Bab 1. SALAH RANJANG
Matthias menggandeng pinggang wanita cantik dengan gaun berwarna abu-abu indah di sampingnya. Seorang wanita yang akan dinikahi seminggu lagi—Maherra De Luca.
Hubungan asmara mereka sudah terjalin sejak masa SMA hingga tamat kuliah. Matthias yang sudah mantap dengan pilihannya itu memutuskan melamar sang pujaan hati setelah wisuda kelulusan kuliah.
Seperti kata pepatah, lebih cepat lebih baik sehingga keduanya ingin langsung saja mengikat hubungan ke jenjang yang lebih serius.
Kini mereka tengah menghadiri acara pernikahan Zavia—anak pertama Marka yang juga telah menemukan tambatan hatinya. Setelah mengucapkan selamat kepada sang mempelai dan menyapa kedua orang tuanya yang merupakan sahabat dekat dari Ayahnya, Matthias membawa calon istrinya itu ke salah satu meja dimana teman rasa keluarganya berkumpul.
Di sana sudah duduk adik laki-lakinya Xander yang berusia dibawahnya 2 tahun lebih. Lalu, Serena—anak kedua Marka dan juga kedua kakak beradik Elang dan Zoya.
"Kirain masih mau menetap di sana. Kapan balik?" Matthias tertawa renyah melihat sosok sahabat dekatnya itu sudah datang. Ian mengulurkan tangan untuk bergive five bersama Elang.
"Males banget aslinya. Habis kalian nikah aku juga mau balik ke sana." Elang menjawab seadanya. Pria itu berpelukan hangat dengan Matthias hingga pandangannya terpaku pada wanita di samping pria itu. "Apa kabar, Heera?" tanya Elang.
"Kabar baik." Heera menyahut singkat dengan seulas senyum manis di bibir. "Kau?"
"Sama." Elang segera duduk di tempatnya begitu usai berpelukan dengan Matthias.
"Matthias, Elang!" Terdengar suara panggilan dari arah samping. Terlihat Jayden memanggil kedua pria yang sudah sangat disiapkan untuk masa depan itu. Ethan pun di sana meminta anak laki-lakinya mendekat.
Mereka yang sudah paham akan maksudnya segera berdiri. Elang berjalan terlebih dulu karena Matthias berpamitan dengan Heera.
"Aku tinggal sebentar. Mengobrollah dengan Serena dan Zoya," ucap Matthias seperti biasa lembut. Tak lupa pria itu mencium bibir Heera sebelum akhirnya beranjak.
Yang sudah terbiasa melihat kemesraan mereka hanya diam saja. Pasangan itu memang tidak segan menunjukkan cintanya di depan umum.
"Harus banget ya kayak gitu?" Zoya tiba-tiba mencibir dengan raut wajah muak. Entah, ia dari dulu tidak suka sekali dengan pasangan itu.
"Kenapa Zoya?" Heera bertanya lembut. Tak mengerti kenapa Zoya berkata seperti itu.
"Memangnya aku kenapa?" Zoya menjawab acuh.
Heera tersenyum tipis, memaklumi sifat Zoya yang menurutnya wajar karena usianya yang masih sangat muda. Anak itu baru lulus SMA dan akan memasuki Universitas pada ajaran tahun ini. Hanya saja terkadang Heera heran, dari semua anggota keluarga itu hanya Zoya yang terang-terangan menunjukkan sikap ketidaksukaan. Padahal Heera tidak pernah punya masalah khusus dengan wanita itu.
Setelah Matthias kembali, pria itu mengajak Heera bergabung untuk berfoto bersama keluarga besar. Sementara Elang menolak dan memilih duduk di mejanya sendirian. Pria itu tak terlalu suka berfoto.
"Matt, aku akan ke toilet sebentar," ujar Heera setelah sesi foto usai.
"Biar aku antar." Dengan lembut Matthias ingin menjaga wanita itu meski hanya ke toilet.
"Tidak usah, cuma ke toilet aja. Sekalian aku ngabarin Mama kalau akan menginap," sahut Heera menolak.
"Baiklah, hati-hati." Matthias melepas Heera dan melihat sampai wanita itu lenyap dari pandangan. Setelah itu ia kembali menemui beberapa kolega bisnisnya karena kini ia sudah diberikan kepercayaan penuh untuk mengelola perusaahan sang Ayah.
Sementara Elang masih duduk tenang di mejanya, menegak minuman yang baru saja diambil. Pria itu seperti sedang mengendalikan dirinya karena sebuah rasa yang tak karu-karuan. Bangsatnya 6 tahun masih belum bisa membuatnya lupa akan perasaan itu.
Setelah beberapa teguk minum, Elang merasa kepalanya pusing. Ia mengernyit bingung, padahal ia sangat tahan dengan alkohol. Tetapi kenapa sekarang ia sangat pusing.
Kepala yang terasa sangat berat membuat Elang berpamitan terlebih dulu ke kamarnya. Pandangan mulai kabur hingga ia harus berpegangan pada tembok. Ketika hendak masuk ke dalam lift, Elang hampir saja terhuyung namun masih bisa bertahan karena berpegangan.
"Sial akh!" Elang mengumpat lirih. Kepalanya benar-benar pusing sekali hingga seperti ingin pingsan saat itu juga.
"Elang?" Suara lembut dari arah belakang membuat pria itu menoleh sedikit.
"Ada apa denganmu?" Heera bertanya lembut. Cukup khawatir melihat wajah Elang yang memerah dan tubuh yang hampir ambruk.
Elang menggeleng pelan tanpa ada niat untuk menjawab. Ia kembali menekan tombol lift karena ingin pergi ke kamar.
"Aku bantu." Secara impulsif Heera segera menahan pinggang Elang dan menarik tangannya agar berpegangan pada bahunya. Bukan niat menggoda, tetapi Heera merasa Elang memang tidak baik-baik saja untuk saat ini.
Elang pun tak banyak protes, kepalanya sangat pusing sekarang ini.
Heera cukup kewalahan saat membantu Elang berjalan. Beberapa kali mereka hampir jatuh karena tubuh yang tidak seimbang. Setelah menimbang-nimbang, Heera akhirnya membawa Elang ke kamarnya karena ia hanya memegang kunci kamarnya sendiri.
"Istirahatlah disini dulu, aku akan mengabari yang lain," ucap Heera dengan tertatih-tatih membantu Elang agar bisa rebah di ranjang.
Namun, karena sudah terlalu lelah Heera malah tak kuat menyangka tubuh Elang dan akhirnya keduanya ambruk di ranjang dengan Elang yang menimpa tubuhnya.
"Elang!"
***
Matthias beberapa kali menghubungi nomor Heera namun tidak diangkat sama sekali. Sejak semalam ia mencari wanita itu karena setelah berpamitan ke toilet Heera tidak kembali. Ingin menyusul ke kamarnya merasa tidak enak karena takut menganggu. Ia berpikir positif, mungkin Heera sudah tidur. Ia pun akhirnya kembali ke pesta dan malah tepar di meja bersama Xander karena teralu banyak minum.
Keesokan paginya, barulah Matthias pergi ke kamar wanita itu untuk mengecek keadaannya. Matthias menelpon Heera namun tidak diangkat sama sekali.
"Apa masih tidur?" gumam Matthias sambil sesekali memijit kepalanya yang juga masih pusing sisa minum semalam.
Di dalam sana, Heera terbangun dan menerasakan nyeri di bahunya. Ia membuka matanya pelan tetapi kaget saat mendapati wajah Elang tepat di depannya.
"Elang!" Heera berseru dan reflek menjauhkan tubuhnya. Buru-buru ia turun dari ranjang setelah mendorong tubuh Elang menjauh.
Heera kelimpungan, melihat ponsel dan beberapa panggilan dari Matthias. Sesekali Heera berdecak pelan, sesegera mungkin ia mengambil sepatunya lalu pergi dari kamar itu. Tidak ingin terjadi salah paham jika Matthias atau keluarga lain tahu ia tidak sengaja tidur dengan Elang.
Membuka pintu dengan tergesa tetapi kembali dibuat syok saat melihat sosok Matthias berdiri di depan sana.
"Matthias!" Heera merasakan jantungnya berdegup sangat kencang saat ini. Di dalam sana ada Elang dan kini ia berhadapan dengan calon suaminya.
"Kenapa kaget begitu?" Matthias memiringkan kepalanya. Senyuman hangat masih tersemat pada bibir pria itu.
"Aku hanya em... "
Matthias menarik lembut pinggang Heera lalu memeluknya hangat. "Dari semalam aku mencarimu, kenapa tidak mengangkat telepon, hm?" bisik Matthias, mengecup lembut kepala Heera.
"Aku ...." Heera semakin kebingungan, baru kali ini rasanya ia tidak nyaman dipeluk oleh Matthias. Bukannya apa, tapi takut jika Matthias akan masuk ke dalam kamar.
"Aku merindukanmu." Matthias kembali berbisik, dengan lembut mengusap pipi Heera agar mendongak.
Heera sudah paham maksud Matthias, sebelum ia menolak Matthias mendorong tubuhnya masuk ke dalam kamar. Menunduk mengecup lembut bibirnya namun ekor matanya menangkap bayangan yang luar biasa mengejutkan. Di mana sahabat dekatnya berbaring di ranjang calon istrinya.
"Elang?"
Bersambung~