Yang Memabukkan

1252 Kata
Shilla berusaha melepaskan kungkungan Lio. Namun Lio makin memperdalam ciumannya. Selama beberapa detik, Shilla berusaha menolak. Tapi di detik berikutnya, tanpa sadar ia justru terhanyut dalam ciuman Lio. Bahkan, ia mengabaikan bau alkohol yang ia tidak sukai itu. Shilla, terus menikmati ciuman itu. Erangan keduanya saling bersahutan. Memenuhi kamar luas, yang beberapa saat lalu sunyi senyap. Tangan Lio mengusap punggung Shilla pelan. Menciptakan gelenyar aneh dalam tubuh Shilla. Hawa panas, mulai menjalari tubuh Shilla. Degub jantungnya pun, semakin cepat berpacu. Dan saat tangan Lio menyusup ke dalam pakaian Shilla, barulah, Shilla tersadar. Shilla mencubit pinggang Lio, membuat Lio melepaskan ciuman mereka, dan menjerit karnanya. "Lepasin saya, Pak!" pinta Shilla penuh penekanan, karna CEO-nya itu tak kunjung melepas pelukannya. Mata Lio membulat, kala ia sepenuhnya sadar dan mendapati sekretarisnya itu berada di atas tubuhnya. Sontak saja, Lio langsung melepaskan pelukannya. Shilla sendiri, segera memposisikan tubuhnya untuk berdiri, saat Lio sudah melepaskan pelukannya. Dan Lio tak bisa untuk tak kaget, kala mendapati dirinya telanjang bulat. Karna tadi, setelah melepaskan Shilla dari pelukannya, ia langsung berdiri dan membuat selimut yang menutupi tubuhnya melorot. Shilla bahkan langsung menjerit, melihat bagian bawah Lio yang saat ini dalam posisi tegak. Dengan cepat, Lio menarik selimut yang terjatuh, dan berusaha menutup tubuhnya kembali. Tanpa berpamitan, Shilla langsung lari ke luar kamar, sambil menutup sebagian wajahnya. Lio mengacak rambutnya frustrasi. Merasa bodoh dengan tingkahnya barusan. Seketika, Lio teringat dengan mimpinya barusan. Di mana, ia bermimpi kembali berpacaran dengan Shilla. Lio bahkan mencium Shilla begitu mesra dan berhasrat, demi melepaskan semua rindu yang sudah ia pendam selama beberapa tahun ini. "Apa jangan-jangan yang tadi itu bukan mimpi?" Lio tak dapat memastikan, apakah ia mencium Shilla di dalam mimpi, atau memang itu adalah kenyataan, namun ia tak menyadarinya. "Alkohol sialan!" Lio mengumpat, mengingat wine yang ia minum malam tadi. Lio memang selemah itu terhadap alkohol. Sejak dulu, ia tak pernah mau meminum alkohol, meski kadar alkoholnya rendah. Karna ia sadar, bahwa toleransinya terhadap alkohol sangat payah. Meski tinggal di luar negeri, dengan pergaulan anak muda yang sangat bebas. Lio tak pernah ikut terpengaruh. Ia sangat menghindari mabuk, dan juga cinta satu malam. Walau kadang ia tak bisa menolak, saat temannya mengajak untuk pergi ke klub malam. Namun di sana, ia hanya meminum minuman bersoda tanpa alkohol saja. Ia bahkan tak peduli, walau semua teman mengejek dan mencemoohnya. Pertama kali Lio meminum alkohol adalah, saat ia kelas satu SMA. Teman-temannya, mengajak ia pergi ke salah satu tempat karaoke, yang menyediakan minuman memabukkan. Ia yang saat itu tak paham apa-apa, tanpa sadari meminum satu kaleng minuman tersebut. Setelahnya, ia menjadi mabuk berat, hingga tak sadar akan apa pun. Ia bahkan tak ingat, alasan kenapa badannya terasa sakit, saat ia bangun tidur keesokan harinya. Setelah sang ayah memberi peringatan keras padanya lagi di pagi hari. Baru lah, ia tahu bahwa semalam ia dipukul oleh sang ayah karna pulang dalam keadaan mabuk. Setelah kejadian itu, Lio berjanji pada dirinya sendiri untuk tak lagi mencoba minuman memabukkan itu. Malam tadi, entah setan apa yang merasuki pikirannya. Hingga ia meneguk minuman memabukkan itu kembali. Bahkan ia tak ingat, berapa gelas minuman itu telah masuk ke dalam tenggorokannya. Setelah mendengar pintu kamar yang terbuka, tertutup kembali. Lio bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Guyuran air yang dingin, sengaja Lio pilih demi menurunkan sesuatu yang terasa panas di tubuhnya. Meski sepertinya hal tersebut tak terlalu berhasil. Namun setidaknya, rasa panas yang ia rasakan tak setinggi tadi. *** Shilla berjalan cepat ke kamarnya. Bahkan ia membanting pintunya, dan membuat beberapa orang yang kebetulan lewat, kaget bukan main.. "Lu gila, Shilla. Bener-bener gila!" Shilla membenamkan wajahnya, ke bantal di atas ranjang. Kakinya pun, ia hentakkan beberapa kali di ranjang. Ia mengangkat wajahnya, dan menyentuh bibirnya yang kini terasa berdenyut. "Sial. Bener-bener sial!" Lagi, Shilla mengumpat pada dirinya sendirinya. Kala bayang adegan ciumannya dengan Lio, terus memenuhi kepalanya. Ia tak percaya bahwa, ia bisa begitu terhanyut dan menikmati ciumannya bersama sang mantan kekasih. "Astaga!" Getaran ponsel di sampingnya, berhasil membuat Shilla terlonjak kaget. Keringat dingin tiba-tiba saja memenuhi beberapa bagian tubuhnya, saat melihat nama sang pemanggil adalah kekasihnya kini. Dengan menarik napas panjang, Shilla mencoba menenangkan diri dan hatinya, sebelum akhirnya ia menggeser tombol hijau di layar itu. "Halo," sapa Shilla, dengan nada suara yang ia buat setenang mungkin. "Kok, baru diangkat panggilan aku?" tanya Pras dari seberang sana. "Oh. I-itu, tadi aku lupa ga bawa ponsel," jawabnya jujur. "Emang kamu dari mana?" tanya Pras lagi, yang sukses membuat keringat dingin Shilla mengalir semakin deras. "Abis nyari sarapan tadi aku di resto bawah." Shilla berharap, Pras tak menaruh curiga padanya. Karna saat ini, jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Yang artinya, waktu untuk sarapan sudah sangat terlewat. Bahkan sebentar lagi, waktu makan siang akan tiba. Maka rasanya sangat aneh, jika sarapan di jam segini. "Oh, gitu. Ngomong-ngomong, jam berapa kamu pulang? Mungkin aja aku bisa jemput kamu, sebelum ke acara nanti." Shilla bisa bernapas sedikit lega, karna Pras sendiri yang justru mengalihkan pembicaraannya ke topik lain. Ia tak yakin bisa terus berbohong, andai Pras terus menanyai dirinya soal 'sarapan' tadi. "Ga usah. Aku bisa naik taksi aja nanti," tolaknya, yang tak ingin merepotkan kekasihnya itu. Tiga hari yang lalu, Pras memang sudah memberitahu Shilla, soal acara keluarganya. Namun karna Pras sendiri tahu perihal jadwal dinas Shilla ke luar kota. Maka ia tak bisa memaksa kekasihnya itu untuk ikut bersama dengannya menghadiri acara keluarganya tersebut. "Oke, kalau gitu. Kita ketemu hari Senin pas aku jemput kamu kerja aja, ya." "Iya." Pras pamit terlebih dahulu, karna sang mama sudah memintanya untuk segera bersiap. Dan memaksa obrolan mereka, untuk berhenti sampai di situ saja. Kini, Shilla tengah berusaha melepaskan semua beban yang sejak tadi menghimpit dadanya. Ada rasa bersalah terhadap Pras, karna ia berciuman dengan Lip. Terlebih, ciuman itu mampu menghanyutkan dirinya. Padahal dengan Pras selama ini, ia selalu bisa membuat batasan. Berkali Shilla menarik napas dalam, dan melepaskannya kembali. Berharap, rasa sesak yang ia rasakan bisa segera menghilang. Baru saja Shilla akan meletakkan kembali ponselnya. Benda pipih itu kembali bergetar, bersamaan dengan sebuah pesan masuk di sana. "Saya tunggu di lobby." "Baik." Hanya satu kata itu, yang Shilla kirimkan pada Lio, sebagai jawabannya pesannya. Jika menuruti hati, Shilla justru enggan rasanya untuk membalas pesan tersebut. Namun, karna rasa hormatnya pada CEO-nya itu, terpaksa ia membalasnya. Shilla memilih untuk membasuh wajahnya terlebih dahulu, sebelum ia keluar dari kamarnya. Ia, butuh untuk menyegarkan diri dan hatinya, sebelum nanti bertemu dengan Lio kembali. *** "Apa tadi, kita ciuman?" Sebaris tanya yang Lio lontarkan, setelah hampir setengah jam hening menyelimuti mereka berdua di dalam mobil. Sukses membuat Shilla membeliakkan matanya. Shilla tak menyangka, Lio akan setidaktahu malu itu, untuk melontarkan pertanyaan seperti itu. "Menurut Bapak?" tanyanya, tanpa melirik ke arah Lio sedikit pun. "Maaf, saya ga inget apa pun." Sungguh. Hati Shilla panas bukan main, demi mendengar jawaban Lio tersebut. Shilla merasa seperti orang bodoh, yang terus memikirkan ciuman mereka, sendirian. "Bagus, kalau Bapak lupa," ucap Shilla sarkas. "Maaf," ucap Lio lagi, karna merasa bersalah pada Shilla. Lio melirik ke arah Shilla. Dan setelah melihat bagaimana reaksi Shilla sejak tadi. Lio menjadi yakin bahwa, ciuman tadi bukanlah mimpi belaka. Haruskah Lio merasa senang, karna ia sungguh berciuman dengan Shilla. Atau kah, Lio harus bersedih, karna ciuman tadi ia lakukan dalam keadaan tak sadar sama sekali. Entah. Lio menjadi bingung karnanya. Dan ia, lebih bingung lagi karna tidak tahu harus bagaimana menghadapi Shilla setelahnya. Ia khawatir, Shilla akan semakin membenci dirinya. Dan membuat wanita itu semakin menjauh darinya. Lio tak ingin hal itu sampai terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN