CHAPTER 3

1385 Kata
Stefan sampai di sebuah tempat yang tidak terlalu ramai dengan diikuti oleh beberapa anak buahnya yang menyimpan senjata api. Pria itu turun dari dalam mobil lalu melangkah ke arah pintu kecil yang dijaga oleh dua orang pria dengan topi fedora warna abu-abu. "Aku di sini untuk bertemu Oliver." Salah satu pria dengan wajah yang memiliki luka memanjang di sekitar mata itu lantas memberi kode kepada temannya untuk memberi laporan. Stefan masih berdiri tanpa ekspresi sampai akhirnya dua orang tadi menyuruhnya masuk. "Hei, Stefan." Mata coklat Stefan melihat Oliver yang duduk di atas meja panjang. Di bawah kakinya ia bisa melihat seorang pria kulit hitam yang wajahnya penuh dengan darah dan sebelah kakinya terkena luka tembak. Pasti dia sempat mencoba kabur. "Dia orangnya?" Oliver mengangguk lalu turun dari meja. Dia menarik kerah baju anggota Elang Putih itu,"Bicara saat dia menyuruhmu bicara, oke?" "Siapa namanya, Oliver?" "Red Blood. Itu nama yang diberikan tetua Elang Putih padanya, sedangkan nama aslinya adalah Kenneth." Stefan mengangguk. Ia berjongkok di depan Kenneth lalu menatap datar pada pria yang nyaris mati itu. "Jadi apa taruhan yang mereka buat?" "I-itu tentang perebutan wilayah. Tetua kami mempertaruhkan wilayah di Amerika Utara dan... Kami kalah taruhan." Stefan mencengkram erat dagu pria lemah itu hingga Kenneth meringis kesakitan,"Atas taruhan apa?" "Di-di ruang merah." Stefan menaikkan satu alisnya. Ada pertarungan tinju dan ia bertanya-tanya siapa yang melakukan itu. "Apalagi yang kau tahu?" "Aku mendengar mereka bertaruh untuk kematian Roger Fransisco, tapi faktanya dia menang." "Siapa saja yang terlibat dalam taruhan itu?" Tanya Stefan. Dia mulai mengerti arah pembicaraan ini. "Ke-Kelompok Swedia dan be-beberapa orang dari Rusia." Mata Stefan menyipit. "Beberapa orang dari Rusia? Siapa mereka?" Stefan tahu kalau bukan hanya Viktor yang terlibat. Pasti ada beberapa dari orangnya yang diam-diam melakukan tindakan diluar batas. "A-aku mendengar a-ada namamu." Stefan mencengkram dagu pria itu dengan telunjuk dan jempolnya. Matanya berkilat marah saat mendengar jawaban itu,"Ada yang menyamar menjadi diriku?!" "Wow, Stefan, tunggu dulu. Apa maksudmu?" Oliver mulai melayangkan tatapan bingung yang sama, tapi tiba-tiba saja otaknya membuat pemikiran baru. "Stefan, tunggu! Jika memang ada yang menyamar menjadi dirimu, itu berarti-" "Aku dikambinghitamkan," Potongnya. Pria tadi menunduk karena tak bisa bersuara. Stefan menarik kembali dagunya lalu menatap penuh permusuhan,"Apa tujuan kalian meledakkan pabrik itu?" "A-aku diberi perintah! Kelompok kami menaruh dendam pada dua organisasi besar. Sa-salah satunya adalah kelompokmu." BUGH! Stefan memukul keras pipi kiri pria kulit hitam itu hingga ia tersungkur dan pingsan. "Ternyata Viktor memanfaatkan ku." "Apa maksudnya?" Tanya Oliver. "Aku adalah tetua baru kelompok ku dan bukan Viktor lagi. Orang bodoh itu memanfaatkan posisiku untuk menyatakan perang. Sialan!" Oliver mengelus dagunya,"Elang Putih meledakkan pabrik kami karena balas dendam, maka selanjutnya-" Mata Oliver kembali melebar. "Mereka pasti mengincar nyawamu, Stefan!" Pria itu menggeleng,"Kau salah, Oliver. Mereka pasti mendengar kabar tentang pernikahan ku dan pasti target berikutnya adalah Elina." Oliver semakin syok saat mendengar ucapan Stefan. Kenapa ia bisa melupakan kalau di dunia mereka, tidak etis rasanya jika langsung menyerang target mereka. Pasti ada sasaran lebih dulu sebelum masuk ke hidangan utama. "Aku harus pergi!" Stefan berniat untuk berlari keluar, tapi sebelum itu, anak buahnya masuk ke dalam markas dengan wajah memucat. "Tu-tuan Stefan... Terjadi penembakan di restoran-" "f**k!" Stefan berlari keluar lalu masuk ke dalam mobil. Dia menyalakan GPS untuk dapat segera sampai di restoran di mana Elina dan temannya bertemu. ... Tuk! Alaina meletakkan cangkir tehnya ke atas meja bundar setelah menyesap sedikit isinya. Ia datang bertepatan dengan mobil Elina yang berhenti di depan restoran. Betapa menyenangkannya saat dapat berjumpa lagi dengan kawan lama seperti saat ini. Elina menceritakan banyak hal, mulai dari kepindahannya dulu sampai rencana pernikahannya yang akan digelar satu bulan lagi. Kehidupan yang diceritakan Elina tampak seperti beban karena kerap kali wanita itu menghembuskan napas lelah. "Jadi begitulah, Al. Aku hidup seperti boneka dengan mengikuti perintah keluargaku. Sebenarnya bukan keinginan ku untuk menikah, tapi ini diwajibkan." "Aku mengerti rasanya bagaimana. Dikurung dan diperlakukan seperti boneka, ayahku juga bersikap seperti itu padaku. Saat SMA saja, aku dilarang ikut prom. Menyebalkan sekali," Balasnya. Elina tertawa kecil dan mengangguk kala tahu nasib mereka sama. Mata Alaina tak sengaja menatap ke sekeliling, ia heran, kenapa ada banyak pria dengan pakaian yang nyaris sama di tempat ini? Alaina tahu kalau Elina sudah memesan tempat ini khusus untuk acara pertemuan, tapi dia bingung saja dengan tampilan pria-pria mengerikan yang duduk di meja lain. "Oh ya, di mana calon suamimu?" "Maaf, dia berhalangan hadir. Mungkin aku akan mengenalkan dia lain kali," Jawab Elina dengan wajah suram. Wanita itu tahu kalau sesuatu pasti terjadi pada di kota ini, makanya Stefan tidak berada di sini bersama mereka. Kepala Elina menoleh ke kiri, matanya menyipit saat melihat ada orang asing yang tidak ia kenal duduk sambil mengawasi mereka berdua. Apa mereka mengawasiku? Elina menyentuh tas tangannya dengan erat. Tidak salah lagi, orang-orang itu memang sedang mengawasinya dan sialnya lagi, tidak ada satu pun pengawal yang menyadari itu. Siapa mereka?! "Alaina..." "Ya?" Elina mengeluarkan pistolnya dari dalam tas dengan hati-hati. Jantungnya berdegup kencang dan tangannya sudah bergetar. "Pegang ini..." Bisiknya. Mata Alaina mengerut bingung dan ia tersentak saat sesuatu yang dingin menyentuh lututnya. Tangan Elina bergetar di bawah meja saat menyerahkan pistol itu pada Alaina. "El-" "Ambil!" Bisiknya setengah memaksa. Alaina yang masih tidak mengerti dan mulai merasa tak aman lantas menerima pistol yang diberikan oleh Elina padanya. Beruntung karena orang-orang itu tak melihat saat Elina menyerahkan pistol dari bawah meja. Pria-pria itu berdiri dari posisi mereka— terdengar rentetan peluru yang ditembakkan, membuat Alaina menarik tubuh Elina untuk bersembunyi di bawah meja. Alaina terkesiap saat salah seorang dari mereka mengeluarkan senjata api dari balik jas nya dan ternyata orang itu menargetkan Elina. Alaina dengan cepat menodongkan senjatanya. Situasi makin menjadi rumit saat ia mengetahui kalau ada beberapa pengawal yang tadi datang bersama Elina merupakan komplotan orang jahat itu. "El, bersembunyi di belakang ku!" Elina menurut. Dengan tubuh bergetar dia bergerak untuk mendapat perlindungan di belakang tubuh Alaina walau dia tahu kalau kesempatan mereka lolos hanya satu persen. "Maafkan kami, Nona Elina. Kami menjalankan perintah." Salah seorang anak buah Stefan berkata padanya dengan nada tanpa ekspresi dan itu semakin membuat dia takut. Ia mulai berpikiran, apakah Stefan memang berencana untuk membunuhnya seperti ini? "Diam atau aku tembak!" Alaina dengan tangannya yang ikut bergetar, berusaha membuat orang kulit hitam itu mundur. Namun, usahanya hanya dihadiahi tawa yang keras. Beberapa dari mereka mulai bergerak dan Alaina mendorong tubuh Elina. "Lari!" Elina yang melihat kesempatan itu lantas berlari ke depan. Wanita itu mengarahkan moncong senjata yang dipegang Alaina tepat ke depan dagunya lalu tanpa ragu dia menekan pelatuk itu hingga pelurunya berhasil menembus kepalanya. Alaina menjerit saat bunyi berdengung itu merobek telinganya. Matanya melebar ngeri saat tanpa sengaja ia telah menembakkan peluru itu pada sahabatnya sendiri. Sebenarnya ini memang saat yang Elina tunggu-tunggu, menjadi bebas dan tidak membiarkan siapa pun berusaha untuk mengontrol dirinya lagi. "TIDAK! ELINA!" Ia meraih tubuh yang terjatuh itu lalu menyadari kalau dia mungkin telah membunuh Elina. "Oh Tuhan... Tidak... Aku... Elina!" "Target sudah berhasil dilumpuhkan, Bos." Pengawal itu berbicara lewat earphone di sebelah telinganya lalu mulai membubarkan diri. Alaina menarik kepala Elina lalu ia menepuk pipinya beberapa kali. "Ku mohon, bangun... Kenapa kau melakukan ini, El? Kenapa kau malah membunuh dirimu! Hiks... Hiks..." Telapak tangan Alaina bergerak untuk menekan luka tembak di bawah dagu Elina— walau usahanya sia-sia. Darahnya yang keluar berhasil menodai pakaian dan telapak tangannya, tapi hal itu malah terlihat sia-sia karena Alaina tidak merasakan tanda kehidupan lagi dari tubuh sahabatnya. "Oh, tuhan.. aku membunuhnya!" Lirihnya sambil berusaha untuk menekan luka itu. Mata Alaina yang basah mulai melirik ke sekitar, dia mencoba mencari pertolongan di tempat sepi ini, tapi dirinya tak menemukan apapun. Dengan pelan Alaina memindahkan tubuh Elina ke sampingnya lalu ia meraih ponsel untuk dengan cepat mencari bala bantuan. "Jangan berani menelepon polisi atau ambulans." Telinganya mendengar suara berat dari arah pintu dapur. Alaina menoleh ke belakang dan matanya melebar saat melihat pria dengan rambut yang memutih keluar dari baliknya sambil menodongkan senjata. "Jangan mencoba untuk menelepon siapa pun." "Kau gila?! Elina, dia-" "Dia mati. Kau membunuhnya, Nona Grissham." "Da-dari mana kau mengetahui nama keluarga ku?" Tanyanya ketakutan. Air mata Alaina mengumpul di pelupuk matanya dan semua ini terasa seperti mimpi. "Tidak perlu kau tahu. Jika kau masih ingin hidup, maka tetaplah berada di sini sampai Stefan menemukanmu." TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN