Bab 8. Canggung

1231 Kata
Elang tiba di kantor utama untuk pertama kalinya. Namanya itu sudah digadang-gadang akan mewarisi perusahaan milik Ethan yang kini semakin berkembang sangat pesat. Ditambah nama Kakek Harris yang masih wara-wiri di dunia politik membuat perusahaan itu semakin dikenal oleh masyarakat. Elang berjalan di samping Ayahnya dengan langkah mantap. Setelah ini ia akan bertemu para petinggi perusahaan dan para pemilik saham tetap sebagai pengenalan pemimpin baru. Ketika hendak masuk ke dalam lift, bertepatan dengan Jayden yang baru saja datang. Pria itu bersama Matthias yang berjalan di sampingnya. Tentu saja Jayden hadir karena pria itu memiliki saham 30% di perusahaan itu. "Jay, aku pikir kau tidak datang?" Ethan menyambut sahabatnya itu dengan pelukan hangat. "Aku masih perlu mendampingi Matthias." Jayden melirik ke arah sampingnya. "Setelah ini barulah kita pensiun, gimana Elang? Sudah siap?" seloroh Jayden. "Siap, Om." Elang mengangguk singkat. Pria itu menyempatkan melihat wajah Matthias yang lebih dingin dari dirinya. Ingin menyapa pun rasanya segan. "Aku masuk dulu, Om Ethan." Matthias memilih berlalu begitu saja tanpa menunggu Papanya yang masih mengobrol dengan Ethan. Tak ingin terlalu lama memandang wajah pengkhianat seperti Elang. Jayden dan Ethan menyadari kecanggungan itu. Mereka mengerti pasti rasanya memang sangat sakit saat dua sahabat dekat dari kecil tiba-tiba asing karena seorang wanita. Ini justru lebih baik karena Matthias dan Elang tidak saling membunuh. Kalau jaman mereka, salah satu diantaranya pasti mati. "Tidak apa-apa, semua butuh waktu. Ayo masuk, tunjukkan kalau kau benar-benar anak Ayah," ujar Ethan merengkuh bahu Elang untuk sekedar mengatakan jika ia akan selalu bersama pria itu. "Iya, Ayah." Elang mencoba mengesampingkan perasaan tidak nyaman itu karena berhadapan dengan Matthias. Selama mereka mengenal, tak pernah sedikit pun ada persaingan antara keduanya. Ia selalu mengakui Matthias lebih unggul dari segi apa pun dari dirinya. Baik segi penampilan, kecerdasan dan juga finansial. Ia pun tidak pernah merasa iri apalagi tersaingi karena Ayahnya sudah sering mengatakan jika semua hal yang ada sudah sesuai porsi masing-masing. Matthias pun sama saja. Baginya Elang itu teman terdekat sekaligus saudara. Bahkan rasanya Matthias jauh lebih dekat dengan Elang daripada adiknya Xander. Sayang, hubungan hangat itu rusak karena seorang wanita. Selepas pengenalan Elang kepada semua pemegang saham, Matthias langsung berpamitan pulang tanpa basa-basi. Ia hanya berpamitan kepada Papanya agar tidak bingung mencarinya. Seharusnya Matthias pergi ke kantor, tetapi hari itu ia memutuskan pulang ke rumah saja. Sedang tidak ingin melakukan apa pun untuk saat ini. "Matt, kenapa kembali lagi? Apa ada yang tertinggal?" Kenanga yang tengah menyiram bunga kaget melihat kedatangan putranya di jam sibuk seperti ini. "Lagi nggak enak badan, Ma." Matthias menyahut singkat. Pria itu mendekati Kenanga lalu mencium keningnya sebagai bentuk salam. "Aku mau istirahat dulu, Mama nggak usah khawatirin aku," ujar Matthias dengan senyum hangat. Kenanga membalas senyum itu dan mengusap lengan putranya. "Mama tahu kau hanya menghibur Mama, kecewa itu wajar karena lamanya hubungan kalian. Mama cuma berharap hubunganmu dengan Elang bisa membaik lagi nantinya," tutur Kenanga. "Untuk itu aku tidak berjanji." Matthias tersenyum dibuat-buat. "Aku masuk dulu." Sebelum Kenanga berbicara lagi Matthias segera beranjak. Tetapi ia tertegun melihat mobil Ferrari hitam terparkir di depan rumah. "Ada tamu, Ma?" tanya Matthias. "Zoya sama Serena datang, lagi di paviliun kayaknya." Matthias mengernyitkan dahinya mendengar nama kedua wanita itu. Memang anak perempuan dari kedua sahabat Papanya itu sangat dekat dengan Xander. Entah apa yang sering mereka rumpikan sampai lebih memilih Xander sebagai teman untuk melakukan apa pun. Mungkin karena Adiknya itu sering mengalah dan mudah diajak kompromi. Di paviliun belakang, Serena tengah berbaring di paha Xander sambil menangis. Wanita itu mengatakan baru saja putus cinta dengan kekasihnya. Sedangkan Zoya sebagai pendengar setia menikmati apel dengan santai. "Laki-laki itu sama saja, kenapa mereka suka berselingkuh. Huaaa ... Xander! Kau bilang wanita cantik semua masalah hidupnya teratasi? Kenapa