Safana berjongkok di depan gedung fakultas, tidak bisa beranjak karena hujan turun begitu deras. Mana dia tidak membawa payung. Mana hari ini tidak diantar sopir, karena hanya Safana yang ada kelas, sementara Kamania tidak ada. Dia juga berangkat dengan jasa ojek online, karena motornya sedang diservis.
Benar-benar permasalahan yang kompleks. Lagipula siapa yang menyangka akan hujan? Tadi siang sangat cerah, tapi mendadak berubah saat jam kuliah pertama berakhir. Hingga pukul setengah lima sore ini, hujan masih betah mengguyur kota. Tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Mungkin niatnya selain membuat tanah basah dan tumbuhan segar, hujan juga ingin menguji kesabaran Safana.
Sekarang dia bergidik pelan. Sweater tipis tidak mampu menghalau dingin, ditambah angin berembus kencang, makin merambah sampai ke tulang-tulang. Hampir sebagian mahasiswa/mahasiswi sudah pulang. Sementara yang bernasib sama seperti dirinya, mendekam di kelas, kantin, ataupun perpustakaan. Hanya Safana yang aneh, memilih depan gedung fakultas sebagai tempat menunggu. Mana tidak ada kursi lagi.
Safana: [Mara, kalau aku udah pulang, tolong minta Lita bikinin cokelat hangat, ya? Maaf hari ini nggak full kerja. Kayaknya kalau tiba di mansion nanti, aku langsung bersih-bersih terus istirahat. Bagianku dilanjut besok aja. Aku juga bakal izin ke Megan. Semoga aja dia kasih toleransi cuma-cuma untuk hari ini.]
Setelah mengirim pesan, Safana langsung mengantongi ponsel. Menatap depan lagi beberapa saat, kemudian menguap tertahan dengan punggung tangan menutup mulut. Harusnya sekarang dia sudah di dalam selimut. Main ponsel, membaca cerita, ataupun menonton drama Korea. Saat maghrib baru mau beranjak, untuk shalat kemudian makan malam bersama. Ah, memikirkannya saja membuat Safana senang.
Di sela lamunannya yang ke mana-mana, Safana disadarkan oleh kedatangan seseorang. Terlihat dari sepasang kaki yang dibalut sepatu putih, berdiri menjulang tepat di hadapan Safana. Saat dia mendongak, seperti adegan slow motion ala drama Korea legend of the blue sea, Safana menemukan wajah familiar dengan payung birunya yang lumayan besar. Sayang bukan Lee Min-ho, karena yang dia temukan justru sosok Riko. Ch, ganteng memang, tapi Safana sudah keburu gedek sama kelakuannya.
“Gue antar, Mbak,” katanya tanpa tanpa ba-bi-bu. “Gue bawa mobil. Lo tinggal sebut alamat, gue bakal pulangin lo dalam keadaan selamat. Tanpa kurang satupun. Leher gue sebagai jaminan kalau misal lo nggak percaya. Gue juga nggak akan nyentuh seujung kukupun, kalau itu yang lo khawatirkan.”
“Anak ayam turunlah empat, mati satu tinggallah tiga ...” Itulah yang Safana nyanyikan, alih-alih menjawab tawaran Riko. “Tek kotek kotek kotek, anak ayam turunlah berkotek. Anak ayam turun turunlah dua, mati satu tinggallah satu. Duh, tiba-tiba keingat lagu Randi pas TK. Ternyata seru juga pas dinyanyiin.”
Riko berdecak kesal, tapi pantang mundur. Salah dia memang, membuat Safana yang sebelumnya respect jadi menjauh. Niat memulai pertemanannya sangat tidak dibenarkan, karena dari awal hanya ingin tahu tentang temannya Safana. Tapi, belakangan Riko merasa malah Safana terlihat lebih menarik. Membuat dia tidak bisa mengabaikan perempuan itu.
Apa karena sudah dijauhi, jadi Riko merasa tertantang untuk mendekati lagi? Hm, entahlah.
“Dingin ya, Mbak? Nih pake jaket gue, bibir lo gemetaran.” Riko langsung berpindah ke samping kiri Safana, meletakkan payung di lantai, kemudian melepaskan jaket yang dia kenakan. Melihat Safana tidak melakukan pergerakan sama sekali, dia mendengkus tidak kentara. “Sampai kapan mau acuhin gue? Mbak tahu, yang kayak gini justru bikin gue makin penasaran.”
“Duh, berisik banget! Kamu itu batu, ya. Harusnya kalau aku nggak mau jawab, ya udah langsung nyerah. Jangan ngebet kayak gini, aku jadinya makin kesal.” Safana bersungut-sungut, kemudian berdiri. Meskipun begitu, Safana tetap tidak menolak jaket Riko. Dia malah memasang dengan benar, karena ya itu, dingin. “Sana pulang aja, jaketnya aku pinjam. Besok dikembaliin. Satu hal lagi, walaupun kamu bawa mobil, aku tetap nggak tertarik.”
“Lho, nggak bisa gitu, Mbak. Jangan setengah-setengah. Kalau pinjem jaket, ya harus numpang juga sama gue. Atau gini, hari ini turunin dulu gengsi lo, terus besoknya baru pasang lagi. Gue nggak apa, Mbak. Mau gimana-gimana juga tingkah lo nggak bakalan mempan sama gue. Kecuali kalau lo benar-benar enek sampai mau muntah liat muka gue, baru gue berhenti ngajak bicara bahkan ngejar-ngejar.”
“Dih, udah kayak fans fanatik. Perasaan aku nggak ada hutang apa-apa sama kamu, Ko. Urusan kita udah selesai malam itu. Kukasih tau juga kalau Kamania nggak bisa didekatin cowok karena dia udah ada yang punya. Kecuali kalau kamu mau ganti kelamin jadi cewek, baru aku ajak kamu ketemu dia.”
“Nggak, nggak ada lagi Kamania. Gue murni mau temenan sama lo,” ungkap Riko serius, tapi sayangnya Safana yang pendendam malah melongos acuh. Riko jadi greget sendiri, tapi harus tahan-tahan diri. Satu hal yang kini dia mengerti, kalau Safana bukan lawan yang mudah. Cewek lain pasti langsung memaafkan di detik pertama Riko minta maaf, tapi Safana beda. Itulah yang membuat Safana mempesona–ehm. “Ya udah, jadi gimana? Mau ikut gue? Mau aja pokoknya.”
“Nggak, terima kasih. Aku naik taksi online aja. Assalamualakum.” Safana langsung berlari meninggalkan Riko. Tidak perduli kalau Riko sempat memanggilnya–bermaksud ingin menyerahkan payung. Intinya begini, kalau sudah berbuat salah sama Safana, sampai matipun akan dia ingat. Jadi, jangan coba-coba, karena Safana pendendam orangnya.
***
Pukul setengah sembilan malam mereka berkumpul di halaman rumah, membakar jagung dan sosis sebagai teman berbincang-bincang. Ada Safana, ada Mara, ada Megan, ada Lita dan Lira, ada juga Nana dan Tita. Sebenarnya masih terdapat beberapa orang pekerja lagi, hanya saja mereka tidak bisa ikut. Entah memilih istirahat, atau pulang ke rumah sendiri.
Rumah putih ini letaknya tepat di belakang mansion. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya dipisah oleh taman yang cukup besar. Di sini tempat tinggal khusus para pelayan. Punya kamar masing-masing, bahkan mungkin setara kamar utama di rumah-rumah minimalis biasa. Keluarga Adyatama memang tidak main-main. Pembantu saja difasilitasi semewah ini, apalagi yang setingkat saudara atau ipar.
Intinya Safana bilang, bekerja di sini adalah surga. Gajinya tinggi dibanding pembantu rumah tangga biasa, tapi tentu tidak sebanding kalau disandingkan dengan gaji para pekerja kantoran. Intinya sangat cukup untuk kebutuhan keluarga Safana selama sebulan, bahkan masih berlebih hingga bisa dia dan ibunya tabung.
Tapi, kelemahan mereka-mereka yang ada di sini, rata-rata punya kehidupan yang suram. Contohnya Megan, masih melajang di usianya yang tidak lagi muda. Mara juga, tapi dia punya peluang besar untuk menemukan pasangan karena masih muda seperti Safana. Sementara yang lain, rata-rata statusnya janda. Punya anak di kampung, bekerja di kota demi bisa mengirim uang setiap minggu atau satu bulan sekali.
Hanya para pria yang utuh berumah tangga, sedangkan perempuannya single semua. Entah kebetulan atau tidak, intinya inilah fakta yang Safana temukan. Tapi, apa pun status mereka, Safana sudah menganggap lebih dari sekadar rekan kerja. Mungkin setingkat saudara, karena nyatanya mereka banyak membantu, memberi nasihat, bahkan mensupport satu sama lain saat dalam masalah.
“Kabar ibu dan saudara-saudaramu gimana, Fa?” tanya Megan setelah menggigit jagungnya. Wanita akhir empat puluh tahun itu masih saja terlihat formal padahal jam kerja sudah berakhir. Kalau kata Mara, Megan sekaku kanebo kering. Susah diajak bercanda, tapi perhatian di saat yang tepat. “Mereka sehat, kan?”
“Alhamdulillah baik dan sehat. Ibu masih aktif jualan kue kering, sementara Rian tambah tinggi, Randu makin jago bahasa Inggris, terus Randi makin berisi.” Mengingat wajah-wajah mereka, tanpa sadar Safana tersenyum lebar. “Aku kalau udah pulang, bawaannya nggak pengen balik ke sini lagi. Tapi kalau aku nggak kerja, kami dapat uang darimana?”
“Yang mesti kamu ingat, kalau menganggur nggak akan dapat pemasukan. Kamu nggak bisa jajan, nggak bisa jajanin orang tua dan adik-adikmu. Jadi jangan terlena liburan, melainkan jadiin mereka motivasi untuk lebih giat lagi. Orang kayak kita nggak akan bisa berhenti bekerja, kecuali kalau sudah dapat suami anak tunggal kaya raya. Cuman yang jadi pertanyaan, memangnya dia mau sama pekerja rumah tangga kayak kita?”
“Apa yang salah? Selagi baik hati, jujur, giat, dan pandai menabung, kita juga layak dapat yang istimewa. Toh dari muka, kita nggak kalah-kalah amat dari wanita-wanita di luar sana. Didandani pakai pakaian mahal, aura kita pasti lebih keluar. Intinya nggak akan malu-malu amat misal diajak kondangan. Terus, cinta itu kadang buta. Nggak pandang apa kastanya, kalau tertarik ya tertarik aja.”
“Pasti janggal, Lit. Dunia harus seimbang, nggak bisa berat sebelah. Maksudnya dalam kasus kita ini, yang kaya akan sama yang kaya. Yang biasa aja sama yang biasa saja. Hal ini pengecualian buat yang jelek tapi berdompet tebal, maka kekurangannya akan tertutupi. Sama juga seperti yang tampan tapi nggak punya uang, dengan tampang yang dia punya itu, maka semuanya akan termaafkan.”
“Nggak adil banget. Sistem mendiskriminasi. Yang jelek plus miskin pasti merasa sedih karena nggak ada tempat buat mereka. Dunia emang kejam, kalau nggak bisa bertahan, maka akan jatuh sebagai pecundang.” Nana mendengkus, menggigit sosisnya jengkel. “Kapan sih ketemu orang yang nggak mandang kasta?”
“Ada, contohnya majikan kita,” sahut Megan tenang. Dia mengusap bibir dengan tisu, kemudian meletakkan jagung yang bijinya sudah dimakan habis. “Kalian harusnya tidak lupa kalau Nyonya Kama berasal dari keluarga mana. Sejauh ini yang kita tahu, hanya Bu Lilianna dan Pak Daniswara yang tidak menyukai nyonya. Sisanya aman.”
“Iya juga, ya?” Safana mengangguk membenarkan. Kelopak matanya sampai melebar, seakan baru saja mendengar hal paling langka di dunia. “Jadi kesimpulannya, yang Lira katakan tidak sepenuhnya benar. Tuan Raja adalah bukti nyata. Tuan Ardian dan Nyonya Fatmawati adalah bukti lain.”
“Hm, berarti ada peluang untuk mendapatkan tuan muda,” kelakar Tita, yang otomatis mendapat dengkusan dari Safana, Mara, juga Nana dan Lita. “Hei, kalian nggak boleh kesal gitu. Jodoh nggak ada yang tahu. Bisa aja ‘kan pas aku ngomong tadi, malaikat kebetulan lewat dan langsung mengaminkan.”
“Kalau iya, artinya kamu harus menghadapi Tuan Daniswara dan Nyonya Lilianna. Mereka anti kasta rendah. Masuk ke keluarga mereka, sama saja dengan uji nyali seumur hidup. Memangnya kamu mau?”
“Ditambah tuan muda itu menakutkan,” jelas Safana berapi-api. “Dia nggak segan matah tubuh orang kalau kalian sampai bermasalah sama dia. Oh, jangan lupa satu hal, dia itu menyebalkan.”
“Darimana kamu tahu?”
Seketika Safana gelagapan, tapi dia berusaha tenang supaya kepanikannya tidak diketahui. Kemudian Safana memilih menggeleng dan menyumpal mulutnya dengan sosis, mengunyah cepat-cepat, lalu menjawab, “Nggak ada, aku cuma ngarang. Hehehehe ...”
***
Shaka mendengkus malas mendengar ocehan Sadhana. Intinya seputar meminta dia bertahan lebih lama di cafe ini, karena pacar Sadhana akan datang bersama temannya. Niat mereka sangat terpuji, karena ingin mengenalkan Shaka dengan perempuan itu. Tadinya dia ingin menolak, tapi demi persahabatan yang sudah lama terjalin, Shaka akhirnya setuju juga.
Lagipula benar, move on itu harus dibarengi usaha. Kalau tidak, maka dia akan diam di tempat. Siap-siap saja menanggung predikat laki-laki menyedihkan, tidak bisa beranjak dari bayang-bayang cinta pertama yang kini sudah jadi kakak iparnya. Shaka tidak mau selamanya seperti ini. Dia juga berhak bahagia, terlepas dari apa saja yang sudah dia alami.
“Yang ini pasti tipe lo banget, Ka. Body-nya memang kalah dari cewek gue, tapi cantiknya mereka sebelas dua belas. Satu tempat kerja juga. Lo tahu sendiri salon kecantikan gimana. Di samping ahli membuat orang lain cantik, mereka juga pandai mempercantik diri. Karena wajah adalah privilage utama pekerjaan mereka.”
“Hm,” jawab Shaka malas. Dia menatap es kopi tanpa minat, mendengkus untuk kesekian kali karena merasa bosan. Padahal cafe sedang ramai pengunjung, tapi Shaka tidak merasakan demikian, karena semua sama terlihat membosankannya. “Satu jam ya, Dhan. Setelah itu gue pulang. Nggak ada penawaran.”
“Santai, Bro. Sebentar lagi mereka sampai.”
Beberapa menit menunggu, Sadhana akhirnya bangkit juga. Dia melambai pada dua perempuan yang baru masuk, meminta mereka untuk menghampiri dan bergabung di satu meja. Shaka tidak punya minat untuk menoleh, bahkan untuk sekadar basa-basi. Bukan gayanya tebar pesona, apalagi sampai berpura-pura demi menghormati mereka.
“Ini yang kami maksud, Gin,” ujar Sadhana saat Vanesa–pacarnya–dan Gina menempati kursi masing-masing. “Masih nggak ada gandengan dia. Nggak dekat sama siapapun karena masih betah sendirian. Padahal mau dua enam. Orang tuanya nggak sekali dua kali desak minta calon menantu, tapi nggak dikabulin.”
“Oh, halo ...”
Sapaan mendayu itu Shaka tanggapi dengan dongakkan kepala. Beberapa detik menatap, Shaka langsung mengalihkan pandangan alias tidak berminat. Tapi dia tetap membalas, apalagi saat Gina mengulurkan tangan. “Shaka,” ucapnya singkat, kemudian menambahkan sebagai formalitas, “Teman Dhana.”
“Aku Gina. Senang kenalan sama kamu.”
Pembicaraan mengalir, tapi Shaka tidak terlalu menimbrungi. Mereka memesan minuman dan camilan, Shaka menolak menambah karena dia berencana akan pulang. Menilik dari aktifnya Gina bicara, Shaka menyimpulkan kalau dia tipe yang agresip. Ch, siap-siap saja Sadhana kecewa, karena hubungan ini tidak akan maju ke mana-mana.
“Dhan, kayaknya gue–” Kata-kata Shaka terputus saat dari antah berantah, seseorang datang mencengkeram kemeja yang dia kenakan. Kaget sudah pasti, tapi rasa kesal lebih mendominasi. Saat Shaka mulai bisa mencerna, keningnya mengernyit karena merasa kenal dengan orang sintingg ini.
“Kurang ajar! Lo deketin Mbak Safa, tapi main sama cewek lain!”
Safa ... Safa ... Safana? Ah, Shaka ingat. Dia anak tengikk yang membuat Safana teler. “Bukan urusan lo!” Dalam sekali tepis, Shaka berhasil membebaskan diri. Dia menggeser kursi, supaya lebih legawa mendekati Riko. “Pergi! Gue nggak butuh lo dikte!”
“Nggak sampai lo janji jangan dekati Mbak Safa lagi. Dia terlalu baik buat lo yang berengsek!”
“Lo membicarakan diri sendiri, heh?”
Riko terkekeh sinis, dia menunjuk tepat di wajah Shaka. “Intinya sampai gue tau lo deketin Mbak Safa, lo nggak akan bebas, Bang. Camkan ini.”
***