Bab 10. Panggilan Sayang

1351 Kata
Heera tergagap mendengar pertanyaan yang dilontarkan Elang. Mendadak jantungnya berdegup sangat kencang. Bukan karena degupan rasa jatuh cinta saat yang ia rasakan pada Elang, tetapi karena rasa takut yang tiba-tiba menyeruak. Heera belum sempat beranjak ketika tiba-tiba Elang mendekatinya, merapat pada punggungnya hingga deru napasnya terdengar. Dengan kaku Heera menoleh dan langsung disambut tatapan luar biasa tajam dari Elang. "Katakan padaku, apa maksudmu masih suci? Kita memang belum melakukannya 'kan?" Elang bertanya mendesak, diraihnya lengan Heera hingga keduanya berhadapan. Mendorongnya sampai punggung wanita itu terhimpit pada tembok. "Elang, aku ... maksudku bukan seperti itu. Malam itu—" "Malam itu apa yang terjadi antara kita?" Elang terus mengejar mata Heera. Dalam hatinya ada setitik harapan ketika Heera mengatakan tentang kesucian. Seperti bahagia karena Heera masih menjaga dirinya sendiri. Namun, ia juga berharap Heera akan jujur apa yang terjadi pada malam itu. Heera memandang mata Elang sendu. "Bukankah aku sudah mengatakannya? Kita tidak sengaja ... melakukan itu." Mata Elang terpejam singkat dengan kedua tangan yang mengepal erat. "Jangan membohongiku, Heera! Aku tidak pernah menyentuhmu 'kan?" Heera menelan ludahnya gugup, tubuh serta hatinya kini benar-benar didesak habis-habisan oleh Elang. Ia merasa sangat ketakutan jika Elang tahu kebenarannya pria ini akan lebih marah. Atau mungkin ... aka menceraikannya? "Aku tidak berbohong, Elang. Aku sudah berusaha menolakmu, tapi kau terlalu mabuk sampai memaksaku melakukan itu," ucap Heera dengan kepala menunduk tanpa berani menatap mata Elang. Air matanya sudah menggenang karena rasa takut yang menjadi-jadi. Elang memukul tembok yang ada di depannya lalu menjauhkan dirinya. "Baiklah, jika memang itu yang terjadi. Dalam dua bulan kedepan kemungkinan besar kau akan hamil." Elang berdecih sinis, memperhatikan Heera dari atas sampai bawah. "Atau mungkin ... kita lakukan lagi agar kau benar-benar hamil?" Dengan satu tarikan Elang membawa Heera ke ranjang lalu mendorong wanita itu hingga telentang dan menindihnya. "Elang!" Heera menahan d**a Elang sesegera mungkin saat pria itu menunduk. "Kau menolakku?" Geraham Elang mengetat. "Kita sudah melakukannya 'kan? Apa salahnya kita melakukan lagi?" Elang tiba-tiba menunduk mencium leher Heera, ia mengendusnya dengan mata terpejam. "Elang!" pekik Heera semakin ketakutan. Jika Elang meminta haknya pasti akan terbongkar jika dirinya berbohong. "s**t! Apa kemarin aku juga seperti ini?" Elang masih mengendus leher Heera yang memiliki harum lavender segar. Menusuk lembut pada indra penciumannya hingga merusak sistem pertahanan dirinya sendiri. "Atau seperti ini?" Elang semakin menggila, tangannya begerak mengusap lengan Heera lalu menurunkan piyama tipis yang membungkus tubuh wanita itu. Heera memejamkan mata ketika sentuhan itu membuat sekujur tubuhnya meremang. Ia berusaha keras untuk tidak terlena. "Elang," lirih Heera menahan bahu pria itu lagi. Elang yang melihat wajah Heera sudah memerah seketika tersadar akan yang baru saja dilakukan. Ia hampir saja terlena dan berbuat hal gila. Ia segera bangkit, membenarkan bajunya sambil menatap ke arah lain. "Pergilah, aku akan tidur," titah Elang. Heera mengusap air matanya cepat lalu bangkit dari posisinya. Ia tahu Elang tidak sudi jika tidur bersama dirinya. Elang beranjak pergi ke ranjang, ia melemparkan satu bantal pada Heera. "Pakai itu," titahnya lagi dengan suara yang masih sangat dingin. Heera mengangguk mengiyakan. Meletakkan bantal itu di karpet berbulu samping ranjang laku merebahkan tubuhnya di sana. Menghadap pada Elang yang juga merebahkan dirinya. Pria itu mematikan lampu utama hingga tersisa lampu tidur yang remang. Hawa dingin begitu terasa membuat Heera memeluk tubuhnya sendiri dengan mata yang terus memandang sosok Elang. Mungkin ... ia harus terbiasa akan kondisi seperti ini karena ia sendiri yang telah memilih ingin hidup dengan pria yang dicintainya. "Entah sampai kapan kau bisa melihatku. Aku akan berusaha sampai benar-benar lelah dan akan pergi setelah rasa itu sudah tidak ada lagi. Tapi ... aku yakin rasaku akan selalu sama. Aku mencintaimu, Elang Narendra .... " Beberapa saat kemudian Elang terlihat membuka matanya. Ia melirik sosok wanita mungil yang meringkuk di bawah ranjang. Bibirnya tanpa sadar berdecak menyadari betapa keras kepalanya Heera. "Ck, dia itu bodoh atau bagaimana?" gumam Elang kesal sendiri akan tingkah Heera itu. Elang mencoba tidak peduli, tetapi bangsatnya ia tidak bisa mengabaikan begitu saja. Dengan malas ia bangkit dari tidurnya, mengambil selimut untuk menutupi tubuh Heera. "Aku tidak peduli dia mau bagaimana pun, aku melakukan ini hanya demi Ibu agar tidak curiga," ucap Elang datar dengan ekspresi dingin yang mengantarkan. Segera bangkit kembali dan tertidur di kasurnya. Keesokan paginya, Heera kembali terbagun kesiangan. Ia kaget saat matahari sudah begitu meninggi hingga sinarnya membias seluruh kamar. Ia buru-buru bangkit, tetapi kaget saat melihat selimut yang menutupi tubuhnya. "Selimut?" Heera memegang selimut itu. Sesaat kemudian ia tersenyum manis, menyakini jika Elang yang kemungkinan besar memberikan selimut itu. "Elang?" Mata Heera membulat, baru ingat jika sekarang ia sudah menjadi istri pria itu. Seharusnya ia menyiapkan segala keperluannya. Heera buru-buru bangkit, ia melihat ke dalam walk in closet dan ke kamar mandi. Ternyata Elang sudah tidak ada membuat ia merasa bersalah sekaligus kecewa. Hari-hari awalnya menjadi istri Elang benar-benar buruk. Tak ingin menyerah, Heera segera membersihkan diri lalu turun ke bawah. Ia melihat-lihat kondisi rumah yang sepi sekali. Rumah yang terlalu mewah namun bernuansa hangat karena banyak sekali foto-foto dari masa ke masa yang dipajang di beberapa titik penting. Yang paling jelas adalah foto keluarga besar Leonard yang begitu sempurna. Ayah yang tampan, Ibu cantik dan dua anak yang rupawan. Ketika meliwati ruang tengah, terlihat Nindy sedang berbicara dengan Zoya. Wanita muda itu terlihat cemberut dan memeluk Ibunya. Seperti merajuk entah kenapa. "Ibu udah bilang nggak usah diet, Sayang. Kau itu tidak gendut." Nindy mengelus rambut putrinya yang sejak tadi sibuk bertanya bagaimana caranya agar lebih kurus. Padahal Zoya memiliki tubuh yang sangat ideal sebagai perempuan. "Tapi aku katanya gendut. Aku nggak suka," rengek Zoya masih teringat akan perkataan Matthias kemarin. "Kenapa, Zoya?" Heera langsung nimbrung begitu saja. Mendekati Ibu mertuanya dan adik iparnya itu. "Ah Heera, lihatlah adikmu. Dia sejak tadi bingung ingin diet karena katanya gendut. Padahal enggak gendut, udah pas segini, Sayang." Nindy menyahut seraya tertawa. Lucu juga melihat wajah putrinya bersungut-sungut kesal. Heera tersenyum tipis mendengarnya, ikut memperhatikan postur Zoya. Memang benar bodynya sangat bagus, Heera sebagai perempuan saja iri. "Enggak gendut, siapa yang bilang gitu? Dia pasti hanya bercanda," ujar Heera mencoba akrab dengan adik iparnya itu. "Benarkah? Sayang sekali, aku tidak percaya penipu sepertimu," tukas Zoya melirik Heera sinis. "Zoya!" Nindy menatap putrinya penuh peringatan. Zoya mendengus malas, ia kembali memandang Ibunya dengan serius. "Beneran nggak gendut?" tanya Zoya lagi. "Iya enggak. Siapa yang bilang putri Ibu gendut? Nanti Ibu marahin," kata Nindy menggoda putrinya. "Kak Matty yang bilang," dengus Zoya tak menyembunyikan raut sebal. "Kak Matty itu siapa?" Heera mengerutkan dahinya. Bertanya penuh rasa ingin tahu. "Ah kenapa sih kau selalu ingin tahu? Menyebalkan, aku mau berangkat ke kampus dulu kalau begitu," sergah Zoya muak sekali rasanya jika berlama-lama dengan Heera. "Ibu, jangan memarahiku. Aku akan berangkat. " Zoya memeluk Ibunya dan memberikan kecupan di pipi sebelum berlalu. Ia sempat melirik Heera penuh kebencian lalu beranjak tanpa menoleh. Heera yang diperlakukan seperti itu jelas cukup kesal. Ia sudah sangat sabar, tetapi Zoya sepertinya benar-benar membencinya. "Jangan dimasukkan hati ya, Heera. Putri ibu yang ini memang agak susah didekati," ujar Nindy mengelus lembut lengan menantunya. Serba salah juga dengan kecanggungan ini. "Ah iya tidak apa-apa, Ibu. Aku ngerti." Heera mengangguk dengan senyum manis. Kadang juga heran kenapa Nindy yang semanis ini punya anak angkuhnya setinggi langit. "Aku tadi baru bangun, maafkan aku. Padahal aku harusnya mengurus Elang," ujar Heera tak enak. "Tidak apa-apa, Elang tadi perginya pagi banget karena diajak Ayahnya ke luar kota. Masih banyak waktu, jangan sedih ya," kata Nindy lagi. Heera tersenyum lembut, rasanya ia cukup tenang karena memiliki Ibu mertua sebaik Nindy. "Ehm, yang dimaksud Zoya itu siapa sih, Ibu?" Heera kembali bertanya. Mengingat bagaimana Zoya yang angkuh nan menyebalkan memikirkan ucapan seseorang, membuat ia penasaran. "Kak Matty?" Heera mengangguk sebagai jawaban. "Dia itu Matthias." "Matthias?" Heera menekuk dahinya lebih dalam. "Hahaha iya, dulu Zoya pas kecil susah nyebut nama Matthias karena terlalu panjang. Jadi manggilnya gitu. Matthias juga sering iseng manggil Zoya gendut, Zoya pikir itu ejekan. Padahal memang iseng aja." Nindy menyahut dengan tawa kecilnya mengingat masa-masa kecil anak-anaknya yang menyenangkan. "Kak Matty? Dan gendut?" Heera mengerutkan bibirnya. Entah kenapa ia tidak suka akan panggilan itu. Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN