Ferdy nampak panik setelah beberapa panggilan tidak dijawab oleh Shafira. Ia gelisah duduk di kursi belakang meja kerjanya. Arloji di pergelangan tangan dilihat. Pukul sebelas lebih lima belas menit.
Segera diraihnya telepon di meja kerja.
"Ke ruanganku, Ci." Ferdy kembali meletakkan gagang telepon. Tidak lama kemudian masuk asisten pribadinya.
"Ya, Pak."
"Pukul berapa pihak Adi Karya akan sampe? Masih lama?"
"Mungkin setengah jam lagi akan sampe, Pak. Mereka menelfon sudah ada di jalan tol."
"Hmm ... ya sudah."
Cici kembali pergi dan menutup pintu. Ferdy mendengkus kesal. Ia tidak akan punya waktu lagi untuk keluar. Sial. Kegalauan itu benar-benar menyesakkan dadanya.
Kembali diraihnya ponsel. Dan menghujani Shafira dengan pesan, tapi tetap tidak ada balasan. Bahkan dibuka pun tidak.
Kekhawatiran melanda jiwa Ferdy. Khawatir terjadi sesuatu dengan wanita yang tidak ingin Ferdy kehilangannya.
Tubuh tegapnya ia sandarkan di punggung kursi. Wajahnya tengadah dengan mata terpejam.
Ferdy mengingat perkenalannya dengan Shafira sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu ia terbaring sakit karena demam tinggi. Kecapekan, tenaga terlalu di forsir di kerjaan. Dalam lemahnya tubuh, ia memandang seorang perawat berseragam biru muda sedang sibuk membenahi selang infusnya.
"Mas, tadi baru dari kamar mandi atau gimana ini. Kok darahnya banyak naik ke selang infus," gerutu perawat yang name tag-nya bertuliskan nama Shafira.
"Ya, Mbak. Tadi habis buang air kecil."
"Nggak ada yang nungguin, ya?"
"Ada. Mama saya. Beliau masih sholat dhuhur. Nggak mungkin kan, saya manggil perawat untuk bantu saya ke kamar mandi."
Shafira tersenyum simpul sambil mencabut selang insfus, dan membuang darah ke wadah berwarna perak.
"Nanti hati-hati ya, Mas."
Ferdy mengangguk sambil meringis saat suster menancapkan kembali selang infus yang telah dilepas dari jarumnya, agar bisa mengeluarkan darah yang hampir menggumpal di selang infus.
"Mbak Suster, udah lama kerja di sini?"
"Baru tujuh bulanan."
"O, bentar lagi lahiran, dong."
Dahi Shafira mengernyit tak paham, "maksudnya?"
"Ya iya, katanya tujuh bulanan. Kan sembilan bulan sepuluh hari akan lahiran."
"Ah, Mas, bisa aja." Shafira tertawa kecil dan terlihat malu.
Ketika seorang pasien ingin segera meninggalkan ranjang rumah sakit dan terbebas dari sakitnya, tapi ini berbeda dengan Ferdy. Rasanya ia enggan pulang. Wajah cantik itu sudah memikatnya dengan kesantunan dalam berbudi bahasa.
"Kata dokter. Hari ini, Mas, sudah bisa pulang. Jangan lupa di minum obatnya," kata Shafira sambil melepaskan selang infus."
"Bisa ditunda nggak pulangnya?"
Mata Shafira menyipit heran, "kenapa? Harusnya, Mas, senang 'kan sudah sembuh dan bisa pulang."
"Kayaknya bakalan ada yang tertinggal disini."
"Ya nanti kalau mau pulang, dicek betul-betul barang bawaannya, Mas."
"Udah nggak bisa dibawa pulang, Mbak."
"Memangnya apa itu, Mas?" tanya Shafira sambil membereskan selang infus yang baru dilepasnya.
"Hati saya."
Shafira masih tetap tak paham, "kok bisa?". Masih heran nampak di wajah polos gadis itu.
"Bisa."
Akhirnya Shafira membawa semua infus bekas dan beberapa perlengkapan lainnya di tangan.
"Mas, ini ada-ada saja. Ya sudah, saya keluar dulu. Jaga kesehatan, Mas. Jangan lupa obatnya rutin di minum ya."
Setelah tersenyum dengan begitu manisnya, Shafira keluar ruangan. Meninggalkan Ferdy yang sebenarnya masih ingin ngobrol. Tidak lama kemudian, kakaknya, Mbak Lena masuk setelah menyelesaikan pembayaran perawatan Ferdy.
"Hei, ngapain manyun gitu," tegur Mbak Lena.
"Cantik 'kan suster Shafira tadi. Polos banget dia."
"Hish ...," ucap Mbak Lena sambil mendelik.
Seminggu setelah Ferdy keluar dari rumah sakit, Ferdy nekad menemui Shafira di tempat kerja. Tapi sayang, waktu itu Shafira jadwalnya cuti kerja. Dan seorang rekan sejawat memberitahu alamat kost-annya. Lantas dengan motor besarnya, Ferdy meluncur ke sebuah gang sempit tempat kos Shafira.
Gadis itu nampak kaget ketika ibu kos memberitahu bahwa ada teman yang mencarinya.
"Lho, kok Mas ada disini?" tanya Shafira kaget bercampur heran.
Ferdy tersenyum, "iya. Mau mengencani kamu." Gombalan Ferdy yang amat berterus terang itu membuat Shafira bingung, bukan tersipu malu seperti gadis yang sedang digoda.
Begitu kebersamaan mereka memasuki tahun ketiga, Ferdy mulai berfikir untuk melangkah lebih serius lagi. Bersusah payah ia meyakinkan Shafira tentang keseriusannya.
Alasan Shafira ragu bukan karena ia tidak punya perasaan yang sama. Tapi bisakah keluarga Ferdy menerima kondisinya? Dan akhirnya semua terbantahkan ketika dengan senang hati, mama Ferdy begitu welcome saat ia diajak pertama kali menemui wanita anggun itu. Begitu juga dengan kakak-kakaknya pria itu. Mereka adalah orang-orang yang baik.
Pernikahan berlangsung cukup meriah. Keluarga Ferdy cukup terpandang di lingkungannya. Apalagi waktu itu untuk terakhir kalinya Bu Aida mantu, karena Ferdy anak bungsu. Namun sepanjang proses itu, Shafira hanya diliputi keharuan. Haru karena telah memiliki keluarga baru dan bisa menerima dia apa adanya.
Mata Ferdy terpejam saat mengingat semuanya. Begitu indah untuk diingat, tapi sangat sakit jika berujung begini. Semua karena kesalahan fatalnya.
* * *
"Kamu nggak apa-apa, Sha?" tanya Ferdy tergopoh-gopoh menghampiri Shafira yang sedang menyiapkan makan malam. Ada kekhawatiran nampak di netra pria itu.
Shafira terus sibuk dan hanya menjawab dengan menggelengkan kepala.
"Mas mandi dulu." Ferdy segera bergegas menaiki tangga. Hari ini dia pulang telat. Karena jadwal meeting dengan pihak Adi Karya molor panjang.
Shafira menyiapkan semangkuk opor ayam dan tumis daun pakis di atas meja makan. Membuatkan teh hangat di gelas kesayangan suaminya. Gelas keramik warna putih yang tercetak foto mereka berdua. Hadiah dari kakak ipar di anniversary pernikahan ke sembilan.
Sejenak Shafira mengamati. Ada pedih kembali merayap dikisi-kisi hati. Mungkin semua hanya akan jadi kenangan ... tidak lama lagi.
Tampaknya Ferdy tidak ingin berlama-lama mandi. Karena sejak siang tadi ia tidak sabar ingin segera bertemu istrinya. Dengan langkah cepat ia turun ke bawah. Shafira yang melihat suaminya muncul segera mengambilkan nasi ke piring.
Ferdy menarik kursi dan duduk.
"Sha, Mas ingin bicara ya nanti."
"Makan dulu aja," ucap Shafira sambil menggeser mangkuk opor ke hadapan suaminya.
Mereka berdua makan dengan cepat. Karena sama-sama punya keperluan. Shafira ada sesuatu yang hendak disampaikan, dan Ferdy ingin tahu dengan kejadian siang tadi.
"Sha, kenapa ketemuan sama Merry?" tanya Ferdy setelah makan malam selesai.
"Kenapa? Apa, Mas, khawatir kalau aku menjambak atau mencakar-cakar dia. Tenang saja, Mas. Aku tidak akan melakukan itu di depan umum dan mempermalukan diri sendiri. Aku tidak ingin mengotori tanganku untuk pelampiasan rasa marah dan cemburu. Disini ada bayi yang harus aku kasih contoh yang baik." Panjang jawaban Shafira.
"Bukan itu, Sha. Aku justru mengkhawatirkan dirimu."
Shafira tersenyum tipis.
"Sekarang, Mas, baru khawatir. Kemarin saat melakukan itu dengan perempuan lain, Mas, nggak khawatir."
"Sha ...."
"Aku nggak apa-apa. Kami nggak sengaja ketemu. Itupun ada Mbak Lena disana.
Dan ....
Aku juga ingin bilang, bahwa aku sudah mendapatkan tempat tinggal dan pekerjaan."
Ferdy kaget, "maksudnya?"
"Aku akan kerja di klinik dokter Rita. Dan tinggal disana. Sambil nunggu, Mas, ngurus surat cerai."
Sekali lagi ada yang terhempas dari benak Ferdy. Perpisahan yang diminta Shafira dan perasaannya. Berbagai rasa penyesalan berkecamuk jadi satu. Gini aja rasanya sudah tidak karuan. Dan bagaimana jadinya kalau waktu itu Merry setuju menikah siri. Ferdy menekan kedua sudut mata dengan dua ujung jari. Hampir saja hal terbodoh terjadi.
Keheningan sejenak itu, dibuyarkan dengan panggilan masuk dari ponsel Ferdy di saku celananya. Panggilan dari mama.
"Assalamualaikum, Ma."
"Waalaikumsalam, kamu sudah di rumah ya?"
"Sudah."
"Mana Shafira, mama mau bicara."
Ferdy menyodorkan ponsel pada istrinya, "mama mau ngomong."
"Ya, Ma."
"Kamu baik-baik saja, kan? Mama belum bisa datang. Nanti sekalian kita ketemu waktu liburan. Udah diberitahu Ferdy, kan."
"Iya, Ma," jawab Shafira yang sebenarnya tahu hal itu dari Mbak Lena. Karena Ferdy belum bicara.
"Ya udah, kalau kamu baik-baik saja. Mama sholat isya dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Telfon ditutup dan Shafira mengembalikan ponsel pada Ferdy.
"Kita liburan bareng-bareng, Sha, Minggu depan."
"Nanti aku pikirkan dulu ya, Mas," jawab Shafira sambil berdiri dan mengambil piring-piring kotor di meja.
"Mas bantuin."
"Nggak usah."
"Nggak apa-apa."
Keduanya memegang mangkuk yang tinggal berisi kuah opor bersama-sama. Terjadi tarik menarik sebentar. Dan ... ups, kuah opor tumpah ke meja, mengalir membasahi kaos Ferdy yang mepet di meja makan.
"Maaf," kata Shafira.
"Nggak apa-apa."
Ferdy melepaskan kaos hitamnya. Nampaklah tubuh yang begitu terjaga. Ada yang berdesir dibenak Shafira. Sebuah rasa seperti ketika mereka masih baik-baik saja. Dan sesuatu menyadarkannya, bahwa tubuh itu pernah juga dinikmati perempuan lain. Shafira segera berlalu, bersama sakit yang kembali mendera.
Next ....