Hening yang Menyiksa 1

745 Kata
Akhir Perselingkuhan - Hening yang Menyiksa Malam kian larut. Sunyi. Yang terdengar hanya bunyi keyboard laptop dari ruang kerja Ferdy. Sudah beberapa malam ini, ia kerja lembur di rumah. Ada mega proyek yang akan ditangani bulan depan. Sebelum pergi liburan tiga hari lagi, urusannya harus selesai. Shafira sudah masuk kamar sejak tadi. Biasanya dulu ia akan menemani dan sedikit membantu jika Ferdy lembur. Tapi sekarang Shafira benar-benar menjaga jarak. Terkadang Ferdy merasa sebegitu menjijikkankah dia? Hingga tersentuh sedikit saja istrinya menghindar. Ferdy tersenyum getir sambil memandang layar laptop. Tentu saja menjijikkan, tubuhnya sudah dibiarkan dinikmati perempuan lain. Tangannya bertumpu pada meja, lantas memijit pelipis. Rasa pusing yang siang tadi diabaikan, kini terasa lagi. Jadi kebiasaan, kalau kelewat lelah pasti akan seperti itu. Apalagi sejak pulang dari Balikpapan, kerjaannya semakin banyak. Melelahkan. Belum lagi dengan permasalahan yang di ciptakannya sendiri. * * * Shafira berulang kali memandang ke arah ruang tengah yang ada tangga ke lantai atas. Sarapan sudah di hidangkan. Dan sekarang jarum jam lima menit lagi akan menunjuk tepat ke pukul tujuh. Tapi Ferdy belum juga turun. Wanita itu bergegas ke bangunan bagian belakang dapur, dimana biasanya ia mencuci pakaian. Setelah memilah beberapa baju, lalu memasukkan ke mesin cuci. Lima belas menit berlalu, Ferdy belum juga turun. Ada rasa tak enak menyelinap. Shafira segera bergegas menyusul ke kamar. Nampak di atas ranjang suaminya masih meringkuk dibawah selimut. Sejak mereka pisah kamar, Ferdy tidak pernah menutup pintu kamarnya. Walaupun AC dinyalakan. Apa karena lembur semalam, jadi kesiangan. Batin Shafira. "Mas," panggil Shafira mendekat. "Hmm ...," jawaban yang lemah. "Kok belum bangun, sudah hampir setengah delapan." Shafira masih berdiri tidak jauh dari ranjang. Ferdy mengangkat wajah memandang istrinya. Wajahnya agak pucat. "Mas nggak kerja?" "Sakit?" "Sedikit pusing." Shafira mendekat, meraba kening Ferdy. Ya, badannya panas. "Baiklah, aku ambilkan sarapan sama obat." Shafira kembali bergegas turun ke bawah. Mengambil seporsi nasi berlauk ayam bakar sama segelas air putih. Tidak lupa mengambil obat di kotak P3K yang menempel di dinding ruang tengah. "Sarapan dulu, Mas," kata Shafira sambil duduk ditepi pembaringan. Ferdy bangun dan duduk. Shafira meletakkan piring di pangkuan suaminya. Setelah itu ia melangkah ke arah jendela dan membukanya. Cahaya mentari dan udara pagi menerobos masuk. Shafira duduk di kursi meja rias yang biasa digunakannya, menunggu Ferdy selesai makan. Mungkin karena ditunggui, dan bagi Ferdy cukup istimewa untuk kali ini, akhirnya bersemangat menghabiskan sarapan. Meskipun rasa di mulutnya terasa pahit. Shafira menyodorkan obat setelah Ferdy selesai makan. "Terima kasih." Setelah itu Shafira bangkit berdiri. Mengambil piring kosong dan gelas di nakas untuk dibawa turun. Ia sudah sangat lapar dan ingin segera sarapan. Ferdy memandang punggung itu hingga hilang di balik pintu. Sejenak setelah Shafira keluar kamar, ia meraih ponsel di nakas. Menelfon Cici. "Bu Merry ada disini, Pak," kata Cici setelah Ferdy bilang tidak bisa masuk kerja dan memberi beberapa pengarahan pada asistennya. "Urus aja, Ci." "Bu Merry nunggu, Bapak, katanya." "Bilang ke dia. Untuk semua urusan kerjaan sekarang lewat kamu saja ... nggak usah ngomong apa-apa lagi. Aku mau istirahat." Tup. Telfon di matikan. Ferdy kembali merebahkan diri setelah menyingkap selimut. Rasa kantuk kembali menyerang, efek dari minum obat. * * * Shafira sibuk membuat bubur nasi di dapur, dan masak tim ikan gabus untuk Ferdy. Untung Cak Imin yang jualan sayur keliling tadi bawa ikan itu. Biasanya kalau suaminya sakit, Shafira akan memasak ikan gabus. Karena ikan itu dipercaya cepat memulihkan kondisi kesehatan. Untung saja kondisinya yang lagi hamil muda tidak mengalami morning sickness. Jadi masih bisa beraktivitas seperti biasa dan tidak merepotkan suaminya. "Masak apa?" tanya Ferdy tepat di belakang punggung Shafira. Bahkan hembusan nafas pria itu terasa di tengkuk istrinya. Shafira menoleh, wajah keduanya hampir bersentuhan. Wanita itu segera menarik diri agak menjauh. "Masak ikan gabus," jawab Shafira. "Nggak usah capek-capek. Sayang, lagi hamil 'kan?" "Udahlah, nggak usah sok care begitu. Aku hanya melakukan tugas sebagai istri, sebelum kita bercerai." Shafira berkata sambil mematikan kompor. Masak sudah usai. "Sha. Apa tidak ada lagi peluang untuk kita memperbaiki semuanya. Kita akan jadi orang tua. Biarlah anak kita tumbuh bersama orang tua yang lengkap." Bagai anak panah yang melesat dari busur mengenai tepat di jantung. Hingga seolah membuatnya berhenti sesaat dari detaknya. 'Orang tua yang lengkap', kata itu demikian mengena dibenaknya. Shafira menunduk dan terdiam. Kedua tangannya bertumpu pada meja keramik dapur. Perih mencabik perasaan. Karena ia telah tahu bagaimana rasanya. Hidup tanpa orang tua. Ferdy mendekat, meraih tubuh mungil istrinya dalam dekapan. Kali ini Shafira tidak menolak. Wanita itu menangis. "Sha, maafin Mas, ya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN