"Sarapan kamu dulu disini, baru di dapur…
Amel dibuat tercengang mendengar ucapan Bian, karena Amel bukannya gadis polos yang tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Bian. Amel ingin melarikan diri dari Bian, Namun ternyata gerakan Dian jauh lebih cepat, hingga Amel Sudah terlentang di atas ranjang, membuat seluruh wajah Amel dipenuhi oleh keringat dingin.
"Pah, tolong jangan lakukan ini. Aku mohon. Aku menantumu. "Ujar Amel dengan wajah penuh permohonan, namun Bian tidak mendengarkan ucapan Amel, malah langsung menyatukan kedua tangan Amel jadi satu genggaman, Dan meletakkan kedua tangan Amel tersebut di atas kepala Amil, hingga Amel tidak bisa bergerak dengan bebas, apalagi bergerak untuk Menghindari Bian. Bian langsung menyatukan antara bibirnya dengan bibir Amel, membuat tubuh Amel langsung gemetaran karena takut. Saat salah satu tangan Bian ingin menarik pakaian Amel, atau mencoba untuk melepaskan pakaian Amel, tiba-tiba ponselnya berdering, dan Bian langsung mendengus kesal sebelum ia melepaskan Amel untuk menerima panggilan masuk yang sangat tidak diinginkan tersebut.
Amel yang merasa sudah bebas langsung bangun, dan membenarkan pakainya yang hampir terlepas dari tubuhnya. Amel duduk di tepi ranjang membelakangi Bian dengan tubuh yang masih gemetaran karena syok.
Bian kembali mendekati Amel setelah selesai menerima panggilan masuk tersebut.
"Kali ini kamu selamat. Kamu harus berterima kasih pada orang yang menghubungiku, karena orang itu adalah penyelamat bagimu." Bisik Bian tepat di telinga Amel, hingga Amel dengan refleknya memejamkan matanya saat merasakan hangatnya hembusan nafas Bian.
Bian sendiri sadar akan reaksi Amel, tapi karena ada sesuatu yang harus ia selesaikan, Bian terpaksa harus pergi. Andai Bian tidak ada kepentingan, Bian benar-benar sudah melahap Amel.
Amel melihat kepergian Bian, dan Amel langsung bernafas lega saat ia sudah benar-benar memastikan kepergian Bian. Amel mengunci pintu kamarnya, dan kembali duduk di tepi ranjang sambil mengelus dadanya.
"Sebenarnya apa mau papa, kenapa papa bersikeras untuk melakukan hal yang tidak pantas itu. Padahal dia tau loh, aku ini menantunya, istri putranya sendiri." Gumam Amel yang merasa tidak percaya dengan sikap Bian terhadap dirinya, yang Amel anggap sudah di luar batas.
Yah, Amel semakin sadar, kalau kedatangan Bian tadi bukan benar-benar untuk sarapan, melainkan untuk menemui dirinya. Menurut Amel, tidak mungkin juga Bian kekurangan makanan di rumahnya. Pelayan ada, Bian juga orang kaya, jadi tidak mungkin Bian datang ke rumah Angga hanya untuk mengais makanan, pikir Amel. Setelah Amel berpikir keras, Amel harus melakukan sesuatu, dan semua masih menjadi teka teki, apa rencana Amel untuk menghadapi papa mertua seperti Bian.
Amel yang sudah membulatkan tekad nya untuk menikah cukup sekali seumur hidup, benar-benar ingin mempertahankan pernikahannya dengan Angga. Amel juga tidak keberatan harus berjuang sendiri, asal hasilnya tidak mengecewakan, ia berhasil mempertahankan pernikahannya dengan Angga.
Seharian full Amel di kamar. Amel keluar dari kamarnya hanya pada saat ke dapur saja. Entah kenapa, Amel jadi merasa takut, takut kalau tiba-tiba Bian datang dan melakukan hal yang tidak diinginkan terhadap dirinya. Lebih baik Amel mengunci pintu kamarnya untuk berjaga-jaga.
Amel menunggu kepulangan Angga dari kantor, namun sayang, saat Amel selesai menyiapkan makanan malam, Amel mendapat pesan singkat dari Angga kalau ia tidak pulang karena lembur, dan takut bahaya kalau pulang dalam keadaan mengantuk. Dengan cepat Amel menghubungi Angga, agar ia bisa memastikan kesehatan Angga.
"Kak, beneran gak pulang?" tanya Amel dengan nada lembutnya
"Iya. Pekerjaanku banyak. Gak papa kan?" tanya Angga setelah menjawab pertanyaan Amel.
"Tidak apa-apa, Kak. Kalau gitu, aku anterin makan malam buat Kak Angga ya," kata Amel lagi
"Tidak perlu! Tadi aku sudah memesan makanan untuk makan malam. Kamu istirahat lebih awal aja." Ujar Angga melarang Amel mengantar makanan untuk dirinya, karena memang Angga sudah memesan makanan tadi, dan sekarang juga makanan itu belum ia sentuh. Amel menghela nafasnya kasar karena Amel takut Angga bohong, dan mengabaikan kesehatannya.
"Ya sudah, aku tutup dulu ya. Pekerjaanku banyak," kata Angga
"Ya sudah. Jangan terlalu larut ya, Kak." Ujar Amel sebelum panggilan berakhir.
Karena Angga tidak pulang, jadi terpaksa Amel makan malam sendirian. Amel pun mulai menyantap makan malamnya tanpa ada yang menemani dirinya. Baru saja Amel selesai makan, Bian sudah datang, dan meminta Amel agar tidak beranjak.
Jujur saja, Amel masih trauma akan kejadian tadi pagi, tapi Amel juga tidak mungkin menolak atau membantah perintah Bian, karena Amel yakin, Bian tidak akan tinggal diam. Jadi Amel tetap diam di kursinya, dan melayani Bian layaknya seorang menantu pada mertuanya.
"Harusnya malam ini aku melayani suamiku, bukan papa mertuaku." Gumam Amel di dalam hati sambil sesekali melirik Bian.
Bian langsung melahap makanan yang disediakan oleh Amel dengan lahap. Kalau Amel lihat dari cara makan Bian, terlihat benar-benar lapar dan tidak sedang mencari bahan untuk bermain-main seperti tadi pagi.
Amel benar-benar menemani Bian makan malam hingga selesai. Setelah Bian selesai makan malam, Amel membereskan meja makan, sedangkan Bian duduk santai di ruang tamu. Karena Amel melihat papa mertuanya masih belum pulang, Amel jadi bingung, mau di tinggal ke kamarnya ia tidak enak, kayak tidak menghargai tamu sekaligus papa mertuanya, tapi kalau di temani, Amel takut papa mertuanya melakukan hal yang sangat Amel takutkan.
Akhirnya Amel memilih duduk sebentar di sofa yang jaraknya sangat jauh dari Bian.
"Papa tidak lembur? Kak Angga kok lembur?" tanya Amel untuk mencairkan suasana agar tidak sunyi.
"Angga bilang lembur?" Bian malah balik tanya, dan dengan cepat Amel menganggukan kepalanya membenarkan.
Bian tidak lagi melanjutkan kalimatnya, bahkan tidak menjawab pertanyaan Amel kenapa Angga lembur sedangkan Bian enggak.
Setelah cukup lama mereka saling diam, Bian mulai melangkah mendekati Amel, dan bahkan menunduk hingga wajahnya berada tepat di depan wajah Amel.
"Selama kamu kosong dan hanya berdiam diri di rumah, sebaiknya kamu kerja. Kamu bisa satu atap di perusahaan dengan Angga. Aku rasa ini penawaran yang sangat baik dan menguntungkan buat kamu," ujar Bian tanpa menjauhkan wajahnya dari wajah Amel, hingga wajah keduanya terlihat seperti orang yang ingin berciuman kalau menurut pandangan orang lain atau orang yang tidak tau.
"Aku percaya Kak Angga jujur sama aku, jadi aku tidak perlu memantau kak Angga dengan alasan bekerja," ujar Amel menolak tawaran Bian, karena Amel tau maksud dari tawaran Bian hanya untuk memantau Angga.
"Se percaya itu kamu pada Angga?" tanya Bian
"Dalam sebuah hubungan, apalagi hubungan rumah tangga, itu harus ada yang namanya saling percaya. Aku harap, Papa tidak perlu ikut campur urusan rumah tanggaku." Ujar Amel tegas, dan Bian merasa kesal mendengar Amel melarang dirinya ikut campur. Bian langsung mendorong dagu Amel, hingga hidungnya sedikit bersentuhan dengan hidung Amel.
"Tidak menyesal dengan kata-katamu tadi?" tanya Bian yang langsung mendapat gelengan kepala dari Amel.
"Kalau aku salah mengambil keputusan, aku juga tidak akan menyesal," kata Amel
"Kenapa tidak menyesal?" tanya Bian
"Karena ada Papa." Jawab Amel seraya mengalungkan kedua tangannya pada leher Bian, membuat Bian kaget.
"Kamu….