Safana dan Mara menyelesaikan bersih-bersih di lantai atas. Debu-debu bandel selalu saja ada, membuat kerjaan mereka tidak ada habis-habisnya. Andai dia Tuan Rajata, pasti sudah lama mansion ini dia jual. Sebab terlalu boros. Bukan hanya dari segi menggaji pekerja saja, tapi listrik, air, bahkan internet, semua mengeluarkan uang yang nominalnya tidak main-main.
Tapi, orang kaya mana berpikir begituan. Di mata Tuan Rajata, semuanya tidak ubah seperti membersit ingus. Terlalu kecil, saking kecilnnya sampai tidak begitu berasa saat digelontorkan. Sungguh-sungguh membuat iri. Biaya satu bulan mansion ini sama seperti sepuluh bulan keluarga Safana. Hh, bagaimana tidak menjerit iri kantongnya?
“Kuliah hari ini jam berapa, Fa?” tanya Mara tiba-tiba, setelah mematikan vacuum cleaner. “Sempatin makan siang. Kemarin kamu nggak makan saking buru-burunya ke kampus. Lagian keasyikan bersihin peralatan gym sampai lupa waktu. Untung aku ingetin, kalau nggak, bakal absen di jam pertama kamu.”
“Masih ada satu setengah jam lagi, Ra. Selesai ini, aku pasti siap-siap. Nggak banyak lagi, kan?” Safana meneliti keseluruhan ruangan, kemudian dia berdecak puas sambil bertolak pinggang. “Tinggal di bagian kaca, setelah itu beres. Keren banget sudah selesai dalam waktu yang singkat. Kayaknya kita makin produktif menjelang tanggal muda.”
“Biasa aja, tuh. Oh iya, aku turun duluan, Fa. Kelarin bagianmu, ya. Awas jangan lamban, nanti keburu mepet waktu ngampus,” tukas Mara dengan wajah galak dibuat-buat. Setelah itu dia meletakkan vacuum cleaner ke sudut ruangan, lalu mengumpulkan sisa alat-alat yang tadi dia pakai. “Sama Nyonya Kama juga, kan? Itu artinya makin nggak bisa telat kamu. Tuan pasti nggak senang istrinya dibuat menunggu.”
“Iya, ih! Aku ngerti, Ra.” Dengan bibir mengerucut Safana membawa pembersih kaca dan lapnya, segera bergerak atau kalau tidak Mara akan menasihati lagi soal tepat waktu dan jangan terlambat. Dia itu seperti kakak yang cerewet. Sering mengomeli Safana, tapi semua omelannya benar. Juga berlandaskan rasa sayang, itu yang bikin Safana menghormati dan resfect pada Mara.
Lantai atas langsung hening setelah kepergian Mara. Safana tentu giat bergerak, malah terlalu lincah dari sisi ke sisi. Dia bahkan berdiri di atas kursi, tidak merasa kesulitan sama sekali. Sambil bersenandung, tatapan Safana memaku pada gerakan tangannya. Kemudian berdecak puas melihat kaca yang bersih bin kinclong.
Dua puluh menit kemudian, dia turun dengan perasaan riang. Berpapasan dengan Megan di ujung tangga, mengangguk sekali dengan senyuman lebar. Safana lebih dulu meletakkan alat-alat kebersihan, setelah itu pergi ke dapur untuk mencuci tangan, lalu bergabung makan siang bersama Nana dan Tita.
Mengunyah sambil mengobrol itu seru. Karena tidak terasa, tahu-tahu nasi beserta lauk habis begitu saja. Dipandang dari segi etika memang tidak baik, tapi sering mereka langgar–terutama Safana. Andai Megan tahu, dia pasti diomeli habis-habisan. Katanya tidak sopan, pamali dan kawan-kawan. Ibu juga pernah bilang, makan sambil bicara itu mengundang ibliss ikut makan. Alhasil nasi yang ditelan tidak berasa di dalam perut. Berujung membuat tidak kenyang sama sekali.
“Lita, terima kasih untuk makan siangnya. Seperti biasa, enaaaak,” puji Safana disertai acungan jempol saat dia beranjak dari bak cuci. Waktu itu Lita sibuk menyusun cookies untuk dipanggang di oven. “Nanti pulang kuliah aku pijitin bahu, lengan, sama kaki. Meski nggak sebanding, tapi seenggaknya bisa ngurangi capek. Kamu ‘kan bilang pijitanku enak.”
“Sama-sama. Iya, aku nggak bohon soal itu. Nanti malam kalau kamu lupa, aku yang datengin ke kamar terus nagih. Ini udah janji ya, Fa. Kamu sendiri bilang kalau janji adalah hutang dan hutang harus dibayar.” Lita sampai menyipitkan mata demi memastikan omongan mereka. “Jangan ada alasan kayak yang beberapa waktu lalu.”
“Siap, aku janji!”
Safana kemudian meninggalkan dapur dengan senyum merekah di bibir. Dia melewati pintu belakang, menuju rumah putih dengan langkah tergesa-gesa. Kemungkinan ada empat puluh lima menitan lagi tersisa. Andai Safana terlambat, tidak apa Kamania pergi lebih dulu. Lagipula motornya sudah di garasi, jadi dia bisa pergi ke kampus sendiri.
Baru saja Safana membuka pintu kamar, Mara tiba-tiba muncul dengan omelan, “Ini udah jam berapa, Fa? Kalau kamu dimarahi Tuan Raja nanti, aku nggak mau tanggung jawab. ‘Kan tadi udah dibilangin, jangan buat Nyonya Kama menunggu. Dia memang nggak keberatan, tapi suaminya yang nggak akan suka. Salah-salah, kerjaan kita lho yang jadi taruhan. Memangnya kamu mau menganggur dalam waktu dekat?”
“Aduh, iya aku keasyikan ngobrol di ruang makan. Mara, kamu kalau ke mansion, tolong bilang Nyonya Kama buat duluan aja. Takutnya aku masih lama. Ini belum mandi, apalagi nanti pake dandan sama masitiin barang-barang di tas,” mohon Safana dengan wajah bersalah. “Aku masuk dulu. Makasih banyak Mara!”
***
Benar-benar hari yang tidak mengenakkan, karena Safana terlambat masuk kelas. Dia sempat disindir soal waktu dan kedisiplinan oleh Bu Sapta, lalu dipersilakan duduk pada akhirnya. Safana kebagian tempat duduk di belakang, karena hanya itu satu-satunya bangku yang kosong. Lebih parahnya lagi, ada Riko menghadang dengan sebelah sudut bibir terangkat ke atas–menyeringai.
Ch! Andai Safana bisa memilih, dia nggak akan mau berdekatan dengan berondong kaleng rombeng. Berusaha menyembunyikan wajah cemberutnya, Safana lebih dulu meletakkan tas, kemudian duduk perlahan. Sengaja dia mengambil jarak, supaya tidak terlalu mepet dengan Riko. Meskipun resikonya dia yang menempel di dinding.
“Gue nggak bisa ngirim pesan, karena nomornya udah lo blokir,” kata Riko, dengan tatapan fokus ke depan. “Mbak, ayo akhiri kedongkolan lo sama gue, mari kita perbaiki hubungan dan mulai dari awal. Gue minta maaf buat semuanya. Kali ini, niat gue serius mau temenan sama lo.”
“Aku nggak suka dimanfaatin. Aku pendendam, mending kamu nyerah aja. Semuanya nggak akan nyaman buat kita, karena nanti kalau marah, aku pasti ungkit-ungkit lagi,” jelas Safana–tanpa menatap juga. Dia sibuk mencatat apa yang ditampilkan di layar proyektor, berusaha membagi konsentrasi antara Riko dan pelajaran. “Soal perbaiki hubungan dan mulai lagi dari awal, itu aneh banget tau. Dari awal ‘kan kita nggak ada apa-apa, jadi jangan ngaco kamu.”
“Lo orang paling keras kepala yang gue kenal, Mbak.” Sontak saja Safana menoleh, menatap Riko tajam. Napasnya memburu, tidak terima dikatai keras kepala. Seolah-olah Riko tidak sadar diri saja. Pemaksaan adalah contoh lain dari keras kepala. “Mau seratus kali disindir-pun gue nggak apa. Itu udah resiko, karena gue yang bikin lo nggak respect lagi. Sekarang gue cuma mau kita normal. Sama kayak lo ke Melly dan Olin, atau ke yang lain, gue juga mau kayak gitu.”
Mata kuliah Bu Sapta berakhir, dengan Safana mengabaikan Riko sepenuhnya. Tidak perduli seberapa banyak cowok itu ngomong, Safana tidak membalas lagi karena sudah jengkel. Kemudian tanpa memberikan waktu, Safana langsung beranjak mendekati Melly dan Olin. Mengobrol dengan mereka, berpura-pura tuli dengan panggilan Riko.
“Yuk ke kantin,” ajak Safana acuh tak acuh. “Hari ini aku mau makan batagor. Nggak mau menu berat, masih kenyang soalnya di rumah makan agak banyakan.” Lalu Safana mengamit lengan mereka, membawa pergi cepat-cepat. “Mampir ke fakultas musik dulu, ya. Kama nggak boleh ketinggalan. Aku harus sama dia terus.”
“Itu ... Riko-nya nggak ditanggapin nggak apa, Mbak?” tanya Olin dengan ekor mata bergerak ke samping. “Kenapa nggak kasih kesempatan aja? Udah nggak sekali dua kali dia kayak gitu, tapi berminggu-minggu. Kalau keras kepala dibalas keras kepala, jadi double. Nggak akan ada habisnya.”
“Terus Mbak Safa yang dicap bertingkah sama anak lain. Secara gerak-gerik Riko kayak orang yang ngejar banget, sementara Mbak Safa nggak peduliin. Karena mereka nggak tau permasalahannya apa, ya mereka pasti simpulin sendiri. Aku nggak maksud adu domba atau ejek Mbak Safa, cuma beberapa hari yang lalu, aku dengar mereka bilang Mbak Safa sok kecantikan. Sok jual mahal dan sok-sok lainnya.”
“Kalian percaya nggak sama omongan itu?” Safana balik bertanya, sedikit tertarik mendengar respon teman satu grupnya. Dari awal diajak satu kelompok, mereka memutuskan untuk lebih akrab. Safana senang karena Melly dan Olin menerima, apalagi mereka sangat cocok dalam obrolan.
“Nggaklah. Mbak pernah ceritain kalau Riko itu punya niat nggak baik. Kami percaya sama Mbak Safa. Lagipula keliatan banget, di samping wajahnya yang ganteng, Riko juga kayak anak nakal. Tapi nggak nakal banget, sih. Dia semacam tahu tempat-tempat begituan, terus pernah nginjakin kaki di sana meskipun nggak sering. Tipe yang imbang, antara bisa jadi cowok baik, bisa jadi cowok buruk juga.”
“Terima kasih! Kayaknya aku nggak apa ditatap sinis sama yang lain, asal kalian berdua masih percaya sama aku.” Kemudian Safana menghentikan langkah di lorong penghubung antar fakultasnya dengan fakultas Kamania. Dia sengaja berjalan lebih dulu, hanya untuk berbalik menatap Olin dan Melly. “Aku nggak punya banyak kelebihan. Enggak cantik banget, enggak berduit, enggak seumuran kalian, enggak kerja bergengsi. Tapi yang bisa kalian pertimbangin, aku pekerja keras, percaya diri, mandiri, sama usahain apa pun yang terbaik buat pertemanan kita.”
Olin dan Melly saling tatap, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Mbak, pertemanan bukan soal seberapa cantik, seberapa kaya, seberapa bagus pekerjaan kita. Pertemanan itu soal frekuensi. Sejauh ini, kami merasa nyaman dan nyambung. Dua hal itu yang paling mentukan kecocokan.”
“Jadi, kalian merasa udah satu frekuensi?”
“Iya.”
“Serius?”
“Iya, Mbak.”
“Ah, terima kasih!” Safana lansung melompat, memeluk keduanya erat. Membuat Olin dan Melly terhuyung ke belakang, kemudian mereka tertawa bersamaan. Membuat yang berlalu-lalang menoleh bahkan memberikan tatapan aneh.
***
Berhari-hari sudah Safana merasakan ketenangan, karena selain rutinitas kembali seperti biasa, dia juga tidak punya pertemuan tidak terduga lagi dengan Shaka. Bukannya apa, kadang Safana jengkel dengan laki-laki itu, kadang juga takut kalau dia mengancam. Intinya serba salah. Shaka bisa membuat Safana lancang, bisa juga membuat tidak berdaya.
Tapi itu sebelum Safana dapat pemberitahuan, kalau Tuan Ardian akan mengadakan perayaan kecil. Karena begitu sudah ada pemberitahuan, Safana-lah yang mengerang paling panjang. Bukan tanpa alasan dia melakukan ini, sebab karena rumah utama ada acara, otomatis beberapa pelayan dipilih untuk membantu di sana. Yang paling Safana khawatirkan adalah, bertemu dengan Shaka.
Memang kemungkinan kecil laki-laki itu mau menganggap keberadaannya, tapi tetap saja ada kemungkinan, kan? Sudah sepatutnya Safana waspada, mengingat selama ini, Shaka tidak pernah segan melibasnya di setiap kesempatan. Faktor karena Safana pernah berulah, dia jadi semacam tidak membiarkan Safana tenang.
“Yang ke rumah utama sore ini Lita, Lira, Nana, Safa dan saya.” Desahan letih Safana embuskan, karena nelangsa mendengar namanya disebutkan Megan. “Tadinya Mara yang akan dikirim, tapi tiba-tiba ada perubahan karena Nyonya Fatmawati ingin Safana yang datang. Permintaan khusus, jadi mana bisa saya tolak.”
“Duh, kenapa, ya?” tanya Safana cemas. Dia meremas tangan, merasa ada yang aneh karena tidak biasanya seperti ini. “Megan, apa aku pernah bikin salah? Sejauh ini aku nggak aneh-aneh, kok. Kuliah juga nggak macam-macam. Nggak bikin sesat Nyonya Kama. Serius. Aku selalu sama dia sebelum masuk kelas, istirahat, pulang.”
“Jangan asal nebak dulu, siapa tahu dia memang maunya kamu. Lagipula, apa bedanya aku sama kamu, Fa? Sama-sama bagian kebersihan juga,” jelas Mara, tapi sebenarnya dia berusaha menenangkan. “Sudah, mending siap-siap. Nyonya Kama sudah berangkat tadi, katanya pergi lebih dulu.”
Mereka kemudian bubar setelah mendapat instruksi dari Megan, tapi tidak serta merta melapangkan dadaa Safana. Dia tetap merasa tidak tenang. Berbagai macam persepsi muncul di kepala dan dari semuanya itu tidak ada yang benar. Andai kata dia akan dimarahi nanti, Safana tidak akan berdiam diri. Dia akan berlutut meminta pengampunan, demi keamanan pekerjaan dan kesejahteraan lahir dan batinnya nanti.
Dua puluh lima menit kemudian, mereka sudah di rumah utama. Semua orang sibuk, termasuk mereka yang baru datang. Tapi, begitu Safana akan membantu pelayan lain memindahkan vas besar, secara mengejutkan Nyonya Fatmawati muncul. Tersenyum lebar–yang mana terasa aneh dalam pandangan Safana.
“Bisa ikut saya sebentar?” tanya beliau, dengan suara lembut tapi mengandung ketegasan.
“Mmm, kenapa ya, Nyonya? Saya punya kesalahan, ya?”
Tawa Nyonya Fatmawati memancing pelayan lain untuk menoleh. Sebagian merasa heran, namun tidak terlalu ambil pusing dan lanjut pada pekerjaan masing-masing. Sedangkan Safana, berkali-kali menelan ludah tidak nyaman, karena gugup memikirkan apa yang nanti beliau sampaikan misalkan mereka sudah bicara.
“Tidak, jangan takut. Ayo ikuti saya.”
Beliau berbalik, membuat Safana otomatis menurut. Mereka sempat melewati ruang tamu yang luas, kemudian menyusuri lorong, barulah tiba di sebuah pintu. Begitu Nyonya Fatmawati membuka, beliau menoleh dengan isyarat kalau Safana harus masuk juga.
Safana tidak bisa mengagumi apa yang ada di dalam, karena dia terlalu terpaku pada punggung Nyonya Fatmawati yang agak membungkuk–namanya juga orang tua. “Nak, lihat siapa yang Oma bawa.”
Kening Safana mengernyit. Saat dia mengalihkan pandangan ke sekitar, Safana nyaris memekik karena mendapati keberadaan Shaka. Demi anakonda yang tidak tahu di mana keberadaannya, Safana nyaris gemetaran di tempat–apalagi ditatap sedemikian tajam dan lekatnya oleh Shaka.
“Kejutan apa ini, Oma?” tanya Shaka dengan suara yang–entah kenapa membuat lutut Safana gemetaran.
***