Semalaman Heera tertidur meringkuk di samping ranjang dengan kimono handuk yang kering. Semua bajunya basah jadi membuat ia tidak punya pakaian ganti satu pun. Tadinya, Heera pikir akan ada sedikit rasa kasihan saat ia akan tidur di lantai. Ternyata Heera salah, Elang tetap tidur nyaman di ranjangnya tanpa terusik akan kehadiran Heera.
Ketika terbangun, hari sudah terang benderang. Heera merasakan seluruh tubuhnya sakit semua dan terasa hangat.
Jelas saja semalaman ia tidur tanpa menggunakan selimut dan di lantai begitu saja.
Hari pertamanya menjadi istri Elang ternyata benar-benar menyedihkan. Heera ingin menangis namun ia ingat jika ini adalah keputusannya sendiri. Meski sakit ia berusaha untuk tetap terlihat biasa saja.
"Terlalu dini untuk menyerah, aku pasti bisa. Semangat Heera!" Heera tersenyum menyemangati dirinya sendiri. Bangkit dari posisinya, bermaksud mengemasi barang-barangnya.
Ternyata Elang sudah bangun dari sudah siap. Pria itu baru keluar dari walk in closet dengan pakaian yang sangat rapi. Setelan jas yang membungkus tubuhnya itu membuat pesona Elang semakin menjadi-jadi. Heera tersenyum lembut, pemandangan indah seperti ini akan dilihat setiap hari.
"Kau sudah siap ternyata. Maaf aku bangun terlambat. Dasimu ...." Heera mendekati Elang, sedikit menjinjit untuk membenarkan dasi Elang yang masih belum rapi.
Elang diam saja tanpa ada niat untuk membuka mulut. Memperhatikan Heera yang tampak sangat bersemangat itu. Ia ingat wanita ini dulu sering uring-uringan saat bertemu dengannya, tiba-tiba saja kini menjadi sangat manis.
"Aku baru ingat, kata Ayahmu hari ini kau akan dikenalkan di perusahaan. Selamat ya, Elang. Semoga kedepannya akan dipermudah," ujar Heera setelah selesai merapikan dasi Elang. Wanita itu mengulas senyum manis yang mata sedap memandang.
Elang ingat sekali kenapa dulu bisa mencintai wanita ini. Sikap lembutnya itu persis sekali seperti Ibunya. Ketulusannya, sikap pantang menyerahnya. Dan Heera adalah satu-satunya wanita yang berani menentang dirinya terang-terangan. Tidak seperti para wanita yang sering menggoda dengan balutan nada rayuan menjijikan.
Sayang sekali, Heera telah masuk ke dalam hidupnya dengan cara yang salah.
"Siapa yang menyuruhmu melakukan ini?" Elang menegur dengan nada dingin.
"Melakukan apa?" Heera mengerutkan dahinya tak mengerti.
Elang masih dengan wajah dinginnya melepaskan dasi yang baru saja dibenarkan oleh Heera. Tanpa perasaan ia membuang dasi itu dan mengambil dasi yang baru lalu memakainya.
"Jangan menyentuhku jika bukan aku yang meminta. Kau itu hanya sekedar wanita yang memaksa masuk ke dalam hidupku, jangan berharap lebih, Maheera!" ujar Elang sarkas. Ia beranjak untuk keluar dari kamar namun Heera menahan tangannya.
Heera mengangkat pandangannya pada sosok pria tinggi yang ada di sampingnya. "Aku harus bagaimana, Elang?"
Elang menarik tangannya dengan seulas senyum sinis. Diraihnya lengan wanita itu hingga keduanya berhadapan.
"Kau bertanya harus bagaimana? Mudah saja, berbaringlah di ranjang, kita buktikan apakah kita benar-benar sudah melakukannya?" Elang menyeringai, mendesak Heera ke tepian ranjang dan menindihnya.
"Elang!" Heera berteriak ketakutan, menahan d**a Elang agar menjauh.
"Memuakkan!" Elang melepaskan Heera begitu saja lalu menjauhkan dirinya. "Ganti bajumu dan turunlah. Jangan buat Ibuku berpikir yang tidak-tidak. Behentilah menjadi wanita cengeng!" titah Elang tidak ada ramah-ramahnya sama sekali.
Heera mengangguk cepat tanpa banyak bicara. Tidak ingin membuat Elang semakin marah dengan sikap lambatnya. Ia harus menahan rasa sakit ini karena yakin seiring berjalannya waktu Elang pasti akan berubah.
Setelah membersihkan diri, Heera memakai gaun yang ada di ranjang. Sepertinya Elang yang telah memberikannya karena semua bajunya basah. Ia merapikan rambutnya dan menambah sedikit lipstik lalu pergi turun ke bawah.
Di ruang makan sudah berkumpul keluarga kecil Ethan. Pria itu menikmati secangkir macha latte dengan membaca berita di tabletnya. Elang duduk di samping adiknya dan mengobrol hangat. Nindy sibuk menyiapkan lauk-pauk agar semua makan sesuai selera masing-masing.
Mereka hanya tinggal berempat dan para pengawal. Harris memilih tinggal di rumahnya sedangkan Davin dan istrinya tinggal di desa sambil mengurus rumah sakit Emerald.
"Nyonya, duduklah di tempatmu. Aku akan marah kalau kau tidak menurut," tegur Ethan menyadari jika istrinya itu sejak tadi sibuk sekali. Dirinya bahkan belum sempat dibelai.
Nindy tersenyum tipis, meletakkan satu lauk di meja lalu mengelus bahu suaminya lembut. "Aku menyiapkan banyak makanan untuk menantu kita. Tunggu dia turun ya, baru makan," ujar Nindy.
Ethan mengernyit ketika mendengar perkataan istrinya. "Bukankah ini terlalu berlebihan? Kenapa kau sangat baik padanya?" dengus Ethan mulai tidak mood rasanya.
"Heera 'kan istrinya Elang. Jadi Heera itu anak kita juga, Ethan."
"Istri karena jebakan," celetuk Ethan malas.
"Bagaimana pun prosesnya, Heera itu tetap menantu kita." Nindy menyahut lembut meski nada suaranya tegas. "Kau punya anak perempuan, bayangkan jika dia juga diperlakukan buruk di rumah mertuanya kelak?"
"Siapa yang berani menyakiti anakku? Mau setoran nyawa?" sergah Ethan sombong.
Nindy menipiskan bibirnya, sifat angkuh suaminya ini memang benar-benar sudah mendarah daging dan tak bisa dihilangkan.
"Yang jelas aku melaksanakan tugasku sebagai seorang orang tua. Untuk Elang, sekarang Heera sudah menjadi istrimu. Jika memang belum mencintai dia, setidaknya jangan menyakiti dia. Kita tidak pernah tahu apa yang Heera lalui, cukup jalanankan saja peranmu sebagai suami. Sudah itu saja pesan Ibu," tutur Nindy menasehati. "Buat Zoya juga, jangan terlalu membenci Kakak iparmu. Kalau memang tidak suka simpan saja dalam hati, Ibu nggak suka yang kayak kemarin itu. Ibu ada ngajarin kayak gitu?" Kali ini pandangan Nindy beralih pada putrinya.
Zoya hanya menyahut dengan gumamam malas. Bukan bermaksud tidak sopan, tetapi dirinya memang sangat tidak bisa jika harus berbasa-basi apalagi berpura-pura baik.
"Ah, hatimu terlalu murni, Nyonya. Hari ini aku belum menyatakannya 'kan?" Ethan tersenyum lembut, meraih tangan Istrinya dengan lembut. "Terima kasih ya, aku mencintaimu, " ucap Ethan.
Nindy tersenyum malu dan memukul tangan Ethan. "Udah tua, nggak malu sama anak-anak?" cibirnya dikesal-kesalkan. Selama apa pun hubungannya dengan Ethan, ia masih sering salah tingkah.
"Loh, bilang cinta kok malu. Gimana sih ini Ibu, Ayah 'kan sayang," seloroh Ethan semakin senang menggoda.
Elang dan Zoya tersenyum manis melihat kedua orang tuanya itu. Definisi umur hanyalah angka itu sepertinya benar-benar berlaku pada Ethan. Pasalnya pria yang umurnya sudah setengah abad itu masih kerap menunjukkan cintanya tanpa kenal malu. Rasa cinta yang sama yang tak lekang oleh waktu.
Beberapa saat kemudian Heera turun. Wanita itu disambut hangat oleh Nindy meski ketiga orang lainnya begitu dingin. Tetapi hal itu sudah cukup baik karena Zoya tidak melontarkan kata-kata pedas dan bersikap menjengkelkan. Nindy benar-benar memposisikan dirinya sebagai seorang ibu yang bijak.
Ketika selesai sarapan Elang mendekati Ibunya, anak laki-laki yang dulunya sangat nakal itu tak pernah lupa untuk meminta doa kepada Ibunya.
"Aku sangat gugup, Ibu, " kata Elang.
"Tenang saja, Ayahmu akan mengurus semua nanti. Usahakan saja sesuai kemampuanmu," tutur Nindy menepuk bahu Elang lembut.
"Heera," panggil Nindy tiba-tiba.
"Ya, Ibu?" Heera ikut mendekat karena dipanggil.
"Benarkan dasinya Elang, itu tugasmu sekarang," kata Nindy mengulas senyum simpul sebelum pergi mengurus suaminya.
Heera terkejut akan perintah itu, ia menatap Elang yang menatapnya sangat dingin. Tadi pun ia sudah melakukannya, tetapi Elang malah marah dan membuang dasinya.
"Kau mau menunggu aku terlambat?" tegur Elang masih begitu dingin.
"Ah iya, sebentar." Heera tersentak dan segera melakukan tugasnya. Meraih dasi Elang dengan kaki menjinjit karena tubuhnya yang mungil.
Elang menyadari hal itu, ia reflek menundukkan tubuhnya agar Heera bisa mudah melakukannya. Saat menunduk bibirnya tak sengaja menyentuh dahi Heera membuat ia seperti mencium wanita itu.
Heera sendiri kaget akan hal itu, mengangkat pandang hingga mata keduanya beradu. Sepersekian detik Heera tersadar dan menyelesaikan tugasnya memasang dasi. Ia menyadari meksipun Elang diam saja jantungnya sudah berdetak tak karuan.
"Sudah," cicit Heera.
Elang tidak berbicara lagi, ia langsung menegakkan tubuhnya dan hendak berlalu. Tetapi Heera menahan tangannya lagi.
"Ehm, hari ini aku akan pergi keluar sebentar mengambil barang-barangku. Aku—"
"Lakukan sesukamu," sergah Elang acuh. Mendengar saja tidak yang dikatakan oleh Heera. Memilih segera pergi karena malas berdrama lagi.
Heera mengulum bibirnya, ia harus membiasakan sikap suaminya yang dingin itu. Setidaknya ia masih memiliki Nindy yang akan membantunya dekat dengan Elang nanti.
Bersambung~