"Kamu ga makan sotonya?" tanya Lio, saat melihat Shilla hanya memandangi mangkuk soto di depannya, selama lima menit lebih.
"Hah? Oh, iya. Ini juga mau saya makan kok, Pak." Shilla mulai menyendok kuah soto panas itu.
Bukan tanpa sebab, Shilla memandangi mangkuk soto tersebut. Shilla, hanya tanpa sengaja teringat kenangan masa lalu. Kenangan bersama Lio, tepatnya.
Dulu, saat mereka masih berpacaran, mereka sering berjalan-jalan di akhir pekan. Mengunjungi berbagai tempat wisata. Bahkan mereka juga pernah pergi kemah bersama.
Dan biasanya, sesampainya di tempat tujuan, mereka pasti akan mencari penjual makanan yang berkuah. Entah itu bakso, atau soto, seperti sekarang.
Kini, setiap suap soto, yang masuk ke mulut Shilla. Membuat Shilla, semakin masuk ke dalam kenangannya.
Shilla tak bisa menikmati rasa sotonya. Tenggorokannya, entah mengapa terasa seperti sulit menerima makanan tersebut.
Sepuluh menit berlalu. Dan soto di mangkuk Lio telah tandas. Berbeda dengan mangkuk Shilla, yang hanya berkurang sedikit sekali.
Lio menatap Shilla dan mangkuk di hadapannya, secara bergantian. Ia merasa aneh, melihat Shilla yang seolah tak menyentuh salah satu makanan favoritnya itu. Wanita itu juga, hanya menatap lurus pada mangkuknya saja.
Bahkan, meski Lio menarik mangkuknya, dan membawanya untuk meminta dibungkus oleh salah satu pelayan di sana. Shilla tetap tak bergeming.
"Nih. Kamu bawa aja ke kamar hotel, dan makan di sana!" Shilla terkejut, saat Lio meletakkan bungkus plastik di hadapannya.
"Loh. Soto saya mana, Pak?" tanyanya, sambil memindai meja.
"Sotonya udah pindah, ke plastik di depan kamu," jawab Lio ketus.
"Kok, bisa?"
Memilih mengabaikan Shilla. Lio berlalu begitu saja, keluar dari kedai soto tersebut.
Melihat sang CEO meninggalkannya. Gegas, Shilla mengejar, untuk meminta jawaban Lio atas pertanyaannya tadi.
"Tunggu, Pak." Shilla meraih lengan Lio. Membuat gerakan berjalan lelaki itu, seketika berhenti.
"Bapak tadi mindahin soto saya ke plastik ini?" tanya Shilla, sambil mengangkat bungkusan plastik di tangannya.
Lio mendesah lelah. "Bukan saya yang mindahin, Shil. Tapi mas yang ada di sana, itu."
"Oh." Shilla menganggukkan kepalanya. "Eh, tapi tunggu dulu. Emang, kenapa harus di bungkus?" tanyanya lagi, yang membuat Lio semakin lelah.
"Biar ga mubadzir. Sayang kalo kebuang, karna ga dimakan sama kamu. Kamu kan, ga suka mubadzir."
Setelah menjawab seperti itu, Lio melepas pegangan tangan Shilla di lengannya. Dan memilih untuk meninggalkan Shilla, yang saat ini masih terdiam di tempat.
"Kenapa, sih kamu masih inget sama kebiasaan aku?" tanya Shilla, pada punggung Lio, yang berjalan semakin jauh dari dirinya.
Shilla mendesah, kemudian berjalan pelan jauh di belakang Lio.
***
"Jangan lupa, ke kamar saya jam tiga. Bawa juga semua berkas yang kita butuhin. Kita perlu mengecek lagi, untuk presentasi nanti."
Shilla terlonjak kaget, mendengar suara Lio tepat di dekat telinganya.
Saat ini, Shilla tengan berdiri di depan lift. Menunggu benda kotak itu, untuk turun ke bawah dan mengangkut dirinya ke lantai tujuannya.
Shilla pikir, Lio telah kembali ke kamarnya. Karna saat ia berjalan di luar tadi. Shilla sudah tak melihat keberadaan Lio di depannya. Ia tak menyangka, lelaki itu ternyata masih ada di sekitar loby dan malah membuatnya kaget seperti sekarang ini.
Lio sendiri, hanya menatap aneh pada Shilla yang terkejut. "Kenapa kamu sekaget itu?" tanyanya pada Shilla, yang masih memegangi dadanya.
"Ya, gimana ga kaget, Pak. Kalau Bapak tiba-tiba ngomong di belakang saya kaya gitu," omel Shilla tanpa sadar.
"Nih!" Lio menyodorkan sebuah kartu kunci pada Shilla.
"Ini maksudnya apa, Pak?" Sedikit ragu, Shilla menerima kartu kunci yang disodorkan padanya.
"Saya ga mau repot membuka pintu, saat kamu datang. Jadi lebih baik, kamu buka sendiri aja kuncinya."
Shilla mengerjap, demi mendengar penjelasan Lio barusan.
Denting lift terdengar. Dengan acuh, Lio masuk ke dalam ruang sempit itu. Mengabaikan Shilla yang masih bingung, sambil memandang kunci di tangannya.
"Kamu ga mau masuk?"
Pertanyaan Lio, sukses membuat Shilla tersadar. Dengan cepat, ia memasuki lift tersebut.
"Bapak yakin, ngasih kunci ini ke saya?"
Lio yang akan keluar dari lift, menghentikan langkahnya sejenak untuk menatap Shilla. Setelah itu, kembali melanjutkan langkahnya, tanpa menjawab pertanyaan Shilla.
Pintu tertutup, dan ruang kotak itu mulai bergerak naik lagi. Membawa Shilla, ke lantai di mana kamarnya berada.
***
Shilla berdiri di depan pintu kamar Lio dengan bimbang. Harus kah, ia masuk begitu saja. Atau kah, mengetuk pintu dan menunggu Lio mempersilahkannya dahulu.
Namun, dengan Lio memberikan kunci padanya. Bukan kah, itu artinya Lio sudah memberi izin padanya, untuk langsung masuk saja.
Setelah menimbang selama beberapa saat, Shilla memutuskan untuk mengetuk terlebih dahulu. Jika Lio memberi jawaban. Baru lah, ia akan masuk.
Tiga kali Shilla mengetuk. Namun, belum juga ia dapatkan jawaban dari Lio.
"Apa masih tidur, ya?"
Pasrah. Akhirnya Shilla membuka sendiri pintu kamar Lio.
"Permisi, Pak?"
Masih tak ada jawaban, meski Shilla sudah masuk ke dalam. Sepertinya, Lio tak ada di kamarnya. Karna kamar itu dalam keadaan sunyi.
Shilla sibuk memandangi kamar Lio. Kamar dengan tipe junior suit itu, lebih luas dibanding dengan kamar tipe standard yang Shilla pesan. Pemandangan dari jendela pun, terlihat lebih bagus.
Shilla meletakkan laptop dan berkas yang ia bawa, di atas meja ruang tamu. Setelahnya, ia berjalan ke arah jendela, dan menikmati pemandangan di sana.
Entah berapa menit Shilla berdiri. Belum juga ada tanda-tanda kedatangan Lio.
Shilla menguap. Kemudian, melirik ke arah ranjang yang terlihat begitu empuk dan nyaman.
Tanpa sadar. Shilla berjalan ke arah ranjang, dan merebahkan tubuhnya di sana. Shilla merasa lelah, karna sejujurnya, sejak tadi ia belum bisa beristirahat dengan benar sejak ia sampai di hotel.
Tak butuh waktu lama. Shilla, sudah terlelap dalam mimpinya.
***
Ciuman ini, adalah ciuman yang Shilla rindukan.
Ciumannya, dengan Lio.
***
Samar, Shilla mendengar suara kertas yang dibalik.
Memaksakan matanya, yang terasa begitu lengket, untuk terbuka meski sedikit. Seketika semua rasa kantuknya hilang, saat Shilla mendapati Lio tengah duduk di kursi, sambil membaca berkas yang tadi ia bawa.
Secepat kilat, Shilla bangun dan turun dari ranjang. Ia berusaha menyeimbangkan tubuhnya, karna rasa pusing yang menyerang akibat ia berdiri secara tiba-tiba.
"Maaf, Pak. Saya udah lancang tidur di ranjang Bapak," ucap Shilla menyesal.
"Ga masalah. Mungkin kamu terlalu lelah," jawab Lio, tanpa mengalihkan tatapannya dari berkas di tangannya.
Shilla meringis, mendengar ucapan Lio.
Detik berikutnya, mata Shilla membulat, kala melihat jam di dinding menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. Padahal, saat ke kamar Lio tadi, Shilla yakin baru jam tiga sore.
Itu artinya, ia sudah tertidur selama hampir dua jam lamanya.
Shilla duduk di hadapan Lio, dengan menunduk. Ia malu pada CEO-nya itu.
"Semua berkas udah saya periksa ulang. Dan ga ada masalah. Jadi kamu bisa langsung balik ke kamar kamu, buat siap-siap."
"Ba-baik, Pak."
Tanpa banyak kata, Shilla langsung membereskan semua berkasnya dan membawanya keluar dari kamar Lio. Ia bahkan lupa, untuk sekedar berpamitan pada atasannya itu.
Lio tersenyum, demi melihat tingkah sekretarisnya itu.
"Ashi, Ashi," gumam Lio, menyebut nama kecil Shilla, dengan gemas.