BAB 5

1582 Kata
Ada lima tahapan yang harus dilalui oleh seseorang, ketika dia harus berhadapan dengan kejamnya kehidupan. Pertama, penolakan. Saat pertama kali dihadapkan pada sesuatu yang tidak diharapkan, seperti kematian, pengkhianatan atau hal lainnya, akan ada perasaan shock yang begitu kuat. Bahkan, bisa mengguncang kejiwaan. Terpukul, singkatnya demikian. Kedua adalah tahap kemarahan. Hal ini biasanya ditandai dengan perasaan frustrasi yang berkelanjutan dan pikiran tentang ketidakadilan dalam berbagai hal dan pada siapapun. Biasanya, cenderung merasa iri, sendiri dan tidak peduli lagi. Tahapan yang ketika adalah berunding. Setelah bergulat pada kemarahan dan emosi yang menguras tenaga secara fisik maupun psikis, maka selanjutnya akan mengacu pada sebuah pemikiran untuk berdamai dengan diri sendiri. Walau begitu, bukannya menerima, dalam tahap ini, biasanya akan berimajinasi. Kata-kata "seandainya" atau "jika saja.." adalah pemikiran yang sering dikatakan atau terpikirkan. Keempat adalah depresi. Kesedihan mendalam saat mulai menyadari bahwa yang terjadi tidak dapat diubah lagi, akan memberikan lubang besar di jiwa seseorang. Dia akan memikirkan bagaimana hidupnya selanjutnya. Bahkan, merasa tidak ada lagi masa depan. Dia akan Menangis, kehilangan nafsu makan, kesepian, dan mengalami insomnia. Tahap terakhir ialah penerimaan. Berhasil menyingkirkan depresi akan membuat seseorang mulai berpikir untuk melanjutkan hidup. Di sini, dia akan mulai membangun lagi reruntuhan psikisnya, hubungannya dengan orang lain dan juga berusaha untuk 'sembuh' dari kesedihan yang membelenggunya.[1] Lima tahapan ini tidak semuanya dialami seseorang. Ada kalanya, hanya butuh tiga tahapan untuk bisa ke tahap lima. Dalam hal ini, periode waktu yang dibutuhkan seseorang untuk bisa mencapai tahap lima tidak sama. Hal itu bergantung pada setiap personal. Terkadang, beberapa orang membutuhkan waktu lebih lama atau sebaliknya untuk sembuh daripada yang lain. Begitulah penjelasan panjang-lebar yang dikatakan olehnya, Izrail, pemuda dengan aroma bunga mawar yang menyengat, padaku tadi. Entah darimana asalnya. Dia hanya memberikanku petuah lalu pergi tanpa kata-kata perpisahan. Dia seolah mengatakan belum saatnya aku mati. Walau begitu, dia memberikan aku sebuah PR besar. "Jadi, kamu ditahap yang mana?" Saat itu, aku terlalu linglung sehingga tak bisa memberikan jawaban. Menatapnya yang begitu menyilaukan itu telah membuatku kehilangan akal sehatku. Walau aku masih penasaran, dia manusia atau benar-benar malaikat. Izrail, nama itu begitu memberikan kesan yang mendalam. Dia berbeda. Bahkan, melihat punggungnya dari belakang saat dia pergi, telah membuatku menahan napas. Indah. Mama kembali tak lama setelah kepergian Izrail. Wanita itu masih mengingat kalau mempunyai seorang anak sepertiku. Memang, Mama meminta maaf, tetapi itu tidak lantas menghapus rasa kecewa yang terlanjur ada. Namun, aku tidak sanggup untuk mengekspresikan kecewaanku. Badanku terasa akan hancur, bahkan menguap seperti udara. Mual dan pening adalah dua perasaan yang paling terasa saat ini. Setiap detik yang berlalu, kesakitan yang aku rasakan semakin meningkat. Efek penghilang rasa sakit yang diberikan Dokter perlahan menghilang sehingga inilah apa yang sebenarnya tubuhku rasakan tanpa obat itu. Mungkin inilah yang disebut dengan neraka. "Renata." Mama menggenggam tanganku. Aku yang sedang berjuang mengatasi rasa panas di sekujur tubuhku hanya mampu mengedipkan mata yang nyaris terpejam, tidak sanggup menahan sakit luar biasa. Aku sudah seperti kepiting yang direbus dengan suhu 100° Celcius. Mama dengan sabar menyeka keringat di tubuhku dengan kain basah. Hangat. Rasa panas dan hangat yang beradu memberikan rasa sejuk setiap kali angin menerpa pori-pori kulitku. Kamarku yang luas jadi terasa sempit. Keberadaan Mama di sampingku menjadi satu-satunya hal yang aku inginkan saat ini. Tidak lebih. "Renata." Suara Mama terdengar lagi membuatku yang nyaris memejamkan mata kembali tersadar. Wanita itu sedang menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Jangan mati," katanya. Aku berkedip, bingung. Rasa ngantuk dan lelah yang terlanjur merenggut hampir dari setengah kesadaranku sangat bertolak belakang dengan rasa ingin tahuku saat ini. Ini pertama kalinya, Mama mau mengungkapkan isi hatinya. "Tolong, Re." Mama mempererat genggaman tangannya. "Tolong dia." Dia? Siapa? Apa mungkin Mama mengingau? Akulah yang seharusnya ditolong saat ini. Mungkin Mama lupa. Aku, Renata Simons, akan segera mati. Bukan orang lain. Bagaimana mungkin orang sekarat sepertiku bisa menolong orang lain. Padahal menolong diriku sendiriku saja tidak bisa. Apa Mama sedang meledekku? Entahlah, aku tidak mau memikirkannya sekarang. Gelap. Sepertinya aku sudah terlelap. Maaf, Ma. Lain kali, mungkin akan menolongnya. Siapapun boleh, kecuali Amanda. *** Sakit kepala j*****m. Tidurku kali ini sepertinya sangat lelap sehingga rasa sakitnya menjadi dua kali lipat. Walau tidak sesakit sebelum aku dioperasi, rasanya tetap sama. Menyakitkan. Sangat. Kali ini aku tidak berharap untuk segera mati. Karena aku tahu, Tuhan tidak akan membiarkan aku untuk mati semudah itu. Never. Dia akan memaksaku untuk melalui penderitaan yang menyakitkan sebelum akhirnya memutuskan untuk menggiringku kepada kematian. Satu suntikan penghilang rasa sakit menyelamatkanku. Dokter Boy bergerak cepat. Pagi ini dia telah menjadi pahlawan. Berkatnya, aku tidak sampai mengalami kejang atau mimisan. Bisa dibilang, belum. Penanganan yang cepat dan tepat membuat dua fase itu tertunda. "Renata, jangan terlalu stress," nasehat dokter Boy sembari menoel-noel dahi bagian tengah, berusaha membuatku rileks dengan melepaskan syaraf-syaraf di antara kedua mataku itu. "Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Mama yang masih setia menemaniku. Sepertinya dia ingin menebus kesalahannya kemarin sehingga tidak beranjak dari ruanganku sama sekali. "Renata baik-baik saja, Bu. Jangan khawatir. Jika kondisinya terus stabil, Renata bisa segera melakukan kemoterapi untuk pengobatan lanjutan," jawab dokter Boy. Kemoterapi. Satu kata itu mengangguku. Tidak, itu bukan nama orang atau sejenis nama ilmu pengetahuan di Sekolah, melainkan sebuah proses mengerikan yang biasanya akan membuat pasien menjadi botak. Aku sering kali melihat itu di acara Televisi, film atau drama. Bahkan Novel yang aku baca pun juga menuliskan hal yang serupa. "Kenapa? Kamu berpikir akan menjadi Saitama jika Kemoterapi?" tebak dokter Boy. Aku ingin menganggukkan kepalaku tetapi tubuhku bergerak lebih lambat dari yang biasa aku lakukan. "Jangan khawatir, banyak gadis botak tetapi tetap cantik," imbuh dokter Boy. Aku hanya diam. "Istirahatlah," suruh dokter Boy seolah memang tidak mengharapkan respon dariku. "Hari ini matahari masih bersinar dengan indah." Dokter Boy lalu pergi meninggalkan ruanganku. Saat Dokter garing itu telah tak terlihat, barulah aku bisa menganggukkan kepalaku. Aku menjadi seperti Siput. Lamban. Mama mengelus-ngelus kepalaku dengan seulas senyum yang menyegarkan. Wanita itu menjadi sangat hangat dan penuh kasih syaang lebih dari biasanya. Walau aku juga penasaran, apa yang membuat matanya selalu tampak sembab. Apa mungkin itu karena aku? Apa pada akhirnya Mama menyadari betapa berharganya aku dalam hidupnya? Benarkah begitu? Tidak. Jangan berharap aku akan berpikir begitu. Aku tidak akan memohon. Lagi. Pada Tuhan atau siapapun. Berharap pada manusia adalah jalur cepat menuju kekecewaan. Aku tidak mau melakukannya, bahkan meski bumi dan langit mempermainkan aku. Mama menarik tangannya. Sebuah telpon masuk telah membuatnya menjauh. Firasatku menduga bahwa dia akan meninggalkanku lagi. See? Berharap itu hanya menyakiti diri sendiri. "Renata," panggil Mama dengan senyuman lebar. "Teman sekelasmu datang menjenguk," katanya dengan mata berbinar. Teman Sekelas? Ah, aku lupa. Pintu ruangan dibuka, tampak Pak Ahmad, wali kelasku dan sebagian teman sekelasku masuk ke dalam ruanganku. Mereka datang dengan membawakan banyak hadiah untukku. "Renata. Hai," sapa Ilyas, ketua kelasku. "Hai, Renata." "Hai." "Pagi, Rere." Sapaan berulang itu mulai memenuhi indera pendengaranku. Teman-teman sekelasku datang. Bibirku tersenyum lebar hanya dengan hal sekecil ini. Kami mengobrol. Tidak. Mereka mengobrol denganku yang hanya mendengarkan setiap cerita yang mereka perdengarkan. Walau terkadang, gerak bibir mereka tidak singkron dengan suara yang terdengar. Otakku sepertinya sedang error. Aku bahagia. Kehadiran mereka membuatku menyadari bahwa masih ada orang yang peduli padaku. Meski setelah ini mereka akan melupakan aku yang sudah berhenti sekolah dan bukan lagi menjadi bagian dari mereka, aku tidak peduli. Untuk saat ini, aku ingin merekam kenangan hari ini di otakku yang error ini. Dengan begitu, mereka akan mengingatku setiap kali mereka mendengar nama Renata meski hanya sesaat. Sedetik pun tak apa. Pertunjukan berakhir. Semua sudah pulang dan kembali ke rumahnya masing-masing. Tinggallah aku dan Mama, berdua, di ruangan yang sama dengan kenyataan yang masih sama. Selain boneka beruang dan Doraemon, tidak ada lagi tambahan di ranjangku. Hadiah lain seperti buku, baju dan sebagainya Mama singkirkan. Aku tidak keberatan. Terlebih, aku tidak membutuhkannya. Ponsel. Benda berbentuk pipih itu hanya diam, berada di meja dekat ranjangku. Aku telah lama mengabaikannya. Mungkin dayanya sudah habis atau rusak. Aku melemparnya kemarin untuk melampiaskan amarah yang membara di relung jiwaku. Seorang perawat datang, memeriksaku seperti biasanya. Dia mencatat sesuatu di laporannya lalu dengan ramah memohon izin untuk pergi. "Sayang, tunggu di sini sebentar," ujar Mama lalu keluar. Sebentar. Aku tidak percaya dengan kata itu sekarang. Lebih tepatnya, tidak peduli. Pintu ruanganku dibuka. Mungkinkah... Mama? Aku tertegun, mendapati seorang pemuda yang sama dengan yang kemarin. Dia tersenyum. Pakaiannya masih sama, serba hitam. Yang berbeda, kini dia memakai kemeja hitam. "Jadi, apa kamu masih ingi mati?" Aku terpaku, tenggelam dalam sorot matanya yang tajam, langsung mengarah ke dalam retina mataku. "Atau, kamu sudah memiliki jawaban atas pertanyaanku?" Ah.. Bibirnya merah sekali. Apa dia memakai lipstik? "Kamu, dalam tahap apa?" Heh? Pemuda itu mendekat lalu mencengkram wajahku dengan tangan kanannya. Walau begitu, jemarinya tidak menghalangi pandanganku. Aku masih bisa melihat matanya yang mempesona. "Jangan mengabaikan aku, Renata. Kamu tidak benar-benar berharap untuk mati bukan?" Aku memang tidak berharap. "Kenapa? Apa kamu merasa bahwa Tuhan memperlakukanmu secara tidak adil? Apa kamu merasa bahwa kamu satu-satunya yang paling menderita?" tanyanya bertubi-tubi. Lagi-lagi. Gerak bibirnya tidak selaras dengan suara yang aku dengar. Bak sebuah mesin, aku mengalami kerusakan hardware yang membuatku tidak bisa berfungsi dengan baik. Lalu bagaimana caraku menjawab setiap pertanyaan darinya? Izrail menyingkirkan tangannya sehingga aku bisa melihat keseluruhan wajahnya tanpa hambatan. Wajahnya datar, dingin dan sedikit menyeramkan. Walau begitu, sorot matanya menunjukkan kesedihan yang dalam sehingga mengisapku masuk ke dalamnya. Kesedihan yang sama, meski di level berbeda. Izrail menghela napas panjang. "Aku iri padamu," katanya. "Seandainya aku bisa mati secara alami sepertimu. Pasti, akan sangat menyenangkan." Ulu hatiku diremas. Bukan karena kata-kata bullshit yang baru saja dia katakan. Tetapi mata sedih yang baru saja dia perlihatkan padaku. Dia memang melihat ke arahku tetapi tidak sedang menatapku. Siapa atau apa yang dia lihat? Aku sungguh ingin tahu. "Aku akan datang lagi besok. Dah." Dia berbalik. Jangan pergi! Pintu ruangan ditutup. Tanganku yang lamban membuatku terlambat untuk mencegahnya pergi. Aku akan datang lagi. Kata-kata itu telah menjawab salah satu pertanyaan besarku padanya. Dia manusia. [1] Lima tahapan tersebut dilansir dari h***:://www.hipwee.com/list/5-tahapan-kesedihan-yang-harus-kamu-ketahui/
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN