"Mau ke mana?" Eldo bertanya ketika melihat Zka menuruni tangga dengan pakaian lengkap. Semalam, setelah ia memutuskan untuk menjadikan Zka sebagai wanitanya, ia membawanya pulang ke kediamannya sendiri. Eldo menempatkan Zka di kamar yang berbeda dengan yang ditempatinya.
"Pulang." Zka menjawab tanpa menoleh dan hanya melewati begitu saja meja makan tempat Eldo tengah menyesap kopinya.
"Sekarang ini tempatmu. Kau pikir kau mau pulang ke mana?" tanya Eldo dingin.
Zka menoleh dan memandang Eldo dengan rasa benci di dalam hatinya. "Setidaknya berikan aku waktu beberapa hari untuk berpamitan pada ibuku dan mengemasi barang-barangku."
"Kau tidak perlu waktu sampai beberapa hari hanya untuk berpamitan pada ibumu. Kau hanya butuh waktu beberapa menit untuk mengatakan padanya bahwa kau tidak akan lagi tinggal bersamanya. Aku sendiri yang akan mengantarmu ke sana."
"Aku mungkin hanya butuh waktu beberapa menit untuk bicara pada ibuku, tapi aku membutuhkan waktu beberapa jam untuk mengemasi barang-barangku."
"Kau tidak perlu membawa apa pun ke rumahku."
"Setidaknya aku perlu pakaianku. Kau pikir apa yang akan aku pakai selama aku tinggal di sini?"
"Tidak pakai apa-apa juga tidak jadi masalah."
"Apa kau gila?! Kau ingin melihatku berkeliaran di rumahmu tanpa memakai apa-apa?" Bahkan pagi ini ia terpaksa mengenakan baju yang semalam dipakainya ketika berangkat dari rumahnya ke J Club.
"Apa salahnya? Keberadaanmu di sini memang hanya untuk menjadi pemuas nafsuku. Jadi tidak ada bedanya ketika kau memakai baju atau tidak, karena pada akhirnya kau tetap saja akan berakhir dengan keadaan telanjang di bawah tubuhku."
Zka merasa begitu terhina mendengar kata-kata Eldo. Ia memutuskan untuk tidak mengindahkan perintah Eldo, muak berada di sana, muak dengan kata-kata menghina yang selalu keluar dari mulut pria itu. Ia memilih tetap pergi menemui ibunya.
"Begitu kau melangkah keluar dari pintu rumahku, saat itu juga aku akan memerintahkan Javier untuk mengerahkan anak buahnya. Mereka akan mengosongkan tempat ibumu."
"Kau hanya mengancam. Aku tahu kau tidak bisa melakukannya. Kami sudah membayar sewanya."
"Ya. Tapi sebagai pemilik tempat itu, tentu aku bisa melakukannya."
"Itu bukan tempatmu. Jangan membodohi aku."
"Aku sudah membelinya semalam," ujar Eldo dengan sangat tenang.
Perkataan pria itu bagai petir yang menyambar Zka. Kalau sudah begini, entah bagaimana caranya ia melepaskan diri dari pria kejam ini? Rasanya Zka semakin terperosok dalam jerat yang sengaja dipersiapkan untuknya. Kapan ia bisa membebaskan diri dari pria ini?
"Sudah kukatakan, turuti semua kata-kataku dan ibumu akan hidup dengan tenang. Bukan hanya tenang tapi juga terjamin. Aku akan mengizinkan ibumu menempati tempatku tanpa perlu membayar sewa lagi."
Zka merasa kalah dan begitu tidak berdaya. Entah apa yang sebenarnya terjadi, Zka tidak mengerti. Dunianya yang baik-baik saja, tiba-tiba terperosok dan berubah kelam sejak ia meminta pertolongan pada pria ini. Pria ini terlalu mengerikan, sama sekali bukan lawannya. Ia berjalan ke arah meja makan, menarik kursi yang tepat berseberangan dengan Eldo, kemudian menghempaskan tubuhnya di sana. Lelah. Semua ini baru dimulai, namun ia sudah sedemikian lelah.
"Begitu lebih baik. Duduklah dengan tenang. Setelah ini aku akan mengantarmu menemui ibumu."
***
"Ada apa, Sayang? Kenapa kau tiba-tiba ingin pergi dari rumah ini?" Yvone tidak rela melihat putrinya akan pergi meninggalkannya begitu saja. Pergi dengan pria yang tidak seharusnya berdekatan dengan Zka. Orang yang tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikiran Yvone akan muncul dalam kehidupan mereka.
"Aku hanya lelah, Mom. Aku lelah dengan kehidupan kita yang sulit. Sekarang aku sudah menemukan seseorang yang mampu menjamin kehidupan kita. Mom tidak perlu memusingkan lagi urusan sewa toko, Eldo sudah membelinya dan Mom bisa menempatinya tanpa perlu membayar lagi." Zka mencoba mengatur suaranya agar terdengar biasa saja, padahal hatinya tengah bergemuruh hebat.
"Tapi aku tidak membutuhkan itu, Sayang. Aku hanya ingin kau tetap tinggal bersamaku." Yvone menggeleng kuat-kuat, memegang erat-erat tangan Zka, berharap gadisnya tidak akan pergi meninggalkannya. Berharap gadisnya tidak akan pergi bersama pria itu. Yvone merasa ketakutan.
Zka harus menguatkan hatinya. "Maaf aku tidak bisa, Mom. Ini sudah menjadi pilihanku."
"Adakah hal yang bisa mengubah pikiranmu?" Yvone menatap penuh harap.
"Untuk saat ini tidak, Mom. Aku sudah yakin dengan pilihanku." Zka mengigit bibirnya kuat-kuat, ia harus menahan tangisnya agar tidak pecah. Ia harus segera meninggalkan ibunya sebelum ia menangis di sini. "Aku harus pergi, Mom. Eldo sudah menungguku."
"Jangan! Aku mohon jangan bawa putriku pergi ..." Kini Yvone mengiba pada Eldo.
Eldo hanya menatapnya dingin. "Putrimu sudah menetapkan pilihannya." Eldo meraih tangan Zka dan menggenggamnya. "Kita pergi sekarang. Sampai bertemu lagi, Nyonya. Jaga dirimu baik-baik."
Yvone menjatuhkan dirinya di lantai, jatuh luruh dan terisak. Ia merasa ketakutan, sekujur tubuhnya diserang rasa dingin yang membuatnya menggigil. Ia tahu siapa pria yang membawa putrinya pergi. Ia tahu, karena Eldo pernah menemuinya beberapa waktu yang lalu.
***
Yvone merasa janggal melihat seorang pria berpakaian rapi yang sedari tadi duduk diam di meja dekat jendela. Ketika tokonya sudah sepi, Yvone memberanikan diri mendekati pria itu. "Permisi, Tuan. Apakah ada sesuatu yang Anda butuhkan?"
"Tidak. Hanya sedang menunggu seorang kenalan lama. Sejak tadi ia begitu sibuk, tapi sepertinya sekarang sudah santai." Pria itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko milik Yvone.
"Apakah yang Tuan maksud itu saya?" tanya Yvone ketika menyadari hanya ada mereka berdua di sana.
"Duduklah." Pria itu tersenyum kaku.
Meski bingung, Yvone menuruti juga perkataan pria itu. Ia duduk berseberangan dengan pria itu, kemudian diam-diam mencoba mengingat siapa pria di hadapannya ini. Yvone tidak merasa mengenal wajahnya, lagipula pria ini masih muda. Tidak mungkin ia memiliki teman semuda ini.
"Lama tidak berjumpa, Nyonya. Sepertinya kau sudah melupakan aku."
"Maaf, aku memang tidak ingat pernah bertemu denganmu. Kapan kita pernah bertemu?"
"Memang sudah sangat lama. Sekitar 17 tahun yang lalu."
Yvone berpikir keras, mencoba mengingat tentang pria di hadapannya namun ia tidak berhasil. 17 tahun yang lalu pria ini mungkin masih seorang remaja atau bahkan anak-anak, Yvone jelas sulit mengingat wajahnya.
"Kalau kau tidak mengenali wajahku sekarang, aku rasa itu hal yang wajar. Namun aku masih bisa mengingat wajahmu dengan jelas. Kau masih cantik seperti dulu, Nyonya."
"Di mana kita pernah bertemu?"
"Semudah itu kau melupakan tentang aku." Pria itu berdecak kemudian tersenyum sinis. "Aku akan bercerita sedikit untuk membantumu mengingat. Apa kau ingat dengan seorang anak lelaki yang menggigil kedinginan di depan pagar rumahmu? Dia yang menunggu di depan rumahmu selama tiga malam dan hampir mati karena kelaparan. Kau ingat anak lelaki yang menangis memohon belas kasihan agar diberi kesempatan untuk bertemu dengan suamimu? Namun sayang suamimu dengan kejam mengusirnya begitu saja. Menendangnya seakan anak itu anjing jalanan yang menjijikan. Kau ingat hari itu, Nyonya?"
Jelas Yvone ingat. Ia mengingat dengan jelas kejadian itu. Namun dari mana pria di hadapannya ini tahu? "Aku ingat. Apa yang terjadi pada anak lelaki itu?"
"Dia hidup dengan baik, seperti yang kau lihat sendiri."
Yvnoe terpaku. "Kaukah itu?" tanya Yvone dengan suara bergetar.
"Hmm. Dan aku di sini untuk menepati ucapanku. Aku akan menemui kalian untuk membuat kalian membayar apa yang dulu kalian lakukan padaku. Sayang suamimu itu sudah mati sebelum aku sempat menyentuhnya. Tapi aku senang masih ada kau dan putrimu yang tersisa."
"Apa yang kau inginkan?" Yvone merasa takut melihat sorot mata penuh kebencian di mata pria itu.
"Sederhana. Hanya ingin membuatmu merasakan apa yang dulu aku rasakan. Aku akan membuat hidupmu dan putrimu sengsara, seperti aku menjalani kehidupanku dulu. Aku tidak akan membiarkan kalian hidup dengan tenang mulai saat ini."
"Aku minta maaf atas apa yang terjadi padamu dulu."
"Terlambat, Nyonya."
"Tolong jangan libatkan putriku. Dia sama sekali tidak bersalah padamu." Air mata Yvone mulai mengalir tanpa dapat ia cegah.
"Sayangnya dia anak dari orang yang menghancurkan hidupku. Menghancurkan dia akan membuatmu tersiksa, bukan?"
"Aku mohon menjauhlah darinya." Tanpa malu Yvone memohon.
"Sekarang dia milikku, Nyonya. Nikmati saja penyesalanmu dan hiduplah dalam ketakutan." Pria itu berdiri dan meninggalkan Yvone.
***
--- to be continue ---