Matthias memperhatikan Zoya yang makan dengan lahap. Meskipun penampilannya ala kadarnya, Zoya pintar dalam bersikap dan paham attitude cara makan yang anggun. Terlihat santai seolah sangat menikmati makanan itu. Rambutnya yang sebahu itu tampak sedikit menganggu membuat Zoya mengambil salah satu sumpit yang bersih lalu mengikat rambutnya asal.
Matthias tiba-tiba merasa gerah ketika leher jenjang seputih s**u itu terlihat, bagian tengkuk yang dihinggapi anak-anak rambut yang tak beraturan itu entah kenapa membuat ia menelan ludah. Matthias mengakui adik kecil kesayangan semua orang itu sudah benar-benar tumbuh menjadi wanita yang sempurna.
"Malam nanti ikut aku, Ndut." Matthias akhirnya memutuskan hal yang ia sendiri tidak menduga.
"Ikut ke mana?" Zoya mengangkat wajahnya menatap Matthias. Ia baru sadar jika pria itu menatapnya dengan tatapan berbeda dari biasanya. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" Zoya tidak suka jika ada yang berani menatapnya sangat tajam selain Ayahnya.
"Aku punya mata." Matthias membalikkan kata-kata Zoya sebelumnya dengan seulas senyum manis.
"Jangan macam-macam. Kau sedang mencari incaran, ya? Setelah putus dengan hama itu?" dengus Zoya.
Matthias tertawa santai. "Kalau pun iya, aku tidak akan berpacaran denganmu, Ndut. Kau masih dibawah umur," kata Matthias mengejek.
"Tahun ini aku ulang tahun yang ke 18. Apanya yang dibawah umur!" Zoya mendadak kesal sendiri. Matthias ini selalu saja menganggapnya adik kecil.
"Nevermind, yang tadi gimana? Mau, tidak?"
"Ke mana dulu?"
"Ada acara jamuan. Kakakmu mungkin juga ikut," sahut Matthias acuh tak acuh.
"Oh, kau mengajakku demi menunjukkan pada hama itu kalau sudah melupakan dia? Cih, kenapa kalian berdua itu sangat bodoh? Hanya karena satu wanita persahabatan puluhan tahun hancur begitu saja, menyebalkan!" sergah Zoya tak bisa menahan bibirnya untuk memaki jika mengingat hama yang selama ini tinggal di rumahnya.
Matthias menggoyangkan rahangnya pertanda kesal. Zoya memang selalu tepat sasaran saat berbicara tanpa embel-embel tidak enak. Wanita itu akan memperlihatkan jika memang benar-benar tidak suka.
"Yang tadi gimana? Mau atau tidak? Aku ajak Serena saja kalau—"
"Karena aku baik hati, aku akan ikut Kak Matty. Tapi tidak gratis," tukas Zoya cepat.
Matthias kembali mengulas senyum manis lalu tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke arah Zoya. "Aku bayar pakai apa aja."
***
Malam telah hadir, Elang dan Heera pergi ke tempat acara itu pada pukul 8 malam. Elang tampak memakai jas hitam dengan Heera memakai gaun berwarna nude yang memperlihatkan bahunya yang putih. Rambutnya dibiarkan terurai bergelombang indah. Tampak sangat serasi bersanding dengan Elang.
"Wah, kalian mau pergi ke mana?" Nindy yang tengah bersantai di ruang tengah menegur saat melihat anak dan menantunya itu turun.
"Iya, Ibu. Elang mengajakku pergi jamuan bersama koleganya." Heera menyahut penuh semangat.
Nindy yang melihat itu ikut tersenyum, lega juga jika Elang dan Heera menjadi lebih dekat. Ia kasihan melihat Heera yang sering murung
"Siapa yang mengundang, Elang?" Ethan juga bertanya.
"Tuan Jeremy dari Jean Corp," sahut Elang seadanya saja.
"Banyak tangkapan besar, gunakan peluang sebaik mungkin," tutur Ethan.
"Selalu saja seperti itu, apa tidak bisa behenti memikirkan pekerjaan? Sudah ada Elang," omel Nindy.
Ethan tertawa kecil. "Aku hanya mengajari putraku, Nyonya. Dia anakku, harus seperti Ayahnya bukan?" Pria itu menggoda istrinya.
