Pemandangan pagi yang menyenangkan. Di mana ada ibu yang sibuk menyiapkan sarapan, sementara Rian di bagian menata piring. Menengok ke belakang, Safana mendapati Randu menyapu di ruang tamu, sementara Randi kena bagian mengelap jendela. Intinya kalau Safana pulang, dia tidak dibiarkan bekerja. Full istirahat, karena ibu bilang dia sudah lelah membanting tulang lima hari dalam satu minggu.
Meskipun begitu, kadang Safana ikut membantu. Semacam mengajari adik-adiknya untuk lebih jeli lagi, karena debu itu bandel, kadang disapu atau dilap saja belum hilang. Mesti diulang-ulang, baru benar-benar bersih. Tapi, untuk ukuran rumah minimalis mereka, tidak terlalu repot bersih-bersihnya, karena tidak luas. Lain hal dengan mansion Rajata. Terlalu banyak ruangan dan bertingkat, hingga setiap hari ada-ada saja bagian yang dibersihkan.
Mari Safana kenalkan adiknya satu per satu. Rian anak kedua, kelas dua SMK. Randu kelas tiga SMP, sementara Randi si bungsu kelas lima SD. Tidak seperti anak laki-laki kebanyakan, adik-adik Safana sangat penurut. Ada masanya mereka bermain, tapi tidak pernah absen membantu ibu di rumah. Tidak banyak menuntut, menerima apa adanya tanpa protes.
Didikan orang tua Safana memang hebat. Mereka ditempa sesuai kondisi, hingga hampir tidak pernah jadi beban keluarga. Kecuali fakta tentang Safana yang mencari nafkah tidak bisa dihindari. Dulu saat Safana mengutarakan keinginan untuk bekerja, ibu langsung menangis semalaman. Tidak sampai hati melihat anak perempuannya banting tulang, di usia yang masih terhitung belia–18 tahun. Tapi, himpitan ekonomi kian mencekik, sementara kondisi ibu tidak memungkinkan lagi untuk bekerja berat. Alhasil, dengan berat hati beliau mengizinkan.
Berkat kegigihan, siapa yang menyangka Safana bisa bekerja di kediaman Rajata? Semacam sudah jalan rezekinya, lambat laun kondisi perekonomian keluarga mulai membaik. Dengan gajinya, Safana bisa membiayai adik-adiknya sekolah, juga memberi modal pada ibu untuk berjualan kue kering. Sisanya dipakai buat biaya hidup sehari-hari, ditabung Safana, juga ditabung ibu kalau-kalau ada kebutuhan mendesak.
Safana jarang mengeluh, tidak pernah juga menyalah-nyalahkan keadaan. Kadang kalau dia jenuh, hanya menggerutu sesaat, kemudian balik ke mood awal lagi. Untuk ukuran perempuan dewasa, dia terlalu ceria dan ceplas-ceplos. Kadang ada yang salah paham, mengira Safana itu masih anak SMA. Didukung postur tubuh tidak terlalu tinggi, juga wajah yang cenderung kekanakan, orang-orang mungkin tidak menyangka kalau dia sudah 24 tahun.
Senangnya menjadi awet muda, tapi tidak juga mengingat fakta dia belum pernah berpacaran sama sekali. Serius. Saat SMA, Safana beberapa kali menyukai laki-laki. Ada yang berbalas, namun tidak jadian karena dia terlalu sibuk membantu ibu, jadi tidak punya banyak waktu luang untuk pecaran. Ada yang tidak berbalas, ya karena memang tidak bisa digapai.
Intinya, Safana murni jomlowati dari lahir, tapi hebat soal teori ini dan itu. Berbekal artikel yang dia baca, juga cerita-cerita romansa di aplikasi ponselnya, Safana pernah mengajari Kamania bak seorang pakar. Ya, dia memang se-sok tahu itu, padahal kalau ditimbang berdasarkan pengalaman, Safana dapat nol persen.
Makanya dia tidak bisa menilai laki-laki semacam Riko. Main senang saja saat didekati, tapi untung ketahuan belangnya tidak lama kemudian. Soalnya ribet juga kalau sudah melibatkan perasaan. Kemungkinan pertemanannya dengan Kamania terancam bubar, karena rasa suka bisa saja membutakan semuanya.
“Ayo, makan dulu! Kakak juga. Jangan bengong, entar kesambet,” tegur Ibu, membuat Safana mengerjap sadar. Dia langsung menoleh, kemudian nyengir lebar. “Panggil adek di luar. Cuci tangan, baru lanjut bersih-bersih setelah perutnya diisi. Tapi kalau sudah selesai, alhamdulillah. Ini Ibu buat makanan kesukaan Kakak.”
Seketika Safana ngiler. Dia mengacungkan jempol, lalu bargegas ke depan. Memanggil Randi yang sedang menyiram tanaman. Sebutan mereka memang beragam. Kakak untuk Safana, mas untuk Rian, abang untuk Randu, dan adek untuk Randi. Entah apa motivasi ibu dan bapaknya dulu, Safana juga tidak tahu.
“Dek, yuk makan dulu!”
Randi mengangguk patuh, kemudian melepas kesibukannya setelah mematikan keran. Dia masuk berbarengan dengan Safana. Membiarkan tubuh gempalnya dirangkul sang kakak, tidak protes saat rambutnya diacak-acak. Di keluarga, Randi paling minim bicara karena turunan almarhum bapak. Faktor lain, dia pemalu.
Mereka berkumpul di meja makan setelah Safana dan Randi mencuci tangan. Ibu tersenyum lembut sambil menyendok nasi goreng ke piring masing-masing. Senang rasanya lengkap seperti ini. “Makan yang banyak, Kak. Ibu sengaja bikin lebih, karena tahu kamu suka banget. Di tempat kerja pasti jarang ada.”
“Karena pemilik rumah nggak suka ikan asin, padahal ikan asin adalah makanan surga.” Safana tersenyum lebar, menyuap satu sendok ke dalam mulut, lalu mengacungkan jempol. “Memang nggak ada duanya. Bagian memasak di mansion Tuan Raja aja kalah, Bu. Kemampuan mereka nggak diragukan, tapi Ibu jauh di atas mereka.”
“Bisa aja mujinya. Ayo makan, jangan bicara nanti tersedak.” Kemudian beliau menatap pada yang lain, sempat mengusap pipi Randi karena makannya rusuh. “Nanti Mas Rian temani kakak ke pasar, beli ikan buat dibakarg. Abang sama adek di rumah sama Ibu, bantu bikin acar sama puding caramel kesukaan kakak.”
“Iya, Bu,” jawab mereka serempak.
***
Shaka mendapat ajakan bermain tenis lapangan. Karena libur tidak ada kegiatan, Shaka tentu menyanggupi. Hanya saja yang di luar perkiraan, teman-temannya membawa pasangan masing-masing, membuat Shaka mengumpat pelan. Bukan cemburu atau iri, tapi lebih ke jengah karena disuguhi adegan menggelikan.
“Jadi main, Ka?” tanya Sadhana dengan sebelah alis terangkat, antara menantang sekaligus mengejek Shaka. “Andai gue tahu lo sendiri, gue minta cewek gue bawa temannya. Supaya lo nggak ngenes-ngenes banget. Begini kesannya lo kayak obat nyamuk. Nggak enak dilihat, apalagi muka lo yang kebanyakan ditekuk.”
“Nggak usah banyak bacot, ke lapangan langsung. Tujuan kita main, bukan pamer pasangan apalagi pacaran.” Shaka mendengkus, kemudian mengeluarkan raketnya dari dalam tas. Penuh ambisi dia berjalan meninggalkan Sadhana, membuat laki-laki itu terkekeh mengejek. “Nggak ada taruhan. Gue malas kalau lo libatin yang begituan.”
“Sepakat. Gue juga khawatir kalau-kalau lo kasih bahan yang nggak masuk akal.”
Keduanya sudah berseberangan dalam posisi masing-masing. Sebelum memulai, baik Shaka maupun Sadhana melakukan pemanasan. Mereka juga saling berbalas tatapan. Ada bara persaingan yang kental. Menyangkut kegemaran, Shaka dan Sadhana memang agak ketat. Karena begini cara mereka menikmati permainan tersebut.
Sadhana mengendikkan dagu sekali, Shaka menyambutnya dengan anggukan. Pertanda permainan akan dimulai. Jordan dan Hadi langsung bersiul, sementara pasangan-pasangan mereka bersorak menyemangati. Shaka tersenyum tipis, dia mengeratkan pegangan pada raket juga dalam posisi siap. Saat Sadhana melakukan pukulan awal untuk memulai permainan, Shaka bergerak cepat mengembalikan pukulan servis dari Sadhana.
Permainan berakhir tepat di tiga puluh menit lebih, dengan Shaka keluar sebagai pemenang di dua set berturut-turut. Permainan mereka tidak terikat, tapi dia cukup puas, hingga menyeringai lebar saat Sadhana mendekat untuk saling beradu tinju. Peluh membanjiri keduanya, membuat kulit terlihat mengkilat.
“Gue punya feeling nggak bagus di awal, dan sekarang terbukti,” kata Sadhana disertai dengkusan. “Untungnya nggak ada taruhan, jadi gue bebas dari syarat ‘sialan’ yang lo kasih. Kalau enggak, mungkin gue udah ngumpat.”
“Andai gue nggak bilang di awal, sekarang lo mungkin kehilangan cewek. Karena gue kepikiran minta kalian berdua putus.” Melihat Sadhana memutar bola mata, Shaka sekarang terkekeh. Tapi itu tidak lama, karena pamer Sadhana makin menjadi saat pacarnya datang membawa minuman juga handuk kecil untuk mengelap keringat. “Basi banget. Gue cabut duluan.”
“Definisi kalah sebenarnya.”
Shaka mengibaskan tangan setelah berbalik. Tidak tertinggal, dia melambai pada Jordan dan Hadi. Keduanya hanya mengacungkan jempol, karena sibuk memulai permainan. Dia meninggalkan lapangan tenis, menuju parkiran mobil. Dia sempat mengeringkan tubuh dengan AC, kemudian pergi beberapa saat kemudian.
Masih pukul setengah sepuluh. Shaka lapar, karena tadi pagi dia hanya menikmati kopi dan roti bakar. Untuk itu sebelum pulang, dia mencari-cari gerobak bubur terdekat, mengisi lambungnya dengan makanan lunak tersebut. Lahir di keluarga kaya tidak serta-merta membuat selera makan Shaka tinggi. Dia justru menyukai masakan tradisional serta jajanan di pinggir jalan. Lambung Shaka sangat merakyat.
Di perjalanan, tidak sengaja matanya menangkap dua orang bersisian saling berangkulan, lebih tepatnya si perempuan yang merangkul. Mata Shaka terlalu awas, sampai-sampai dalam sekali lihat dia langsung mengenali Safana. Memang lucu, selalu ada kebetulan untuk mereka bertemu. Semuanya dilandasi dengan ketidak-sengajaan.
Awalnya Shaka tidak mau perduli, tapi melihat tawa lepas Safana, entah kenapa itu dirasa mengganggu. Refleks Shaka membunyikan klakson, membuat perempuan itu tersentak, kemudian melayangkan tatapan heran ke arah mobil Shaka. Dia tidak akan melihat Shaka, karena ini kaca gelap searah.
Keacuhan Safana selanjutnya membuat Shaka nekat menepi di samping mereka. Dia langsung menurunkan kaca mobil, sambil berkata ketus, “Kalau jalan matanya dipakai. Hampir saja kamu saya tabrak.”
“Lho, kok bisa Tuan Muda lagi?” Safana bertanya sambil menunjuk, nada yang dikeluarkan seolah protes, raut yang terlihat nampak kebingungan. “Ini kayaknya dunia isi Tuan Muda semua. Di mana-mana bisa ketemu.”
“Harusnya saya yang bilang begitu. Kenapa kamu di sini?”
“Ini wilayah pasar, ya saya mau ke pasar.”
“Ini wilayah lapangan tenis, ya saya baru selesai bermain tenis.”
“Nggak nanya, tuh!”
Shaka mendengkus jengkel. Tatapannya beralih pada laki-laki yang dirangkul Safana. Memindai tajam, terang-terangan tidak suka. “Siapa lagi kali ini? Kamu sepertinya suka yang lebih muda. Seperti tante dan anak keponakannya.”
“Ih, sembarangan!” Safana memukul mobil Shaka, berujung kesakitan sendiri. Dia langsung mengadu pada Rian, membuat adiknya bantu mengusap serta meniup-niup telapak tangannya yang memerah. Safana aslinya begini, manja kalau sama keluarga. Sementara Shaka yang melihat, makin berdecak tidak suka. “Tuan Muda kayaknya butuh piknik. Gih sana, aku lanjut dulu. Jangan kepo-kepo.”
“Buat apa kepo, tidak penting!”
Saat Safana berlalu, Shaka makin-makin bertambah jengkel. Dia diabaikan tanpa diberi penjelasan, membuat mood Shaka amblas. Sekali lagi dia menekan klakson, membuat Safana kaget dan berbalik melotot. Tapi Shaka keburu tidak perduli, dia pergi begitu saja, lupa dengan fakta mencari gerai penjual bubur untuk mengisi lambung.
***