Bab 11. Life Goes On

1440 Kata
Tak terasa sudah tiga bulan berlalu. Kehidupan rumah tangga Elang dan Heera tidak mengalami perubahan yang siginifikan. Semakin hari Elang justru semakin sibuk di kantor dan jarang memperhatikan Heera. Jangankan memperhatikan, Elang mau berbicara dengan Heera saja sudah membuat wanita itu senang. Sayangnya, Elang masih bersikap dingin dan selalu mengabaikan Heera. Di rumah mewah yang seharusnya menjadi tempat tinggal yang nyaman itu seperti neraka buat Heera. Hampir setiap hari ia mendapatkan tatapan penuh penghakiman dari adik perempuan suaminya dan juga Ayah dari suaminya. Meskipun tidak menyapa, tetapi Ethan kerap menatapnya dengan tajam membuat jantung Heera seperti ditusuk-tusuk setiap waktu. Hanya Nindy satu-satunya orang yang begitu pengertian pada dirinya. Sore hari, Heera tengah duduk membaca buku sembari mengusir kebosanan ketika Elang masuk ke dalam kamar. Pria itu terlihat sangat lelah sekali, ia yang melihat segera bangkit. "Tumben pulang sore?" Heera bertanya sambil membantu melepaskan jas yang membungkus tubuh suaminya. "Pusing." Elang menyahut singkat. Melirik Heera yang sore itu menurutnya sangat cantik menggunakan dress dengan tali spaghetti bewarna hijau sage. "Kau sedang apa?" Tiba-tiba penasaran apa yang wanita itu lakukan. "Hah?" Heera sampai terkejut mendengar Elang bertanya padanya. Elang tidak menyahut, namun matanya terus menatap Heera membuat wanita itu gugup sendiri. "Oh aku sedang membaca bukumu tadi. Ibu sepertinya sedang tidur dan Zoya keluar, jadi nggak ada temen," sahut Heera kemudian. Ia mengulas senyum tipis lalu membantu melepaskan dasi yang dikenakan Elang. "Kau tidak bosan?" Elang tiba-tiba bertanya. "Bosan kenapa?" "Bosan berpura-pura terus seperti itu?" Heera mengangkat pandangannya tapi Elang langsung menjauhkan tubuhnya. "Bersiaplah, nanti malam aku ada jamuan makan bersama kolega," ucap Elang lagi. "Maksudnya kau akan mengajakku?" Heera bertanya memastikan. "Hem." Elang menyahut singkat. "Berdandanlah yang sopan, jangan membuatku malu," titah Elang lebih ketus dari sebelumnya. Heera bukannya sedih, tapi justru merasa senang karena ini pertama kalinya Elang mengajaknya keluar. Betemu kolega lagi, artinya ia sudah diakui bukan? "Ehm, Elang." Heera memberanikan diri menahan tangan Elang saat pergi ke kamar mandi. Pria itu mengangkat dagunya bertanya ada apa? "Aku tidak punya gaun bagus, bisa menemaniku pergi?" ajaknya penuh harap. Elang baru membuka mulutnya ingin menolak, tetapi melihat wajah Heera yang penuh harap itu membuatnya tak tega juga. "Aku mandi dulu." Heera mengulas senyum manis melihat Elang yang setuju akan permintaannya itu. Entah pria itu terpaksa atau tidak, ia sudah bahagia karena Elang sudah sedikit lebih baik sikapknya. "Benar 'kan? Ini hanya masalah waktu, aku yakin bisa membuatnya memandangku," ucap Heera semakin semangat menaklukkan sikap dingin suaminya. *** Matthias baru saja meninggalkan kantor. Sengaja tidak lembur karena malam nanti ada acara jamuan. Sebenarnya banyak juga pekerjaan, tapi otaknya sedang tidak bisa diajak untuk bekerja sama. Terlihat tenang bukan berarti ia setenang itu. Isi pikirannya sedang berkecamuk tak karuan karena kandasnya hubungan dengan sang mantan. Wanita yang 6 tahun bersamanya tiba-tiba harus dilupakan begitu saja dan harus merelakan untuk pria lain. Siapa orang yang bisa tenang dengan keadaan seperti itu? Matthias masih sangat marah akan kejadian itu. Tetapi ia tidak ingin berlarut-larut dengan rasa sakit hatinya. Karena ia bukan Papanya yang suka menyiksa diri sendiri dengan mencintai wanita yang sudah jelas tidak bisa dimiliki. Matthias tidak ingin menyombongkan diri. Saat ini banyak sekali pesan masuk dari para wanita anak koleganya yang terang-terangan mengenal dekat. Sayangnya, tak ada satu pun yang membuat hatinya tergerak untuk memiliki lagi. "Kenapa berhenti?" Matthias tersadar dari lamunan panjangnya ketika supir tiba-tiba menghentikan mobil mendadak. "Ada tabrakan, Tuan." Matthias memperhatikan kerumunan orang yang saat ini tengah mengamuk salah satu mobil Ferrari hitam yang menabrak salah satu kios dipinggir jalan. Matthias mengerutkan dahinya, melihat plat mobil yang sangat dikenalnya itu. "Zoya!" Selain mobil hitam yang sangat familiar, plat mobil Zoya juga unik sehingga Matthias cepat sekali menghafal. Ia segera turun dan mendekati arah kerumunan itu. "Keluar! Keluar lu orang nggak tanggung jawab." Banyak orang memaki-maki dan merusak mobil itu karena sang pemiliknya tidak ingin turun. Mungkin karena ketakutan setelah perbuatannya yang tidak sengaja menabrak itu. "Permisi, maaf sebelumnya. Bisa kita bicarakan baik-baik? Saya mengenal orang ini," ucap Matthias mencoba menenangkan para warga yang berapi-api itu. "Dia mau kabur, nggak tanggung jawab!" Amarah warga masih meluap dan hampir saja mengamuk lagi. "Tenang, saya yang akan tanggung jawab. Asisten saya yang akan mengurus. Ken!" Matthias menunjuk asistennya yang tadi sempat mengikutinya agar mengurus semuanya. Setelah para warga itu bubar, Matthias mengentuk pintu mobil dan mengintip dari kaca. Ia melihat seorang wanita yang dikenalinya itu membungkuk, mungkin karena ketakutan. "Buka Ndut!" teriak Matthias sambil terus mengetuk kaca mobil. Ia takut juga jika Zoya terkena serangan panik atau bagaimana karena ulah brutal warga. Matthias benar, Zoya merasa tubuhnya gemetaran saat dikeroyok warga sebanyak itu. Ia benar-benar tidak sengaja ngebut dan menghindari jalanan kucing sampai akhirnya menabrak kios. Mendengar suara panggilan itu membuat ia mengangkat pandangannya. Melihat sosok Matthias yang sangat khawatir itu akhirnya rasa takutnya berkurang. Ia membuka pintu mobilnya perlahan. "Akhirnya kau membukanya juga, apa kau baik-baik saja?" Matthias bertanya cemas, memperhatikan Zoya yang wajahnya sudah memucat itu. "Aku nggak sengaja," jawab Zoya masih gugup sekali. "Jelasin nanti aja, aku akan menghubungi Ayahmu." Matthias mengelus rambut Zoya perlahan sebelum mengambil ponselnya. "Jangan!" Zoya buru-buru mencegah dengan menahan tangan Matthias. "Aku bisa dihukum nanti, Kak Matty bantuin aku," pinta Zoya. Matthias mengernyit mendengar perkataan Zoya. Ia pun mengurungkan niatnya untuk menghubungi Ethan. Ia bisa melihat binar ketakutan dari wanita yang selama ini selalu bersikap angkuh itu. "Baiklah, ayo pulang dulu. Ini biar diurus Ken." Matthias mengulurkan tangannya pada Zoya. Zoya yang merasa masih takut akan penghakiman warga segera menyambut uluran tangan Matthias. Pria itu memeluk bahunya sambil membawanya pergi ke mobil. Matthias mengerti sekali apa yang Zoya rasakan. Meskipun wanita ini bicaranya berani, tetapi umurnya masih kecil dan pastinya hal seperti tadi sangat menakutkan. Sesampainya di mobil, ia memberikan wanita itu minum, melihat wajah pucat itu perlahan mengendur. "Mereka benar-benar gila," umpat Zoya kesal jika mengingat perbuatan warga itu. "Kau juga salah 'kan?" Matthias menanggapinya santai. "Tidak sepenuhnya, kenapa tidak bicara baik-baik? Mereka pikir aku tidak mampu membayar apa," ketus Zoya. Matthias tesenyum tipis melihat wajah bersungut-sungut Zoya. "Selalu seperti ini. Kau salah Ndut, kenapa membawa mobil kencang? SIM-mu bisa dicabut kalau sampai urusan polisi," tutur Matthias. "Ya makanya! Jangan sampai urusan polisi. Kak Matty katanya hebat, masa mengurus saja tidak bisa," celetuk Zoya melirik Matthias sinis. "Jadi kau meremehkanku?" Matthias sampai memiringkan tubuhnya menatap Zoya lebih intens. Zoya berdehem lalu menatap ke arah lainnya. "Buktikan saja, kalau bersih nggak ditilang polisi ... aku traktir makan." Matthias tertawa terbahak-bahak. "Hanya traktir makan? Tidak ada yang spesial lagi?" goda Matthias. "Yang spesial apa? Itu sudah spesial, waktuku saja mahal. Bisa makan dengaku itu keuntungan besar," sergah Zoya tak mau kalah. "Hem, jika hanya makan. Aku laporin Om Ethan aja. Biar sekalian dihukum dan—" "JANGAN!" Zoya menarik lengan Matthias dengan kesal. "Kenapa Kak Matty jadi mengancam?" Wanita itu melotot sebal akan sikap Matthias. "Tidak juga," sahut Matthias mengulas senyum manis. Ia mencubit pipi Zoya yang sudah memerah itu. "Aku hanya bercanda, ayo makan kalau begitu," imbuhnya kemudian. Zoya menipiskan bibirnya, tadinya ingin memaki saat pipinya dicubit. Tapi ucapan Matthias selanjutnya tiba-tiba saja membuat ucapannya tertahan di kerongkongan. "Makan di Plaza, sambil jalan-jalan," kata Matthias. "Kenapa jadi kau yang menentukan tempatnya?" Zoya mengernyit. "Yang ditraktir makan siapa?" Matthias mengangkat sebelah alisnya. Zoya mendengus malas, tidak berkomentar lagi demi menjaga agar Matthias tidak berubah pikiran. Ia akhirnya mengikuti saja saat pria itu mengajaknya makan di salah satu restoran yang cukup terkenal. Ia sempat bingung saat Matthias berjalan di sampingnya, sesekali meliriknya karena pemandangan di sampingnya terlalu sayang untuk dilewatkan. Matthias tiba-tiba tersenyum manis dan mengentikan langkahnya. "Kenapa?" Zoya bertanya bingung. Matthias memiringkan tubuhnya menatap Zoya, tiba-tiba ia menyeruak maju membuat wanita itu mundur. Karena terlalu kaget Zoya hampir saja terjengkang dan Matthias segera menangkap pinggangnya. "Kau terus memandangiku, kenapa?" tanya Matthias menatap mata Zoya begitu intens. "Hah? Siapa bilang, aku—" "Pipimu yang gendut ini memerah, artinya kau berbohong!" Matthias menunjuk pipi Zoya begitu saja membuat sang empunya kaget. Zoya mengedipkan matanya kaget sendiri. Ia berusaha melepaskan dirinya segera. "Kau terlalu percaya diri. Aku punya mata makanya melihatmu. Dasar aneh!" seru Zoya buru-buru menjauhkan tubuhnya. Matthias tertawa kecil, ia menyusul Zoya lalu tanpa peringatan meraih pinggang wanita itu. "Ayo cepat, aku sudah lapar," ucap Matthias santai saja. Pria itu tidak tahu jika tingkahnya membuat anak gadis orang gugup tak karuan. Ingin memprotes tapi takut semakin terlihat gugupnya, Zoya pun akhirnya diam saja. Hanya sesekali melirik tangan kekar yang melingkari pinggangnya dengan posesif. Tak jauh dari mereka, terlihat Heera sedang menunggu Elang mengurus p********n. Wanita itu kaget melihat sosok Matthias yang pergi bersama seorang wanita. "Matthias bersama siapa?" Dalam hati kecilnya ada tanda tanya besar. Kenapa Matthias semudah itu menggantikan posisinya dengan wanita lain? Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN