Claudine melangkah mendekat ke arah Zavia. Wanita itu mengulas senyum manis ke arah Elang begitu pun Heera.
"Gimana? Masih butuh jasa buat bangun klinik 'kan? Kebetulan Elang ini perusahannya bergerak di bidang yang kau butuhkan. Kenalan dulu, Elang Narendra dia anak sahabat Papaku," ujar Zavia kepada Claudine.
"Salam kenal, saya Claudine." Claudine mengulurkan tangannya kepada Elang dan disambut oleh pria itu. "Yang ini?" Matanya bergulir pada wanita cantik yang mendampingi Elang.
"Heera, istrinya Elang." Heera menyambut jabatan tangan Claudine dengan erat dan mengucapkan statusnya dengan jelas. Sengaja agar wanita itu tahu jika Elang sudah punya istri yang artinya tidak akan ada celah untuk wanita lain masuk.
Claudine tersenyum tipis saat merasakan jabatan Heera cukup kuat. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Zavia lagi.
"Aku membutuhkannya dalam waktu dekat ini. Apa perusahaan Tuan Elang bisa mengerjakannya?" tanya Claudine.
"Kau bisa tanya-tanya saja sama dia. Heera pasti juga tidak keberatan. Benar 'kan Heera?" Zavia melirik Heera dengan seulas senyum manis. "Tenang saja, sahabatku orangnya baik. Minusnya suka sibuk nggak jelas sampai nggak datang ke nikahan orang," celetuk Zavia dengan wajah dikesal-kesalkan.
"So sorry, aku waktu itu beneran lagi ada acara lain." Claudine memandang Zavia dengan tatapan rasa bersalah. Menyesal juga tidak menyempatkan waktunya karena di tanggal yang sama dengan pernikahan Zavia adalah hari peringatan kematian Kakaknya.
"Dimaafkan." Zavia tersenyum tipis. "Elang, kau ajak bicara dia dulu. Aku dipanggil Rakai," ujar Zavia.
Elang mengangguk sebagai jawaban, setelah itu barulah memusatkan perhatiannya pada Claudine. Untuk sepersekian detik ia terpaku pada wanita yang baru berkenalan dengannya itu. Tidak akan ada pria yang bisa menolak pesonanya yang anggun dan memikat. Bagian belah bibir pada wanita itu seperti pemikat tersendiri yang membuat napas seperti ingin terhenti.
"Nona Claudine, salam kenal sebelumnya. Jika memang Anda membutuhkan jasa itu segera, bisa langsung mengunjungiku nanti. Sebentar ...." Elang mengambil kartu nama miliknya lalu menyerahkan pada Claudine.
Claudine menerimanya, membaca nama Elang sekilas dan alamat perusahaan.
"Ah saya kemarin sempat ingin pergi ke sini. Ternyata perusahaan ini milik Anda Tuan Elang." Claudine tersenyum tipis, merasa dunia ini sempit sekali.
"Itu artinya sudah takdir," sahut Elang singkat. "Maksudku Anda sudah ditakdirkan untuk menjadi orang yang akan memakai jasa kami," imbuhnya memperjelas.
"Ya, itu takdir." Claudine tertawa kecil. "Tapi kalau boleh tahu, apakah Tuan juga bisa mencarikan saya tanah?"
Merasa obrolan itu semakin serius, Elang mengajak Claudine berbicara sambil duduk. Tentu saja bersama Heera yang masih mengunci mulut sambil diam-diam memperhatikan Claudine yang dinilai terlalu cantik. Tidak munafiklah ia sebagai perempuan merasa tersaingi, wanita itu bukan hanya parasnya yang cantik dan tutur katanya sangat lembut. Punya usaha sendiri pula. Mungkin jika diberi nilai, nilainya adalah 1000.
"Nona Claudine ingin membuat apa memangnya?" Heera iseng bertanya.
"Klinik kecantikan, Nona Heera." Claudine menyahut.
"Oh, berati udah ada basic di bidang kecantikan?" Dalam hati Heera kagum mendengarnya namun tak terlalu diperlihatan.
"Sebelumya Mamaku sudah punya usaha Skincare. Saya hanya mendukung dengan skill yang saya pelajari. Mungkin Nona Heera ingin menjadi pelanggan pertama saya nanti," canda Claudine.
"Ah, saya tidak perlu menggunakan perawatan. Semua yang ada pada diri saya alami." Heera mengulas senyum manis. Merasa bangga karena semua yang ada pada dirinya belum tersentuh klinik mau pun lainnya.
Claudine cukup terkejut akan respon Heera itu. Padahal ia hanya berbasa-basi saja.
"Nona Claudine pilih dulu mau desain yang seperti apa. Pastinya ingin tempat yang strategis 'kan? Saya punya beberapa referensi." Elang memberikan ponselnya kepada Claudine setelah meminta salinan gambar dari asistennya. Biasanya yang mengurus seperti ini memang asistennya, tetapi karena Claudine adalah teman baik Zavia, ia merasa ingin memberikan yang terbaik.
"Pastinya. Saya ingin yang bisa diakses cukup mudah juga." Claudine menggeser kursinya sedikit agar bisa melihat lebih dekat gambar yang diberikan Elang.
"Di daerah sini, ada beberapa mall dan juga kampus. Bisa diakses mudah." Elang memperlihatkan salah satu foto tanah kosong di ponselnya.
"Kalau dekat dengan mall, bukankah akan tertutup akan kemewahan mall? Bisa cari yang lain?"
Elang ikut berpikir dan menunjukkan beberapa foto lahan yang memungkinkan untuk digunakan Claudine. Keduanya seperti berdiskusi menemukan hal yang pas untuk keduanya. Pas untuk Claudine agar bisnisnya nanti berjalan lancar, dan pas untuk Elang agar membuat konsumen puas.
Beberapa kali mereka memiliki kesamaan pendapat, tetapi juga terkadang tidak cocok entah di desain atau yang lain. Mereka benar-benar mengobrol dengan santai.
"Saya mengerti keinginan Anda, nanti saya akan mencarikan lagi desain yang terbaik. Tanahnya—"
"Elang aku haus." Heera tiba-tiba menarik tangan Elang karena sejak tadi diacuhkan. Ingin nimbrung pun bingung harus membahas apa.
"Sebentar." Elang memegang tangan Heera sejenak lalu mengalihkan pandangannya pada Claudine. "Tanahnya bisa dilihat besok atau kapan pun Anda mau. Saya akan—"
"Elang!" Heera kembali merengek, menarik tangan Elang lebih kuat dari sebelumnya.
Elang melirik Heera dengan tajam, memperingati wanita itu jika harus bersabar sebentar.
"Istri Anda sedang haus. Lebih baik layani dulu. Kita bisa membahas kerjasama kapan-kapan." Claudine yang paham akan situasi segera bangkit. "Saya akan mengabari Anda lagi nanti. Terima kasih atas waktunya, Tuan Elang, Nona Heera." Sebelum beranjak ia mengulurkan tangannya kepada kedua pasangan itu.
Heera menyambutnya dan tersenyum manis dibuat-buat. Tiba-tiba kesal sendiri karena Claudine seperti merebut semua perhatian Elang.
"Saya permisi dulu." Claudine mengangguk sopan sebelum akhirnya meninggalkan meja mereka.
Namun, Claudine yang tidak melihat gaunnya yang panjang terinjak kaki kursi malah tiba-tiba seperti tertarik ke belakang tubuhnya dan secara tak sengaja jatuh di pangkuan Elang.
"Akh!" Claudine beteriak kaget, lebih kaget lagi saat gaun itu robek karena tertarik dan jauh lebih kaget saat wajahnya terhenti tepat pada leher Elang begitu pun tubuhnya.
Elang sendiri kaget akan hal itu. Ia reflek memegang pinggang Claudine karena hampir ikut terjatuh beserta kursinya.
"Maaf aku—"
Byurrrrrr!
Claudine baru saja hendak bangkit dan meminta maaf ketika tiba-tiba bajunya disiram dengan jus oleh wanita yang tak lain adalah Heera. Ia kaget pastinya, belum juga sempat memposisikan diri dengan benar tangannya langsung ditarik begitu saja dan di dorong dengan kasar.
"Perempuan murahan! Kau ingin menggoda suamiku 'kan?" teriak Heera sangat marah. Tak terima melihat Elang tubuhnya dipeluk oleh Claudine seintim itu.
"Heera! Apa-apaan kau?" Elang sendiri kaget akan sikap Heera itu. Ia bangkit memegang lengan istrinya cukup kuat.
Heera mendesah kesal dan menatap Claudine begitu tajam. "Wanita ini hanya berpura-pura ingin kerjasama. Dia pasti menyukaimu. Dasar murahan!" Ia merangsek maju ingin menampar Claudine tetapi segera ditahan oleh Elang.
"Jaga sikapmu, Heera!" bentak Elang jauh lebih marah. "Kejadian tadi adalah kecelakaan! Apa kau buta?" Dengan geram Elang menghempaskan tangan Heera.
"Claudine!" Zavia yang baru saja kembali kaget dengan suara ribut di meja Elang.
"Kenapa kau jadi basah kuyup?" Zavia semakin kaget melihat sahabatnya terlihat sangat kacau.
"Aku tidak sengaja jatuh, istrinya mengira aku akan merebut suaminya." Claudine menjawab dengan nada kesal. Ia mengalihkan perhatiannya pada Heera yang bersitegang dengan Elang.
"Nona Heera, aku hanya ingin memberikan saran. Lain kali perbanyaklah belajar tata krama. Menurut Anda apakah wanita seperti saya ingin merebut pria yang sudah beristri? Bercanda Anda sangat lucu," decih Claudine lembut namun terdengar sarkas. "Oh, atau mungkin suruh saja suami Anda tidur di rumah agar tidak dilihat oleh wanita lain. Sayang sekali, pengusaha terkenal punya istri yang tidak punya attitude seperti Anda. Terima kasih atas siramannya," imbuh Claudine sebelum akhirnya beranjak meninggalkan meja itu.
Heera semakin kesal mendengar perkataan Claudine. Ia ingin balas memaki namun Elang segera menarik lengannya.
"Ayo pulang, kau membuatku malu!" desis Elang penuh amarah.
Keributan itu benar-benar menyita perhatian banyak tamu dan semua pasang mata tertuju pada meja itu. Matthias dan Zoya ikut melihat dari kejauhan.
"Lihatlah, hama itu kembali menyebarkan wabah. Bisa-bisanya dia bersikap seperti itu dan membuat Kakak malu," celetuk Zoya ikut geram melihat tingkah Heera itu. Meskipun tidak melihat secara gamblang, sikap Heera benar-benar tidak mencerminkan wanita kelas mereka.
"Biarkan saja. Kita kesini ingin menikmati pesta. Ayo pergi," ajak Matthias sama sekali tidak berminat. Ia meraih pinggang Zoya lagi dan membawanya pergi.
"Eh, bukankah kita akan pulang?" Zoya kaget akan tangan Matthias yang melingkari pinggangnya. Ia sempat merasakan pria itu meremas lembut perutnya namun tak terlalu kentara.
"Memangnya kau ingin pulang?"
Bersambung~