aku diselingkuhi lagi?" Serena memukul perut Xander, mencubit tangannya dan sesekali mengusap air matanya pada kemeja pria itu. "Memang apa yang salah? Pacarmu saja yang tidak tau untung. Serena, bangunlah." Xander mendesis pelan, menarik tangan Serena agar tidak berbaring di pahanya. Kacau semua yang ada. Serena semakin kesal, ia bangkit dengan wajah bersungut-sungut. "Pokoknya besok kau harus mendatangi dia. Aku mau dia menangis meminta balikan," rengek Serena. "Aku lagi, aku lagi. Kalian ini bisa tidak jangan melibatkan aku. Nanti kalau ada masalah, aku lagi yang disuruh tanggung jawab sama Ayah kalian. Menyebalkan!" gerutu Xander sebal sendiri karena sering dijadikan sasaran untuk menutupi ulah kedua wanita ini. "Kalau nggak mau aku laporin Papa!" ancam Serena. Xander mendengus malas, pandangannya beralih kepada Zoya yang masih santai memakan apelnya. "Kau mau apa lagi adik kecil? Jangan mengajakku uji nyali," tukas Xander. Zoya tersenyum manis, ia bangkit lalu mengambil pistol di dalam tas yang dibawa. "Ajari aku menembak," kata Zoya. "Astaga Zoy!" Xander mengelus dadanya. "Kalau ini bukan hanya dimarahin sama Om Ethan aku, bisa dibunuh beneran. Nggak usah aneh-aneh," omel Xander. "Ayolah, Kak. Aku sudah minta ajarin Kak Elang, tapi dia tidak mau. Ayolah, katanya kau Kakakku," rayu Zoya memasang wajah imut ingin dikasihani. "Tidak!" Xander menolak dengan tegas. "Aku—" "Apa? Mau laporin Om Ethan? Laporin aja sana," tukas Xander sebelum Zoya mengucapkan apa pun. "Kalau begini caranya kalian benar-benar akan membunuh aku. Tidak, tidak, aku tidak mau." Xander menolak tegas kali ini. Menembak bukan perkara mudah, apalagi Zoya masih belum legal umurnya. Bisa-bisa ia dimarahin Ethan habis-habisan. Belum Papanya juga. "Kak, ayolah!" Zoya ingin merengek tapi Xander pura-pura tidak melihat. "Menyebalkan, aku akan meminta bantuan Om Jayden saja nanti. Kakak nyebelin," gerutu Zoya ngambek, beranjak dari tempatnya begitu saja. "Zoy!" Xander memanggil-manggil wanita itu tetapi tidak digubris sama sekali. "Kau mau minta apa?" Pandangan Xander beralih ke Serena lagi. "Mau ngelabrak orangnya sekarang?" tanya pria itu. "Gas!" * Zoya mengumpat-umpat kesal meninggalkan paviliun tempat biasanya mereka berkumpul. Padahal ia sudah siap sedia ingin belajar menembak, tapi Xander malah menolak mengajarinya. Ia sengaja datang ke sini gara-gara Xander adalah orang yang paling tidak bisa menolak permintaannya. Tetapi ia salah besar. "Awas aja, aku tidak akan mau berbicara padanya lagi," gerutu Zoya sepanjang langkah kakinya. Ketika ada di halaman belakang rumah, Zoya melihat beberapa penjaga sedang melakukan latihan menembak. Hal itu sudah wajar mereka lakukan sebagai latihan dasar. Zoya menyeringai, ia mendekat ke arah mereka dan meminta hal yang serupa. "Nona Zoya, lebih baik jangan. Ini sangat berbahaya," ujar salah seorang penjaga takut. "Kalau kalian tidak mau, aku bilangin Om Jayden," ancam Zoya. "Arahkan saja harus seperti apa? Mana yang ada pelurunya?" Dengan keras kepala Zoya meminta pengawal memberikan pistol yang sudah diisi dengan peluru. Dengan ragu pengawal itu memberikannya, mereka mengarahkan Zoya sesuai dengan aturan menembak dengan benar. Wanita itu pun mengikutinya, menatap ke arah pohon-pohon yang sudah siapkan sebagai sasaran tembakan. Zoya menarik pelatuk pistolnya, tapi sayang tembakannya meleset. "Akh sial! Kenapa bisa meleset? Arahkan dengan benar!" seru Zoya memaki pengawal itu. Zoya kembali mengulangi hal yang sama. Menembak beberapa kali, tetapi meleset semua. Hal itu membuat Zoya emosi. Ia meminta lagi peluru kepada pengawal itu karena belum puas jika belum berhasil. "Kali ini awas saja gagal," ucapnya geram sendiri. Ia mengarahkan pistol itu ke arah sasarannya, menutup satu matanya untuk meng ancang-ancang. Sebelum Zoya menarik pistolnya, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang hangat pada punggungnya. Disusul sebuah tangan kekar yang menyentuh lembut tangannya, lalu menarik pinggangnya agar berdiri lebih tegak. "Menembak itu bukan perkara mudah, jangan asal melesatkan peluru sebelum memperhatikan dengan baik tujuanmu." Suara lembut itu terdengar di samping Zoya disusul wajah hangat yang hanya berjarak sejengkal dari wajahnya. "Kak Matty ... " Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN