"Kak Matty ... " Zoya tersentak kaget mendapati sosok Matthias yang tiba-tiba memeluknya. Bangsatnya pelukan dari lelaki yang tingginya 188 cm itu membuat tangannya gemetaran. Suaranya lembut seperti sebuah bisikan halus yang membuat jiwa merasa tenang.
Matthias tersenyum lembut, dengan tangan yang masih memegang tangan Zoya pria itu membantu mengarahkan pistol ke arah sasaran yang tepat. Satu tangannya lagi meraih dagu Zoya agar menatap ke arah depan.
"Perhatikan dengan baik," ucap Matthias.
Zoya tersadar akan keterkejutannya. Tiba-tiba saja ia yang tadinya sangat bersemangat yang menyala-nyala merasakan kakinya lemas sendiri. Ia mengumpat dalam hatinya, jelas tak ingin menaruh perasaan lebih. Tetapi bangsatnya reaksi tubuhnya tidak berbohong.
"Tutup sebelah matamu, fokus pada arah sasaran." Matthias kembali memberikan arahan.
Zoya mengangguk cepat-cepat, memusatkan fokusnya pada titik yang akan dibidik.
"Sudah?" Matthias bertanya pelan dan dijawab anggukan oleh Zoya. "Tembak sekarang!"
Zoya melakukannya, menarik pelatuk pistol yang dipegang hingga pelurunya melesat tajam pada salah satu pohon yang diincar dan ternyata tepat sasaran membuat seulas senyum sumringah terbit di bibirnya.
"Wah! Tepat sasaran!" Zoya berseru begitu senang. Disaat yang bersamaan Matthias pelukannya membuat Zoya langsung menoleh. "Kak Matty! Aku keren 'kan?" ucapnya spontan begitu saja.
Matthias ikut tersenyum dan mengangguk. "Bagus, Ndut. Tapi lain kali jangan melakukannya, ini bukan permainanmu," ujar Matthias mengusap kepala Zoya lembut.
Zoya mendesis pelan dan langsung menepis tangan Matthias. "Aku nggak gendut. Apa kau buta?" celetuknya mendadak sebal akan panggilan itu.
"Kalau bukan gendut apa? Lihatlah pipimu ini, gendut." Matthias justru tertawa melihat wajah Zoya bersungut-sungut. Dengan sengaja mencubit pipi Zoya yang gembul. "Makanya jangan makan es krim terus, diet sana!" ejeknya paling suka menguyel-uyel pipi Zoya yang chubby.
"Nyebelin!" Zoya semakin bersungut-sungut. Didorongnya d**a Matthias karena sebal. "Pergi sana!" usirnya.
"Pergi? Pergi kemana dong, Ndut? Ini 'kan rumahku?" Matthias tidak beranjak, ia justru menunduk dan terus memperhatikan wajah Zoya dengan seksama. Pipi bulatnya itu perlahan memerah dan menggemaskan.
"Gendut, tiba-tiba banget udah gede. Kau pasti banyak makan, makanya sudah sebesar ini." Matthias kembali menguyel-uyel pipi Zoya dengan kedua tangannya.
"Kak Matty!" Zoya berseru lebih keras. Ia benar-benar kesal dengan panggilan itu hingga tak segan menggigit tangan Matthias yang memegang pipinya.
"Akh!" Matthias mendesis pelan, menjauhkan tangannya dan melihat ada bekas gigitan Zoya. "Kenapa kau menggigitku?" Matthias mengernyit dengan bibir menahan tawa.
"Jangan coba-coba memanggilku gendut! Aku nggak gendut!" umpat Zoya penuh peringatan sebelum akhirnya berlalu pergi.
Matthias bukannya takut namun semakin tertawa. Ia melihat punggung Zoya yang perlahan menjauh. Sebenarnya Zoya memang tidak gendut sama sekali. Body-nya justru sangat bagus karena Zoya menuruni gen Ethan yang tinggi semampai. Hanya saja Zoya sering memakai pakaian kedodoran seperti lelaki sehingga tidak terlalu menonjol lekuk tubuhnya.
"Astaga! Apa yang yang aku pikirkan?" Matthias tersadar dari apa yang tadi sempat terlintas di benaknya.
Matthias memperhatikan tangannya yang tadi digigit Zoya. Tiba-tiba ia tersenyum tipis.
"Wanita liar."
***
Terdengar suara gemericik air dari arah kamar mandi. Elang baru kembali saat hari sudah malam dan pria itu langsung membersihkan diri. Heera berinisiatif mengambilkan baju untuk pria itu.
Setelah mengambilkannya, Heera membawanya ke kamar. Tetapi ia tertegun saat melihat koleksi topi yang disimpan rapi di dalam lemari. Ia melihat salah satu topi yang menurutnya sangat familiar. Heera mengambilnya.
"Topi ini?" Heera mengusap lembut dengan seulas senyum yang perlahan terbit di bibirnya.
Heera ingat sekali dengan topi itu, sebuah topi yang pernah Elang berikan padanya saat ia mengikuti latihan paskibraka.
Flashback on
Heera menyibukkan dirinya di dapur saat hari Minggu telah tiba. Ia berjibaku dengan tepung dan alat panggang karena ingin membuat kue kering yang akan ia berikan pada pria dingin yang kemarin memberikan topi saat dirinya kepanasan.
Tidak tahu apa yang dipikirkan, Heera merasa sikap pria itu sangat manis membuat ia terus kepikiran. Dan akhirnya setelah menimbang-nimbang, Heera memutuskan membuat kue sebagai buah tangan saat esok mengembalikan topi.
"Anak Mama lagi apa?" Vania bertanya heran mendapati putri cantiknya itu sibuk di dapur.
"Buat kue, Ma." Heera menyahut dengan senyum manis.
"Buat siapa? Matthias?" Vania ikut tersenyum. Melihat semangat dari Heera membuat wanita itu berpikir tentang kisah cinta anak muda.
Heera menggeleng pelan. "Buat Elang, yang kemarin ngasih topi," jawab Heera tak menyembunyikan binar bahagia.
"Kira-kira Elang mau nggak ya?" Tiba-tiba Heera ragu sendiri setelah kue buatannya selesai dan sudah dikemas rapi di dalam toples.
Sudah terlanjur dibuat, Heera tetap melanjutkan keinginannya itu. Saat sekolah membawa kue kering yang ditaruh di paper bag bersama topi yang sudah dicuci bersih.
Heera tidak langsung ke kelas ketika sampai di sekolah. Ia pergi ke ruang olahraga karena biasanya Elang sering menghabiskan waktu di sana. Pandangannya mengedar, mencari sosok jangkung dengan wajah dingin itu di setiap sudut. Hingga akhirnya ia menemukan Elang duduk di salah satu bangku penonton area lapangan basket sambil memegang rokok di tangannya.
"Kau merokok?" Heera menegurnya langsung. Asap rokok itu menguar membuatnya terbatuk-batuk.
Elang awalnya tidak begitu peduli dengan kehadiran Heera, tetapi suara batuknya sangat menggangu membuat ia segera menggerus rokoknya begitu saja.
Heera masih terbatuk-batuk beberapa saat, ketika sudah mulai membaik ia segera mengangsurkan paper bag yang dibawa.
"Aku ingin mengembalikan topimu," ujarnya memberitahu.
Elang melirik paper bag yang dibawa Heera lalu memandang wajah wanita itu. Ia tersenyum tipis, menerima paper bag yang diberikan.
"Terima kasih karena sudah memberikanku topi. Itu aku membuat kue untukmu, siapa ..." Ucapan Heera menguap begitu saja ketika tiba-tiba saja Elang melempar paper bag yang baru saja diterima ke dalam tong sampah.
"Elang!" Heera berseru kaget bercampur kesal melihat hal itu.
Elang bangkit dari duduknya hingga tingginya menjulang di depan Heera. "Kenapa? Kau tidak suka? Itu sudah kau berikan padaku 'kan? Jadi bebas mau aku apakan saja, termasuk membuangnya," kata Elang tak ada ramah-ramahnya sama sekali.
Kedua tangan Heera mengepal erat. Ia ingin marah tapi juga tidak punya hak itu itu. Bangsatnya ia justru merasa semakin tertantang dengan sikap Elang yang dinilai begitu dingin dan misterius.
Flashback off
"Dia mengambil topi ini lagi?" Heera tersenyum bahagia. Mendekatkan wajahnya dan mencium topi yang wanginya sangat ia sukai. Padahal dulunya ia benar-benar kesal dengan sikap Elang ini.
Pintu kamar mandi terdengar terbuka membuat Heera buru-buru mengembalikan topi itu ke tempatnya. Membawa baju ganti untuk Elang dengan langkah ringan dan senyum manis.
Elang baru saja masuk ke walk in closet ketika Heera keluar. Pria itu terkejut namun wajahnya datar saja.
"Ini, aku mengambilkan baju ganti untukmu," ucap Heera masih dengan senyum manisnya.
Elang melirik baju yang diberikan Heera. Tanpa banyak bicara ia mengambilnya lalu memakainya langsung di depan Heera. Melepaskan handuk kimono yang dipakai perlahan membuat Heera kaget.
"Aku akan ke sana." Heera memiringkan tubuhnya hingga menatap ke arah tembok agar tidak melihat Elang yang tiba-tiba telanjang. Wajahnya hangat dan memerah karena malu sendiri.
"Bisa-bisanya Elang sesantai itu," gerutu Heera dalam hatinya.
"Sikapmu seolah kau belum pernah melihat tubuh laki-laki. 6 tahun bersama Matthias, bukankah kalian sering melakukannya?" decih Elang merasa sikap Heera terlalu berlebihan.
Heera tersenyum pahit akan tuduhan itu. Padahal ia dan Matthias tidak pernah melakukan hal lebih selain ciuman bibir.
"Apa aku harus membakar diriku seperti Dewi Shinta dalam kisah Rahwana untuk membuktikan kesucianku?" lirih Heera.
Elang yang mendengarnya mengulas senyum tipis. Matanya melirik Heera cukup sinis. "Suci? Bukankah kita sudah melakukannya, Heera?"
Bersambung~