Siapa pun yang melihat hal itu pasti bisa merasakan bagaimana Ethan mencintai Nindy. Kehidupan penuh cinta itu benar-benar nyata meski usia tak lagi muda.
Elang dan Heera segera berpamitan karena menghindari macet. Tetapi saat akan meninggalkan ruang tengah, salah seorang pelayan tergopoh-gopoh datang memberitahu jika ada tamu. Tak membutuhkan waktu lama, sosok tamu yang datang itu muncul di ruang tengah.
"Matthias."
Mereka serempak menyebutkan nama pria gagah yang baru saja datang itu. Sangat tidak menyangka jika Matthias akan datang ke rumah setelah kejadian 3 bulan lalu.
"Selamat malam, Om, Tante." Matthias bersalaman kepada Ethan dan Nindy sebagai bentuk hormatnya, sedangkan kedua manusia lain itu ia tidak mempedulikannya.
"Kau datang bersama siapa? Papamu ikut?" Ethan mengangkat alisnya, seingatnya tidak ada janji ingin bertemu Matthias atau pun Jayden.
"Papa tidak ikut, aku datang untuk—"
"Kak Matty bersamaku."
Semua mata berganti tertuju pada Zoya yang baru saja turun. Wanita itu menggunakan gaun berwarna merah wine bermodel duyung yang mencetak tubuhnya dengan jelas. Bagian bawahnya terdapat belahan hingga setengah paha yang memperlihatkan kaki jenjangnya yang indah. Rambutnya yang sebahu itu diikat rapi dengan Zan atau bisa disebut tusuk konde.
"Zoya!" Ethan sampai hampir tidak mengenali putrinya yang biasanya berpenampilan seperti laki-laki itu.
Begitu pun yang lain, mereka sampai tidak berkedip melihat Zoya yang telihat luar biasa cantik malam itu. Wajahnya yang mirip dengan sang Ayah itu menunjukan kesempurnaan yang tidak bisa dibantah sedikit pun.
Matthias menarik sudut bibirnya, kaget juga Zoya akan berdandan all out seperti itu. Tetapi ia sangat menyukainya.
"Kak Matty mengajakku pergi, tidak apa-apa 'kan Ayah?" Zoya kembali berbicara seraya melangkah mendekat ke arah keluarganya.
"Kau akan pergi bersama Matthias?" Elang langsung menegur adiknya terang-terangan. Pikirannya mengatakan jika ada yang aneh.
"Ehem, kalian juga 'kan?" Zoya menyahut singkat.
Ethan mengerutkan dahinya lebih dalam, pikirannya pun sama dengan Elang. Tapi bingung juga kenapa Matthias terang-terangan mendekati Zoya? Ia menjadi was-was sendiri.
"Kalau Om Ethan curiga dengan maksud tujuanku, bawakan saja pengawal berapa pun. Kakaknya juga ada di sana 'kan? Awasi saja, apa yang akan aku lakukan," ucap Matthias tenang saja. Toh memang tidak punya maksud khusus.
"Ah bukan. Om hanya terkejut, pergilah kalau begitu. Tapi awas saja kau membawanya pulang dalam keadaan yang tidak sama. Aku akan membunuhmu, Matthias." Ethan mengizinkan dengan nada suara santai namun tatapan matanya itu mengintimidasi Matthias habis-habisan.
Pria lain mungkin akan mati berdiri ditatap setajam itu oleh Ethan, tetapi tentu saja tidak berlaku pada Matthias. Pria itu adalah anak Jayden yang sudah terkenal dengan ketenangannya. Tetapi dibalik ketenangan itu menyimpan kekuatan yang menakutkan, apalagi jika sedang marah. Mereka sudah melihat sendiri amarah Matthias.
"Aku janji akan menjaganya, Om. Boleh aku bawa Zoya pergi?" Matthias mengangguk sopan.
"Dengan sangat terpaksa," sahut Ethan. Ia meminta Zoya untuk mendekat, memeluk anak perempuannya itu dengan hangat.
"Jaga diri baik-baik," bisik Ethan.
Zoya mengangguk tanpa suara, ia memeluk ibunya sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu bersama Matthias.
Elang segera mengikuti disusul oleh Heera. Ia melihat Matthias yang membukakan pintu untuk Zoya, ia mendekat dan menepuk bahu Matthias membuat sang empunya menoleh.
Matthias hanya mengangkat sebelah alisnya tanpa ada niat membuka mulut.
"Jika kau benci atau marah padaku, lampiaskan padaku. Jangan coba-coba menjadikan Adikku sebagai alat balas dendammu, Matthias!" Elang berseru penuh peringatan. Sejauh ini jelas ia yang paling tahu bagaimana Matthias.
"Oh ayolah, Elang. Aku lebih sayang hidupku dari pada membalas para pengkhianat seperti kalian. Nikmati saja, hasil pengkhianatan kalian itu," sergah Matthias tenang saja, ia menepis tangan Elang yang ada di bahunya lalu beranjak hendak masuk ke mobil.
Sesaat Matthias memandang Heera yang cantik seperti biasa, hanya beberapa detik lalu buru-buru pergi. Wanita itu baginya sudah tidak lagi penting sekarang. Ia sedang mencoba menghapus namanya dan juga kenangannya.
Elang geram sekali dengan sikap Matthias itu, ia begergas ke mobilnya sendiri sampai melupakan Heera.
"Elang, kenapa kau meninggalkanku?" seru Heera semakin kesal saja. Tadi diacuhkan Matthias, sekarang Elang juga sama saja.
"Masuklah, apa kau ingin disitu saja?" teriak Elang dari arah kemudi. Saat ini ia jauh lebih khawatir dengan adiknya Zoya.
Heera menghentakkan kakinya kesal. Ia melihat ke arah pintu mobil yang tertutup. Dulu, Matthias mana pernah membiarkan ia membuka pintu sendiri. Sekarang, Elang?
"Cepatlah!" seru Elang tak sabar melihat Heera yang tak kunjung masuk.
Dengan hati dongkol Heera akhirnya masuk ke dalam mobil. Ia melirik Elang dengan tatapan tajam namun pria itu mana peduli. Elang tetap acuh dan membawa mobilnya pergi.
Heera menarik napas panjang lalu dihembuskan perlahan, ia harus tenang. Saat ini Elang sudah ada itikad baik akan membawanya pergi ke publik. Ia harus bersikap tenang karena saat ini ia adalah istri dari seorang Elang Narendra.
Sesampainya di acara jamuan, Heera memeluk lengan Elang dengan mesra. Hal itu membuat Elang meliriknya.
"Aku hanya menjaga nama baikmu, orang akan banyak berprasangka negatif kalau kita berjauhan," ucap Heera mencari alasan akan sikap impulsifnya.
Elang menatap Heera sekilas lalu merengkuh pinggangnya dengan mesra. "Biar dramanya semakin nyata," ujar Elang.
Heera tersenyum tipis akan hal itu, meskipun Elang mengatakan hanya sandiwara ia benar-benar sudah bahagia menjadi sedekat ini. Ia mengangkat dagunya, seolah menujukan jika ia yang menjadi pendamping pria yang digilai banyak kaum hawa itu.
Acara jamuan itu benar-benar dihadiri banyak penguasa dari berbagai daerah. Elang mengobrol santai dengan beberapa kenalannya. Heera senantiasa mengikuti, menyambung obrolan yang terkadang ia juga mengerti.
Bukankah tugas seorang istri selalu mendukung apa yang dilakukan suaminya?
Di saat cukup lama, tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri mereka membuat perhatian keduanya tersita.
"Kak Zavia? Dengan siapa?" Heera terkejut melihat anak perempuan Marka juga hadir.
"Aku bersama Rakai, lagi ngobrol tuh sama temen." Zavia menunjuk suaminya yang tak jauh dari mereka. "Kebetulan ketemu kalian disini, aku ada perlu sama Elang," ujar Zavia.
"Perlu?" Elang mengangkat alisnya. Sejauh ini tidak terlalu dekat dengan Zavia karena selisih umur yang lumayan jauh, sekitar 3 tahunan lebih.
"Ya, perusahaanmu menyediakan jasa pembangunan properti 'kan? Temanku ada yang mau pakai," kata Zavia.
"Bisa. Hubungi saja asistenku."
"Dia mau tanya-tanya dulu, bentar deh. Aku panggil orangnya biar enak ngobrol." Zavia membuka ponselnya sejenak, mengirimkan pesan kepada sahabat dekatnya yang membutuhkan jasa yang dimaksud.
"Zavia!" Panggilan dari sosok wanita cantik dengan gaun berwarna hitam mempesona dari arah sampingnya membuat perhatian orang tertarik.
"Claudine, kemarilah."
Bersambung~