Shilla menggunakan setelan berwarna coklat berpadu dengan kemeja berwarna krem. Yang entah bagaimana bisa, warna setelan yang Lio gunakan juga berwarna coklat. Seolah, mereka sudah mencocokan pakaian mereka sebelumnya. Dan jika dilihat oleh orang lain. Keduanya sungguh serasi, bak sepasang kekasih yang bekerja bersama. Romantis.
"Selamat sore menjelang malam, Pak Lio," Hansen, yang tiba lebih dulu, menyambut Lio dengan uluran tangan yang hangat.
Lio sendiri, langsung menyambut uluran tangan Lio dengan senang hati. "Maaf, jika kami datang terlambat, Pak Hansen."
Hansen tertawa. "Ga masalah. Saya juga baru aja sampe beberapa menit yang lalu, kok," ucapnya jujur.
Tangan Hansen beralih ke arah Shilla. Yang tentu saja, langsung disambut wanita itu dengan senyum penuh keramahan.
"Maaf jika saya seenaknya merubah jadwal hari ini. Mendadak, anak saya demam. Mau tak mau, saya harus menemani istri saya membawa anak kami ke dokter terlebih dahulu." Hansen sedikit menyesal, karena telah membuang waktu berharga milik Lio.
Lio menggeleng. "Ga masalah. Lagi pula, saya tak ada jadwal lain, selain bertemu Pak Hansen. Jadi waktu saya lebih bebas, jika dibanding Pak Hansen."
Hansen tertawa mendengar ucapan Lio. Apa yang Lio katakan, memang ada benarnya. Selama beberapa pekan ke depan, jadwal miliknya sudah padat terisi. Bahkan, esok ia harus terbang ke Singapura untuk urusan bisnisnya selama beberapa hari.
"Baiklah. Kalau gitu, kita mulai aja rapatnya."
Lio setuju dengan Hansen. Segera, ia memulai presentasinya dengan dibantu oleh Shilla.
Dengan serius, Hansen menyimak apa yang Lio sampaikan tiap katanya. Ia tak ingin, melewatkan satu kata pun.
***
Rapat yang dimulai pukul enam, berakhir jam delapan malam. Itu pun, masih berlanjut dengan acara makan malam, yang bisa dibilang sudah sangat terlewat waktunya untuk makan malam.
"Saya kira, kalian berdua pasangan suami istri."
Shilla yang sedang meminum minumannya. Seketika menyemburkan air yang berada di dalam mulutnya, saat mendengar ucapan dari Hansen.
"Apa kami terlihat seperti itu?" tanya Lio, yang mendapat lirikan tajam dari Shilla, setelahnya.
Hansen dan sekretarisnya mengangguk bersamaan.
"Kalian terlihat begitu serasi. Bahkan, cara kalian menatap satu sama lain, seperti penuh dengan cinta."
Shilla menggeleng, sambil melambaikan tangannya ke kanan dan ke kiri. "Saya hanya sekretarisnya aja, Pak. Bahkan, saat ini saya sedang menjalin hubungan dengan teman satu kantor."
Hansen dan sekretarisnya saling tatap. Kemudian, beralih menatap Lio dan Shilla bergantian.
"Padahal, biasanya penilaian Pak Hansen ga pernah meleset," ucap sekretaris Hansen, yang diketahui bernama Eddo.
Hansen memang bukan orang sembarangan. Dia, sangat pintar dalam membaca karakter seseorang. Maka dari itu, ia tak pernah gagal dalam bisnisnya. Ia selalu bisa membaca peluang kesuksesan, dari tiap kolega yang ditemuinya.
Maka tak heran. Lio sangat berusaha keras, agar kerjasamanya dengan Hansen bisa terjalin. Jika Hansen setuju untuk bekerjasama dengannya. Itu artinya, kemungkinan Lio untuk sukses sekitar delapan puluh persen.
"Kalau gitu, saya mohon maaf karena sudah salah mengira tentang hubungan kalian," ucap Hansen, sedikit menyesal.
"Ga masalah," jawab Lio, santai. Lagipula, Lio justru merasa senang jika mereka dibilang sebagai sepasang kekasih. Ia berharap hal itu bisa menjadi kenyataan, lagi.
"Tapi itu bisa menjadi masalah bagi saya, Pak Lio."
Ketiga pria yang ada di ruangan itu, seketika menoleh ke arah Shilla secara bersamaan.
"Saya takut, kekasih saya berpikiran buruk tentang hubungan kerja kita," lanjutnya.
Suasana menjadi hening sesaat. Hansen dan Eddo, merasa situasi menjadi canggung.
Shilla berdehem. "Maaf, jika saya agak sensitif," ucapnya, setelah menyadari suasana menjadi tak enak karena reaksinya.
"Lebih baik, kita habiskan makanannya." Hansen mencoba mengalihkan pembicaraan. Yang untungnya, pengalihan tersebut bisa dibilang berhasil. Suasana tak lagi canggung ia rasa.
Mereka masih terus berbincang. Hingga sebuah panggilan telepon dari istri Hansen, membuat ia harus pamit undur diri.
"Saya akan mempelajari kembali materinya. Jika saya rasa cocok. Saya sendiri yang akan langsung menghubungi anda," ucap Hansen, saat berjabat tangan dengan Lio.
"Saya akan menantikan kabar baik itu." Lio merasa sedikit lega, karena Hansen terlihat suka dengan presentasinya tadi.
Setelahnya, Hansen pamit untuk pulang terlebih dahulu. Meninggalkan Lio dan Shilla, yang masih diselimuti oleh suasana canggung saat berdua saja.
"Ayo!" ajak Lio, setelah mereka hanya terdiam selama beberapa saat.
Shilla mengangguk. Kemudian berjalan di belakang Lio, menuju parkiran mobil.
Sepanjang perjalanan kembali ke hotel. Keduanya kompak menutup mulut. Tak ada suara apa pun, yang terdengar di dalam mobil. Kecuali, helaan napas Shilla yang terdengar berat, beberapa kali. Lio sendiri, terlihat acuh sama sekali.
"Kita ga masuk ke parkiran mobil, Pak?" tanya Shilla, saat Lio memintanya untuk turun di depan hotel.
"Saya masih ada urusan di luar. Kamu bisa kembali duluan."
"Baik, Pak kalau gitu."
Mobil Lio langsung kembali membelah jalanan, saat Shilla baru saja menutup pintu mobil. Dan dalam hitungan kurang dari lima menit, mobil yang Lio kendarai sudah tak terlihat lagi oleh Shilla.
Shilla menghela napasnya, melihat tingkah Lio. Entah kenapa, ia merasa Lio seperti sedang tak baik-baik saja.
"Lupakan, Shil. Lu ga perlu khawatirin dia lagi," gumam Shilla, saat ia berjalan menuju ke kamarnya.
***
Shilla bangun sedikit telat. Semalam, ia terlalu asik berbincang dengan Pras di telepon. Bahkan ia sampai tak sadar, kapan ia tertidur lelap.
Dan kini, waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Gegas, Shilla membereskan semua barangnya. Karna seharusnya, ia dan Lio pulang pukul sembilan tadi.
Namun anehnya, saat ia mengecek ponsel tak ada satu pun, panggilan atau pesan dari Lio. Padahal biasanya, Lio akan menelpon berkali-kali jika Shilla terlambat dari jadwal. Karna Lio tak suka jika Shilla terlambat.
Shilla memilih mengabaikan hal itu terlebih dahulu. Dan memilih untuk mempercepat gerakannya saat membereskan barang.
Butuh waktu tiga puluh menit bagi Shilla, untuk menyiapkan segalanya. Termasuk, dirinya.
Sebisa mungkin, Shilla mandi dan merapihkan dirinya dengan cepat. Maka dari itu. Tak sampai lima belas menit, Shilla sudah rapih tampilannya.
Shilla memutuskan untuk menelepon Lio. Karna CEO-nya itu, belum juga menghubungi dirinya meski waktu telah berlalu lama. Ia takut, jika Lio sudah meninggalkan dirinya tanpa memberi tahu terlebih dahulu
Tiga kali memanggil. Dan masih belum dijawab oleh Lio.
"Apa gue beneran ditinggal, ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Untuk memastikan. Shilla memutuskan untuk mengecek kamar Lio terlebih dahulu. Siapa tahu, Lio masih ada di kamarnya. Harapnya dalam hati.
Beberapa kali Shilla mengetuk pintu kamar hotel Lio. Tapi tak ada sahutan dari dalam. Shilla pun, mencoba untuk membuka kamar itu sendiri dengan kartu kunci yang ia pegang.
"Kok, sepi," ucapnya, setelah pintu terbuka.
Dengan langkah perlahan, Shilla masuk ke dalam kamar itu. "Pak ... Pak Lio ...," panggilnya, yang juga tak mendapat sambutan.
"Pak Lio ... Astaga ...!"
Shilla langsung menutup matanya, saat ia menemukan Lio di atas kasur dalam keadaan bugil, tanpa sehelai benang pun, yang menutupi tubuhnya.
Sambil menutup mata, Shilla berjalan sambil membelakangi Lio. Ia meraih selimut yang berada di atas kasur, dan berusaha menutupi tubuh Lio dengan itu.
Shilla bisa bernapas sedikit lega, saat ia berhasil menutup tubuh Lio dengan selimut tersebut.
"Uh. Bau alkohol," keluh Shilla. Ia mengibaskan tangannya di depan wajah, untuk menghilangkan bau alkohol dari sekitar hidungnya. Meski sebenarnya, baunya tak semenyengat itu. Namun tetap saja, Shilla merasa sedikit terganggu karna ia tak terbiasa dengan baunya.
"Pak Lio. Bangun, Pak! Kita kan, mau pulang pagi ini." Shilla mengguncang pundak Lio pelan. Namun sepertinya, hal itu tak mampu menyadarkan Lio.
"Pak Lio. Bangun!" Kali ini, Shilla mengguncang lebih kencang.
Sepertinya kali ini usaha Shilla berhasil. Lio bergumam, setelah ia mengguncangnya.
Sayangnya, setelah itu Lio kembali terlelap.
"Lio, bangun!" teriak Shilla, tepat di telinga Lio.
Sontak saja, Lio menjadi kaget karnanya. Ia menyipitkan matanya, dan mendapati Shilla berdiri di hadapannya.
Dalam kondisi yang belum sadar itu. Lio menarik Shilla ke dalam pelukannya. Bahkan tanpa ragu, mengunci tubuh Shilla erat.
"Tolong lepasin saya, Pak," pinta Shilla, sambil berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Lio. Meski begitu, pelukan Lio terlalu erat dan membuatnya sulit untuk lepas.
"Ashi," panggil Lio, sambil tersenyum.
Sebelah tangan Lio memegang bagian belakang kepala Shilla. Kemudian menekan kepala Shilla. Membuat wajah Shilla, hanya berjarak beberapa centi dari wajah Lio.
"I miss you so bad," ucap Lio, dilanjut dengan aksinya mencium bibir Shilla, dalam.
Mata Shilla membulat, demi mendapat serangan tiba-tiba seperti ini dari Lio.