lambat keluar ruangan. Alasan klise, menghindari Rajata. Tapi, semua itu tidak berlaku di mata Adrian Adyatama serta Daniswara Adyatama. Ayah dan anak dengan ambisi bertolak belakang. Jika Adrian ingin berbincang dengan santai dengan Shaka, maka Daniswara punya niat berbeda. Ingin mendekatkan anaknya dengan sang ayah, supaya ada peluang untuk jabatan tinggi selain staff finance biasa.
“Kau tidak mengunjungi rumah malam Kamis lalu. Padahal mamamu menelpon untuk makan malam bersama,” ujar Daniswara di sisi kiri Shaka, sementara kakeknya ada di sisi kanan. Benar-benar diapit. “Sebentar lagi usiamu 26 tahun, sebaiknya berpikir mencari pasangan supaya lebih mudah menempati jabatan. Bukan begitu, Pa?”
“Aku bisa menempatkan Shaka di atas melalui dukungan beberapa orangku, hanya saja cucu termudaku ini masih belum cukup berambisi. Dibanding dia sendiri yang butuh, orang tuanya jauh lebih haus.” Ardian terkekeh saat disuguhi raut masam Daniswara. “Pergilah lebih dulu, aku mau mengobrol dengan Shaka. Soal pasangan, jangan tamak. Cukup mengekang cita-citanya, tidak dengan pasangan hidupnya.”
“Ayolah, Pa, Shaka butuh dukungan.”
“Kau butuh makan siang, Danis.”
Sekali lagi, Shaka dan Ardian melihat wajah masam Daniswara, tapi mereka cukup maklum. Hingga akhirnya Daniswara mundur teratur, meninggalkan Shaka dan kakeknya di lantai dua belas.
“Mau duduk sebentar?”
Shaka mengangguk tanpa suara, kemudian mengikuti kakeknya menuju sofa yang tersedia. Tadi sang asisten sudah Ardian suruh pergi lebih dulu, karena dari pertama datang ke perusahan, dia ingin bicara dengan Shaka. Mengenai beberapa hal, yang belakangan sangat mengusik pikiran Ardian. Bukan hal penting, tapi cukup memancing rasa ingin tahu..
“Opa tidak akan berbasa-basi, tapi ... Shaka, kau sedang dekat dengan perempuan?”
Kening Shaka otomatis mengernyit. “Tidak.”
“Beberapa minggu sebelumnya, oma mengutus orang untuk mengikutimu. Bukan seperti yang kau pikirkan, dia hanya khawatir kau melakukan sesuatu yang nekat setelah Kama menikah dengan Rajata.”
Tawa Shaka pecah detik itu juga. “Kalian benar-benar keterlaluan. Aku tidak sejahat itu, Opa. Ya Tuhan, hanya karena aku suka pada istri Rajata, lantas kalian menuduhku berlebihan?!”
“Tidak, tapi lebih ke menyakiti dirimu sendiri. Kami sangat tahu, Nak, sejengkel apa pun kau dengan abangmu, kau tidak akan pernah melebihi batas. Kami percaya, kau masih Shaka yang sama.”
“Aku tidak sepicik itu. Dan apa-apaan, hentikan mengutus orang untuk menguntitku. Opa melanggar privasiku!”
“Sudah, semua sudah diakhiri di detik di mana omamu menemukan sesuatu.” Ardian berdehem beberapa saat, sengaja membuat Shaka terlihat penasaran. Tapi, cucunya benar-benar tidak menunjukkan reaksi itu, hingga pada akhirnya Ardian menyerah. “Kau terlibat sesuatu dengan pelayan Rajata? Kami dapat foto, kau membawa perempuan itu ke rumah.”
“Sama sekali tidak seperti yang kalian pikirkan,” ujar Shaka lantang, mengulang hal yang tadi kakeknya katakan. “Aku hanya membantunya. Demi kemanusiaan dan kebetulan aku kenal. Dia terjebak dengan anak nakal hingga hilang kesadaran, lalu kubawa ke apartemen demi keamanan. Tidak ada yang terjadi jika itu yang Opa ingin tahu.”
“Nak, di keluarga kita tidak berlaku sistem kasta. Siapa pun yang kau inginkan, asal perempuan itu baik, maka kami merestui.”
Shaka tertawa sarkas, kemudian bangkit. “Dia bukan siapa-siapa dan tidak akan jadi siapa-siapa, Opa. Permisi.”
***
Shaka menyetir tanpa tujuan, hingga berhenti di sebuah minimarket karena kehausan. Hari mulai gelap, tapi dia tidak punya keinginan untuk pulang. Setiap hari rasanya memusingkan, karena berlalu tanpa ada hal yang menyenangkan. Terlebih besok akhir pekan, membuat Shaka berkali-kali benci, karena dia tidak punya kesibukan.
Di sela Shaka mengambil minuman, terdengar suara seseorang di belakang, “Tepung, keju, sama santan, kan? Iya, sudah Kakak beli. Bilangin Ke Rian, Randu dan Randi, titipannya juga udah Kakak beli. Hm. Iya, pasti hati-hati. Assalamualaikum.”
Mendadak tengkuk Shaka merinding. Dia berdehem ringan, lalu bergegas mengambil dua kaleng minuman bersoda. Berjalan memutar menuju kasir, karena feeling Shaka tidak bagus. Entah kenapa, dia merasa akan terjadi sesuatu, tapi menolak menduga-duga takutnya salah duga. Lagian, Shaka bukan peramal.
“Berapa semuanya?” tanya Shaka tidak sabaran setelah kasir memindai harga.
“Tujuh belas–”
“Mbak, pembalut buat mal–lho, Tuan Muda?!”
Nah, kan? Feeling Shaka tidak pernah salah, buktinya tidak ada angin, tidak ada hujan, dia bertemu macan betina. Sungguh dunia tidak selebar daun keladi. Kenapa mereka yang harus terjebak di situasi ini? Kenapa tidak orang lain saja?
Dengan malas-malasan Shaka mendongak, memindai dari atas sampai bawah, kemudian mendengkus. “Kenapa kamu di sini? Setahu saya, Rajata tidak pernah memindah lokasi mansionnya.”
“Ini akhir pekan, saya pulang ke rumah ibu kalau liburan.” Kemudian Safana mengangkat keranjang belanjaan, meminta dihitung langsung. “Harusnya saya yang nanya, kenapa Tuan Muda ada di sini?”
“Bukan urusanmu!” Setelah menyahut ketus, Shaka langsung membayar dan lebih dulu keluar. Tapi, Shaka tidak segera ke mobil, melainkan duduk di kursi terdekat hanya untuk menikmati sekaleng soda.
Pintu minimarket terbuka, memperlihatkan Safana dengan dua kantong belanjaan di tangannya. Mereka saling tatap, tapi dasar si perempuan songong itu, dia tidak ada sopan santunnya. Berlalu begitu saja dari hadapan Shaka, buat Shaka jengkel dan berujung menegur, “Mau melewatiku begitu saja, heh?”
“Kalau mampirpun memangnya kita dekat?” Bibir Safana mencebik. Saat dia meletakkan belanjaan, telunjuknya teracung-acung ke arah Shaka. “Saya masih ingat tuduhan menyakitkan Tuan Muda. Saya tersinggung sekali.”
“Oh, ya? Kalau begitu saya juga sama, sampai sekarang pedasnya masih berasa di wajah saya.”
Safana mengerjap, kemudian menelan ludah gugup. Secepat kilat dia bergerak, mencari sesuatu di dalam kantong belanjaan, kemudian berlari menuju Shaka. Tanpa ba-bi-bu, Safana menempelkan yougurt dinginnya di pipi Shaka. “Duh, saya kalau refleks emang nyakitin orang. Tapi, saya nggak mau minta maaf karena nggak salah. Tapi lagi, saya resah kalau Tuan Muda menuntut saya.”
Shaka jadi kebingungan sendiri.
“Atas tindakan lancang saya, tolong dimaafkan, Tuan Muda.” Safana mengangguk sekali dengan wajah nelangsa, kemudian meraih tangan Shaka untuk memegang botol yougurt. “Ini, ambil saja minuman kesukaan saya. Pokoknya semua yang terjadi langsung dihapuskan. Tuan Muda nggak boleh punya niat mematah tubuh saya jadi empat bagian.”
Oh, takutnya karena ancaman itu. “Bagaimana kala–”
“Stop, stop. Cukup. Saya pergi dulu, Tuan Muda. Lupakan semuanya. Terima kasih banyak, assalamualaikum.” Bahkan Safana tidak memberi jeda, dia merampas kantong belanjaannya sendiri, menggantung di motor, memasang helm, kemudian pergi setelah menstarter.
Shaka menatap tanpa berkedip, kemudian dia terkekeh sendiri sambil geleng-geleng kepala. Well, rupanya hari ini tidak buruk-buruk amat. Nyatanya bertemu macan betina adalah hiburan tersendiri.
***