Bab 6. Selamat Datang, Heera!

1211 Kata
Keesokan paginya, Elang dan Heera turun dari kamar menuju restoran dimana keluarga besar berada. Setelah ini mungkin mereka akan kembali ke rumah utama dan membicarakan rencana kedepannya seperti apa. Jujur Elang sendiri tidak planning apa pun karena kedatangannya ke Indonesia murni ingin datang ke pernikahan Zavia anak Omnya Marka sekaligus pernikahan sahabat paling dekatnya Matthias. Sayangnya, dalam satu malam saja nasib hidupnya sudah berubah dratis. Tiba-tiba menjadi pelaku pemerkosaan dan terpaksa menikah dengan Heera. Meskipun cinta, Elang jelas bukan pria yang mudah mempertaruhkan segalanya. Tidak pernah sedikit pun terlintas dalam benaknya ingin merusak persahabatannya dengan Matthias. Saat ini Elang benar-benar merasa bersalah pada sahabat karibnya itu. Keluarga besarnya sudah berkumpul di sana. Kakek Harris yang menjadi tetua terlihat mengobrol dengan ketiga pria yang sudah dianggap layaknya anak sendiri itu. Siapa lagi kalau bukan mantan trio Bastard pada masanya. Hubungan mereka benar-benar sangat dekat layaknya keluarga. Di sana juga ada para istri dan anak-anak yang mengobrol santai, kecuali Matthias yang berpamitan pergi sejak semalam. "Wah kalian sudah bangun, ayo duduk di sini. Sarapannya baru dimulai." Nindy menjadi orang pertama yang menyapa, memberikan gestur agar Elang membawa istrinya bergabung. Elang mengikuti tanpa banyak bicara, begitu pun Heera yang duduk di samping Elang. Ia sudah sering bertemu keluarga besar itu saat dulu berpacaran dengan Matthias, jadi sudah tidak ada lagi adegan perkenalan. Saat Heera duduk, tiba-tiba Zoya langsung bangkit dari duduknya dengan gerakan kasar membuat semua pasang mata menatapnya. "Aku mau makan diluar bersama Kak Xander," kata Zoya singkat, melirik Xander dengan tatapan berkomplot. Xander mengerutkan dahinya karena tak mengerti. Hal itu membuat Serena menendang kakinya bersamaan wanita itu juga bangkit. "Oh iya, Xander janji akan mengajak kami pergi hari ini. Ayo berangkat sekarang aja," ujar Serena ikut-ikutan. Wanita itu pun rasanya muak melihat drama lagi. Xander yang dipelototi dua wanita itu mendengus malas. Dengan sopan ia bangkit, tersenyum kaku ke arah Papanya yang meliriknya tajam. "Permisi mengawal dua princess ya, Om Ethan dan Om Marka," seloroh Xander dengan seulas senyum manis, persis sekali seperti Papanya Jayden. Ethan menyeringai, ia tahu ketiga anak muda itu memang sengaja menghindari Heera. Ia pun sebenarnya muak, tapi sejak tadi Nindy terus menggenggam tangannya sebagai tanda jika tidak boleh macam-macam. Tentu saja ia harus menuruti perintah ratunya karena kenyamanan hidupnya ada pada wanita itu. Heera menundukkan wajah, menyadari jika saat ini semua keluarga itu membencinya. "Zoya memang seperti itu 'kan Heera? Tidak perlu diambil hati, bagaimana? Setelah ini mau tinggal di rumah utama atau—" "Aku tetap tinggal sama Ayah dan Ibu," sahut Elang segera. Mana mungkin ia tinggal bersama Heera terpisah dengan orang tuanya. Sudah 6 tahun ia tidak berkumpul dengan mereka. Heera langsung memandang Elang, ia tadinya berpikir Elang akan mengajaknya tinggal terpisah saja. Membayangkan tinggal bersama keluarga yang ada gadis arogan dengan mulut sadis itu, kenapa rasanya Heera tidak rela? "Dimana saja asal kalian berdua nyaman," tutur Nindy tidak mempermasalahkan sama sekali. Selanjutnya, obrolan hanya diisi dengan obrolan para orang tua. Elang hanya mendengarkan sesekali. Intinya besok Ayahnya akan mengenalkan dirinya ke perusahaan sebagai pengganti pria itu. Sementara Ayahnya akan pensiun dini seperti yang Jayden lakukan setelah menyerahkan tampuk perusahaan kepada Matthias. Sedangkan Xander, sejauh ini masih mengendalikan bisnis bawah tanah. Tetapi hanya sesekali karena sekarang sistem mereka sudah lebih canggih. "Setelah ini pulanglah, persiapkan dirimu sebaik mungkin. Ayah percaya kau bisa," tutur Ethan menepuk bahu putranya lembut. Elang lagi-lagi hanya mengangguk sebagai jawaban. Mungkin memang sudah waktunya ia belajar mengenal bisnis karena kembali ke Amerika pun tidak mungkin. Sudah sangat lama Kakeknya itu menunggu dirinya agar bisa bergabung ke perusahaan. *** Heera akhirnya memasuki kamar luas Elang untuk pertama kalinya. d******i cat berwarna abu-abu dan hitam yang menjadi pilihan pria itu. Sama seperti kamar laki-laki pada umumnya, Elang tidak mempunyai banyak barang. Semua baju dan beberapa keperluannya ada di walk in closet. Sedangkan bagian ranjang yang king itu menghadap langsung ke jendela besar kamar yang menunjukkan pemandangan lapangan golf di samping rumah. Heera baru saja meletakkan kopernya di samping ranjang ketika tiba-tiba saja tangannya ditarik oleh Elang. "Elang!" serunya kaget. "Bagaimana? Apakah kau sudah puas menjadi istriku?" Elang bertanya dengan wajah sangat sinis. Heera memandangnya sayu. "Apa kau pikir aku mau di posisi ini?" Elang mendengus malas, menjauhkan tubuhnya dengan santai. Pria itu kemudian duduk di ranjangnya, membuka kemeja yang dikenakan hingga perutnya terpampang. Heera yang melihat itu buru-buru menundukkan wajah. Masih terlalu gugup jika seorang pria seperti itu meski sebelumnya pernah melihat Matthias dengan posisi yang hampir sama. "Kalau kau takut, aku akan memaksamu lagi. Tidurlah di tempat yang tidak terlihat mataku," sergah Elang pelan namun begitu dingin. Heera mengangguk cepat-cepat. "Aku akan tidur di lantai saja. Aku tidak akan mengganggumu," kata Heera. "Mengganggu?" Elang tertawa kecil, ucapan Heera itu seperti menggelitik jiwanya. Masih dengan bertelanjang d**a, Elang mendekati Heera. Pria itu menarik dagu Heera hingga wanita itu mendongak. "Kau bukan hanya menggangguku, tapi kau telah menghancurkan hidupku, Heera!" Elang mendesis lambat-lambat, memperingatkan Heera dengan mata tajam menusuk. "Bagaimana denganku?" Heera balas bertanya, tanpa sadar matanya sudah berkaca-kaca. "Aku juga telah kau rusak 'kan?" "Aku atau kau yang telah merusakku?" Heera menarik napas panjang, lalu dihembuskan perlahan. Wajah lembutnya itu membuat Elang terpaku untuk sepersekian detik. Namun, saat ingat jika wanita ini telah menjadi penyebab usahanya 6 tahun ini sia-sia dan telah menghancurkan persahabatannya dengan Matthias, emosinya muncul kembali. Dengan gerakan kasar, Elang mendorong Heera lalu merampas koper yang dibawa wanita itu. "Elang, apa yang kau lakukan?" Heera bertanya bingung sekaligus terkejut. "Aku tidak suka wanita yang lemah. Anggap saja ini trainee saat kau ingin menjadi istriku. Lagipula aku sudah menjadi antagonis dalam ceritamu bukan? Untuk apa jahat jika hanya setengah?" Elang menyeringai, seulas senyum penuh arti terbit pada wajahnya yang dingin. Heera semakin ketakutan, ia menahan koper itu namun tenaganya jelas kalah kuat. Elang membawa kopernya ke dalam kamar mandi, dan tanpa diduga pria itu melemparnya ke dalam bath up dan mengisinya dengan air. "Elang!" Heera berteriak kaget, ia mencoba menyelamatkan koper itu karena bajunya ada di sana. Elang membiarkannya saja, namun ketika Heera menyentuh kopernya ia dengan sengaja menyemprotkan air kepada wanita itu dengan menggunakan shower. "Akh!" Heera kembali berteriak saat hawa dingin ia rasakan. Tanpa sadar ia sudah menangis karena perlakukan Elang ini. "Elang, hentikan. Aku mohon ... dingin." Heera menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. Bibirnya gemetar karena air itu benar-benar dingin sekali. Elang tersenyum sangat manis dan terus menyemprot air pada tubuh Heera. Saat melihat wanita itu menangis ia mendekat, meraih pipinya lembut. "Sebahagia itu kau Heera menjadi istriku? Kau sampai menangis," ucap Elang dengan wajah kasihan dibuat-buat. "Maafkan aku, Elang," lirih Heera semakin menangis sesenggukan. Air matanya tersapu begitu saja. "Apa, Heera? Maaf?" Elang tersenyum tipis. Diraihnya pipi Heera hingga menatapnya lebih intens. "Seharusnya aku yang minta maaf karena telah memberikanmu perlakuan kurang menyenangkan. Sebentar, aku akan mengambilkan handuk, ya." Elang mematikan shower yang tadi masih menyala. Mengambil handuk lalu memberikannya pad Heera. Heera hendak menerimanya, tetapi saat tangannya ingin menyentuh handuk itu, Elang sengaja menjatuhkannya ke lantai hingga ikut basah. Mata sayu Heera memandang Elang kembali. "Selamat datang, di rumahku, Heera. Semoga kau menikmati waktumu mulai detik ini," kata Elang menarik sudut bibirnya, wajahnya jauh lebih dingin tak tertebak sama sekali. Pria itu kemudian beranjak begitu saja tanpa peduli Heera yang menggigil kedinginan. "Apa kau tidak ingin bertanya ... kenapa aku memilih jalan ini, Elang?" Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN