Bab 16

1320 Kata
“Apa Kak Angga membawa sekretaris itu ke rumah? Kenapa suara itu…“ Amel menjeda kalimatnya saat Amel semakin jelas mendengar suara aneh di balik kamar tamu tersebut. Amel bukan wanita polos, yang tidak paham dengan suara-suara laknat yang ada di balik kamar tamu itu. Amel mencoba untuk mendekati kamar tamu tersebut, untuk memastikan kalau telinganya tidak salah mendengar. Jujur saja Amel berharap kalau telinganya salah mendengar, karena Amel tidak mau semakin terluka hatinya saat pendengarannya ternyata masih jelas sempurna, atau bisa dikatakan Amel tidak salah dengar. Saat Amel berada di dekat pintu kamar tamu tersebut, tubuh Amel langsung mematung, karena ternyata suara itu semakin bersahutan. “Ternyata, perselingkuhan yang dijalani Kak Angga sudah berjalan sejauh ini? Aku pikir Kak Angga tidak berani membawa wanita lain ke rumah ini, dan aku pikir, aku yang paling berdosa disini karena aku telah membawa pria lain masuk ke rumah ini, Meski Bukan aku sendiri yang membawanya. Tapi ternyata, Kak Angga jauh lebih dari apa yang aku lakukan selama ini.” Gumam Amel dengan wajah yang sudah dibanjiri oleh air matanya, saat mendengar ternyata suara laknat itu tidak hanya berasal dari suara seorang perempuan saja, melainkan suara seorang pria juga, dimana milik suara itu adalah suara Angga. “Sayang, ahhh… iya.. Goyang lebih cepat lagi… ahhh… begitu lebih enak… Amel yang mendengar suara Angga yang meminta sekretarisnya itu untuk melakukan yang lebih dan lebih dan lebih, langsung berlari untuk menaiki anak tangga, karena Amel tidak ingin mendengar suara itu lebih lama lagi. Saat Amel berada di tengah-tengah anak tangga, tiba-tiba Amel menghentikan langkahnya, dan balik lagi menuruni anak tangga untuk keluar dari rumah. Entah Amel akan pergi ke mana, Amel masih belum menemukan tujuannya. Yang penting, Amel bisa menghindari suara penuh luka itu. Dan yang lebih jelas lagi, sepanjang perjalanan Amel pergi dari rumah, Amel tidak berhenti menangis, dan bahkan sekarang Amel juga membuka hodinya hingga memperlihatkan tubuh atasnya yang hanya memakai tanktop saja. Amel tidak tau, sejak kapan mereka bermain di rumah itu, karena Amel baru tiba dirumah sudah disuguhkan oleh suara desahan. Angga sendiri tidak menyadari kepergian Amel, jangankan kepergian Amel, kedatangan Amel saja Angga tidak menyadarinya, karena Angga saat ini masih di ambang oleh nafsunya, hingga Angga tidak mendengar suara apapun selain suara desahan seorang sekretaris yang berada di atas tubuhnya. Malam itu mungkin dunia Tengah berpihak pada Amel, karena tidak ada angin atau bahkan tidak ada mendung, tiba-tiba saja gerimis seolah-olah mengiringi kesedihan Amel, hingga gerimis itu berubah semakin deras. Amel keluar dari mobil taksi Setelah mobil taksi itu berhenti dengan jarak yang cukup jauh dari rumah mewah bahkan lebih mewah dari rumah Angga. Karena Amel tidak peduli dengan tubuhnya yang basah akibat terkena hujan, Amel tetap melanjutkan langkahnya. Amel terus membawa langkahnya dengan langkah yang masih tetap pelan, seperti tidak terasa dingin di tubuhnya dan tidak merasa terburu-buru ia harus segera sampai di rumah yang menjadi tujuannya. Wajah Amel sudah basah, dibasahi oleh air matanya, tapi juga dibasahi oleh air hujan. Jadi siapapun yang melihat Amel berjalan di tengah-tengah hujan deras itu, tidak akan ada yang tahu kalau Amel sedang menangis, karena air mata Amel bercampur dengan air hujan. Amel membawa langkanya dengan perlahan untuk memasuki halaman rumah mewah tersebut sambil menangis tersedu-sedu, dan mengetuk pintu rumah itu dengan pelan, bahkan Amel tidak memikirkan tentang lantai rumah itu yang basah dan juga kotor karena ulahnya. Amel tidak berhenti mengetuk pintu rumah itu sampai pemilik Rumah itu membukanya. Ceklek Betapa terkejutnya pemilik Rumah itu saat melihat penampilan Amel yang begitu sangat menyedihkan. “ Sayang, apa yang terjadi denganmu? Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu seperti ini? "Berbagai macam pertanyaan Bian lontarkan serta raut wajah yang terlihat sangat terkejut beserta panik secara bersamaan. Yah, ternyata Amel yang awalnya tidak memiliki niatan atau tujuan untuk menuju ke rumah Bian, akhirnya Amel menuju ke rumah Bian juga, karena Amel tidak punya pelarian lagi selain Bian. Amel yang mendengar pertanyaan Bian tidak menjawab, malah langsung memeluk Bian dengan sangat eratnya, hingga pakaian Bian ikut basah karena Amel. Setelah cukup lama mereka berpelukan, lebih tepatnya Amel yang memeluk Bian, tanpa membuka suara sedikitpun Bian langsung menggendong tubuh Amel dan membawanya masuk ke dalam rumah. Amel hanya diam saja dan tetap menangis berada di gendongan Bian, dan bahkan semua pelayan di rumah Bian terlihat terkejut saat melihat sang tuan tengah menggendong seorang wanita yang sudah basah kuyup, sayangnya mereka tidak dapat melihat wajah wanita itu karena kebetulan Amel juga menyembunyikan wajahnya pada d**a bidang Bian. Padahal, pelayan dirumah Bian sangat penasaran siapa wanita yang datang ke rumah sang tuan, pasalnya selama ini, tidak ada wanita manapun yang berani datang ke rumah Bian, dan ini pertama kalinya Bian membawa seorang wanita, atau lebih tepatnya, seorang wanitanya yang datang lebih dulu ke rumah Bian. Bian membawa Amel ke kamar pribadinya sendiri karena Bian khawatir, takut terjadi sesuatu pada Amel, atau Amel sampai masuk angin dan sakit. Bian langsung membawa Amel ke kamar mandi, lalu menyiapkan air hangat untuk Amel, agar Amel tidak kedinginan. Setelah air hangat sudah siap, Bian juga membantu Amel masuk ke dalam bak mandi yang sudah terisi air hangat penuh. Tidak hanya tubuh Amel yang masuk ke dalam bak mandi tersebut, tapi tubuh Bian juga. Padahal, Bian keluar dari kamarnya baru saja selesai mandi dan berniat untuk mengambil berkas yang ia bawa dari kantor di ruang tamu, dan kebetulan dia mendengar suara pintu rumah diketuk, membuat Bian langsung membuka pintu rumah tersebut tanpa harus menyuruh pelayan seperti biasanya. Tapi karena demi Amel, Bian rela mandi lagi hanya untuk menemani Amel. Amel Sendiri tetap menangis meski tubuhnya sudah terasa hangat karena air air hangat yang sudah disiapkan oleh Bian, ditambah lagi hangatnya tubuh Bian, hingga membuat Amel perlahan merasa nyaman. Bian sendiri tetap diam saja, tidak bertanya apa yang membuat Amel menangis, karena Bian sengaja ingin membiarkan Amel menumpahkan kesedihannya hingga puas. Setelah cukup lama mereka berdua berendam dalam air hangat, Amel juga sudah merasa lelah dan juga merasa ngantuk, Bian membuka pakaiannya, dan meminta agar Amel juga membuka pakaiannya, untuk menyudahi mandinya. “Sayang, bilas yuk. “ Ajak Bian dengan penuh kelembutan yang hanya ditanggapi dengan anggukan kepala yang terlihat sangat lemah dari Amel. Entah kenapa Bian melihat reaksi lemah dari Amel, Bian sangat kasihan dan merasa semakin cinta terhadap Amel, bahkan Bian tidak terima dengan apa yang dialami oleh Amel saat ini. Kali ini Bian tidak main-main, atau sekedar menyentuh tubuh polos Amel, karena Bian sedang dalam mode serius. Bian juga membantu Amel untuk memakai jubah mandinya, lalu kembali menggendong Amel dan mendudukkan tubuh Amel ditepi ranjang. “ Aku bawa makan malam kamu ke sini ya. Aku tidak mau kamu sakit. "Ujar Bian Yang sudah berjongkok di depan Amel, dengan nada yang terdengar begitu sangat lembut, membuat Amel membalas tatapan Bian dan hanya sekali kedipan saja, air mata Amel kembali menetes, merasa sedih karena Ia mendapat perhatian lebih dari Papa mertuanya, sedangkan dari suaminya, Amel sedikit saja Bahkan satu persen saja tidak mendapat perhatian dari sang suami. Amel kembali memeluk Bian dengan mengalungkan kedua tangannya pada leher Bian, namun kali ini Bian tidak ingin lagi melihat air mata Amel membeli menetes. Bian terpaksa melepaskan pelukan Amel, dan menyentuh kedua pipi Amel dengan penuh kelembutan. "Demi aku, Berhentilah menangis. Bukankah selama ini kamu selalu bilang kalau kamu tidak memanfaatkan ketulusan cinta yang aku berikan, kalau begitu buktikan. Jangan Menangis Lagi. Demi aku. “Ujar Bian dengan penuh ketegasan, dan dengan cepat Amel langsung menghapus air matanya lalu memperlihatkan wajah yang dipaksa untuk tersenyum. Namun masih Bian tahu Amel sangat terpaksa untuk tersenyum, Bian ikut tersenyum, karena setidaknya Amel mau berusaha untuk tetap ceria. “Makan bersama disini, Aku juga belum makan malam. " Ujar Bian mengajak Amel untuk makan malam seraya mengelus pipi Amel dengan kelembutan, serta nada yang terdengar sangat lembut juga. " Aku tidak lapar. Kalau boleh, aku mau makan Papa saja. Pah, kalau Papa mau menyentuhku atau bahkan melakukan hal yang lebih sama aku, aku siap untuk menyerahkan diriku sepenuhnya sama Papa…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN