BAB 4

1478 Kata
Bagaimana rasanya? Tetap hidup, padahal sudah merasa 'bodoh amat' dengan kematian? Entahlah. Mungkin bagimu ada hari esok. Mungkin bagimu, ada ribuan, ratusan atau puluhan hari untuk bisa disia-siakan dan melakukan apa saja yang kamu suka. Karena kamu merasa masih ada banyak waktu yang tersisa, tanpa perlu tahu berapa jumlahnya. Mungkin bagimu tidak ada kekhawatiran untuk terus melangkah maju ke depan.sehingga pemikiran untuk setahun, lima tahun atau bahkan sepuluh tahun ke depan, bisa direncanakan tanpa perlu memikirkan tentang kematian. Kamu juga merasa bahwa menumpuk kekayaan dan hidup dalam kemewahan bukanlah hal mustahil yang bisa dirasakan selama hayat masih dikandung badan. Sayangnya, bagiku tidak demikian. Aku harus membiarkan dokter memberikan perkiraan. Padahal, aku tahu dia bukan Tuhan. Ironis, aku dan keluargaku tetap percaya dengan semua data-data medis yang terlihat memuakkan dan menghancurkan hidupku dalam sekejap mata. Aku terlihat semakin menyedihkan ketika harus mempercayakan hidupku untuk sebuah prosedur Operasi. Di mana hal itu merupakan salah satu pilihan yang dapat diambil hanya untuk dua kemungkinan, yaitu : tiket untuk perpanjangan hidupku atau sebaliknya. Operasi pembedahan kepala, begitu dokter Boy menyebutnya. Bagaimana rasanya saat tengkorak kepala dibedah? Aku tidak tahu pasti. Saat proses operasi berlangsung hingga selesai, aku sengaja dibius total sehingga tak sadarkan diri. Memang, aku sempat dibangunkan sejenak. Dokter menanyakan beberapa hal untuk memutuskan apakah operasi bisa diteruskan atau tidak. Setelahnya, aku kembali ditidurkan. Walau begitu, percaya atau tidak, aku dapat merasakannya. Rasa ngeri ketika gergaji kecil dokter membelah tengkorak kepalaku atau saat parasit itu dikeluarkan. Aku dapat benar-benar merasakannya seolah Tuhan sedang bicara bahwa hidup selalu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Dan setiap prosesnya, rasa sakit akan selalu menyertai. Everytime. Shit. Mataku terbuka. Aku belum tiba di Surga. Buktinya, aku dapat melihat Amanda serta kedua orang tuaku berdiri mengelilingi ranjangku. Wajah mereka menyunggingkan sebuah senyuman. Lebar. Entah palsu atau asli, aku tidak peduli. Welcome to the s**t world. "Renata sudah sadar, Ma," ucap Amanda gembira. "Iya, syukurlah," sahut Mama. Berikutnya, aku merasakan jemari-jemariku digenggam erat. Hangat. Entah oleh siapa. Aku terlalu lemah untuk sekadar menganalisa identitas si penggenggam. Sepertinya, otakku sedang melakukan aksi proses karena sebagian dari dirinya yang telanjur ada, sudah diangkat dan dikeluarkan dari sana. Parasit s****n. Maaf, tapi aku benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat. Tapi, who's care? Aku tetap akan mati meski tidak melakukannya. Walau begitu, Tuhan memperpanjang hidupku. Entah, berapa waktu tambahan yang telah diberikan-Nya. Aku tidak akan mengemis untuk itu. Lagi. "Sayang." Mama memanggilku. Wanita itu tampak menitikkan air mata haru. Aku sedikit tersentuh melihat itu. Rasanya, semua ketidakadilan yang dilakukannya selama ini padaku, mendadak seperti tidak pernah ada. Aku menghela napas memandang sekitarku. Aneh. Sepertinya, ini bukan ruanganku.  Bibirku tergerak, ingin bicara tetapi tak bisa. Rasanya, saat ini aku ingin bicara. Aku lupa, bahwa Tuhan tidak pernah memberikan keajaiban dalam banyak hal sekaligus. Dia seolah berkata, bahwa harusnya aku bersyukur karena bisa tetap hidup. Hidup tapi bisu. Itulah aku sekarang. Haha. Silahkan tertawa, aku mengizinkanmu untuk mewakiliku melakukannya. Pintu ruangan dibuka, dokter Boy masuk. Dengan seulas senyuman, dia mendatangiku. "Hai, Renata," sapanya ramah. Aku hanya mengedipkan kedua mataku bersamaan. Sebagai isyarat bahwa aku membalas sapaan ramah darinya. Dokter Boy kemudian melakukan pemeriksaan kesehatan kepadaku. Seperti yang biasa dilakukannya sebelum-sebelumnya. "Bagaimana keadaan Renata, Dokter?" tanya Papa. Dokter Boy mengulas senyuman tipis sekali lagi. Jika dipikir-pikir, dokter garing itu terlalu banyak tersenyum. Aku penasaran, apakah senyumannya sekadar keramahan atau memang sudah sikap aslinya demikian. "Setelah operasi yang berlangsung selama kurang lebih 5-6 jam, kami telah memantau keadaannya di ICU. Selama itu, kami juga telah pemberian obat anti-bengkak dan melakukan CT-Scan kepala sekali lagi. Hasilnya, saya bisa mengatakan bahwa kanker yang ada di kepala Renata bisa terangkat dengan maksimal. Juga tidak terjadi komplikasi atau pendarahan yang berlebihan. Namun karena CT-Scan kepala tidak sensitif untuk kanker jenis Glioblastoma[1], kami akan melakukan MRI sebulan lagi," jelas Dokter Boy panjang-lebar. "Syukurlah," ujar Mama merasa lega. "Kamu akan baik-baik saja, Sayang," kata Papa sembari mengulas senyuman tipis. "Lalu, bagaimana dengan kemampuan bicara Renata, Dokter?" tanya Mama seolah mengerti tentang pertanyaan yang juga ingin aku tanyakan. "Tenanglah, Bu. Kemampuan bicaranya akan segera kembali, maksimal tiga hari. Namun berhubung sempat terjadi bengkak saat operasi, kemampuan berpikirnya akan sedikit lambat dari biasanya. Nyambung, tetapi untuk menjawab pertanyaan butuh waktu. Hal ini akan berlangsung kurang lebih dua minggu," tandasnya. Papa dan Mama mengangguk mengerti setelah penjelasan panjang Dokter Boy. Sementara Amanda hanya berdiri diam. Entah apa yang dipikirkan olehnya. Berikutnya, dokter Boy berbincang dengan Papa di luar ruangan sehingga aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka. Barulah kemudian, aku dipindahkan ke ruanganku yang sebenarnya. Entah, tadi aku berada di mana. Sepertinya, aku tertidur lagi setelah sempat terbangun. Rasa mual dan nyeri di kepalaku berangsur kembali terasa di saat aku bangun untuk kedua kali. Namun, untuk kali ini, rasa sakitnya sudah sangat jauh berkurang. Dua hari pasca operasi, dokter Boy masih rajin memantau kondisiku secara berkala. Lelaki garing itu kini tidak pernah mencoba untuk melucu lagi. Sebaliknya, sekarang dia lebih sering memberikan saran-saran dan juga petuah-petuah seperti guru BK padaku. Aku menghela napas panjang, berusaha untuk serileks mungkin. Dokter Boy bilang kalau aku tidak boleh berpikir negatif, terlalu keras ataupun stress. Hal itu akan memberikan efek untuk perawatanku pasca operasi. Jadi, aku mencoba untuk mengikuti saran darinya. Aku mengarahkan pandanganku ke penjuru ruangan dan berakhir di sosok Mama, yang tertidur di kursi dekat ranjangku. Wajahnya terlihat sangat lelah. Mata tuanya yang keriput berwarna kehitaman, tidak sempat dirawat, sebagai efek kurang tidur. Memang, wanita itulah yang sering menemaniku selama aku di rumah sakit. Papa harus mencari uang. Aku memang akan mati. Akan tetapi, mereka juga butuh uang agar aku tidak tertendang dari rumah sakit. Belum lagi, Amanda. Gadis manja itu pasti tidak akan membiarkan aku memonopoli Papa dan Mama untuk diriku sendiri. Ini bukan asumsiku semata, tetapi kenyataan yang ada. Dering telpon dari ponsel Mama membuat wanita itu terbangun. Suaranya pelan, tetapi masih bisa terdengar. Lagipula, aku cuma tidak bisa bicara, bukan tuli. "Halo?" Mama tampak bicara serius dengan seseorang. Entah siapa. Namun pembicaraan singkat itu mampu membuat raut wajah Mama berubah seketika. Dia terlihat bingung dan linglung. Beberapa kali wanita itu menatapku sembari menggaruk-garuk keningnya. "Sayang, hm.." Wajah Mama terlihat pucat. "Mama akan segera kembali. Tidak akan lama. Hanya sebentar. Oke?" Mama buru-buru mengambil tas dengan tangan gemetar. Wanita itu melayangkan kecupan singkat di keningku. "Papa akan kemari untuk menemanimu. Jangan khawatir. Kamu tidak akan sendirian. Mama.." Wanita itu terlihat kalut. "Amanda..." Mama mengusap kedua wajahnya. Stress. Entah apa yang membuatnya begitu. Aku tidak tahu alasannya, hanya sempat mendengar Mama menyebut nama b*****h itu. Amanda. "Mama sayang Renata," katanya lalu pergi tanpa menoleh ke belakang lagi. Bahkan pintu ruangan pun tak ditutupnya  dengan sempurna. Aku mengepalkan tanganku. Geram. Selalu saja begini.  Amanda. Apa yang terjadi padanya sehingga Mama harus meninggalkan aku sendirian? Aku Renata, anakmu, Ma. Aku akan mati enam bulan lagi atau bahkan kurang dari itu. Kenapa kamu harus meninggalkan aku demi anakmu yang sehat walafiat itu? Seandainya, aku bisa mengoceh dan meluapkan semua amarah ini, pasti akan lebih melegakan untukku. Naas, aku hanya bisa menghela napas berat. Huft. Aku bangun dari tidurku, duduk di tepi kasur. Kondisiku sudah stabil sehingga sudah bisa duduk, berdiri atau berjalan. Bahkan menonton televisi atau memegang ponsel juga sudah boleh dilakukan. Hanya saja, kesehatanku harus selalu dievaluasi. Kemampuan bicaraku saja yang belum kembali. Sebentar. Itu janji Mama padaku. Aku menunggu. Satu jam. Dua jam. Lima jam. Munafik! Mama tidak datang. Papa pun demikian. Mereka pendusta! Aku mulai kehilangan kontrol. Rasa sakit di kepalaku semakin menjadi. Rasa mual dan nyeri di seluruh tubuhku mulai memberikan efek lanjutan. Aku jatuh terduduk dengan kepala menunduk. Rasa sakit di tubuhku tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit di hatiku sekarang. Orang tua yang aku anggap menyayangiku. Kenyataannya, hanya menyayangi kakakku saja. Lantas untuk apa aku dilahirkan? Untuk apa aku dibiarkan tetap hidup? Untuk apa, Tuhan? Jangan hanya melihat, jawab aku!! "Aku ingin mati. Aku ingin mati!" ocehku berulang kali dengan air mata yang bercucuran. Aku menangis, meraung dengan suara-suara jeritan hati yang sudah tidak bisa dipendam lagi. Frustrasi. Kedua tanganku terkepal di depan d**a. Bahkan tangan kiri memukul-mukul pelan dadaku. Dadaku terasa sakit. Sesak. Aku kesulitan bernapas. Sungguh, aku tak ingin lagi berada di dunia yang kejam ini. "Aku tidak sanggup, Tuhan.” Air mataku jatuh. Lagi. Untuk kesekian kalinya. "Jadi, kamu ingin mati?" Pertanyaan itu membuatku tertegun. Perlahan, aku mengangkat kepalaku. Pemandangan yang terlihat mustahil terpatri di kornea mataku sekarang. Seorang pemuda, kira-kira seusia Amanda, atau mungkin lebih tua sedikit, berdiri dengan memakai pakaian yang terbilang sederhana. Celana jeans dan kaos polos berwarna hitam yang dibalut jaket semi-kulit berwarna senada. Dia semakin terlihat menawan dengan sepatu kets dan jam tangan hitam. Manik matanya yang kecokelatan dan kulit putih pucat khas Bule itu menatapku dalam. Beautiful. Aku menelan ludah ketika seperti melihat daun-daun maple dan kelopak bunga Sakura bertaburan di antara kami. Terbang, seolah bersuka cita akan pertemuan kami. Ini bahkan bukan drama, tapi mampu membuatku berhalusinasi. Sepertinya, aku sudah mulai gila. "Si-siapa?" Suaraku yang sudah lama tidak keluar, tiba-tiba bisa didengar. Ini sungguh mengejutkan. Miracle. Aku bahkan baru sadar kalau sedang menatapnya tanpa berkedip. "Izrail." Jawaban darinya tidak hanya membuat jantungku seakan berhenti berdetak, tetapi juga memunculkan sebuah pertanyaan aneh di otakku sekarang. Apa Malaikat sudah berevolusi atau memang sedari awal, mereka tak bersayap? [1] Glioblastoma : kanker yang terbentuk dari sel berbentuk bintang di otak yang disebut dengan astrosit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN