Sebuah Harapan 2

821 Kata
Shafira tersenyum haru. Tidak menyangka akan dapat solusi secepat ini. "Aku tinggal di paviliun saja, Mbak," ujar Shafira antusias penuh senyum, membuat dokter Rita juga tersenyum gembira. "Kapan saja kamu mau pindah, silahkan. Bereskan dulu urusanmu sama Ferdy. Apapun keputusan yang kamu anggap baik, Mbak mendukungmu. Mbak sudah membicarakan hal ini dengan Mas Ilham." Shafira mengangguk. Dulu, dua tahun setelah menikah dengan Ferdy, Shafira resign dari pekerjaannya sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Karena fokus mau punya anak. Waktu itu, klinik bersalin dokter Rita belum berdiri. Dan sekarang ia akan melanjutkan pekerjaan itu lagi. Seorang pasien yang harus di ambil tindakan cesar oleh dokter Rita membuat Shafira segera berpamitan pulang. Ketika melangkah ke halte. Ponsel di pouch-nya berbunyi. Ada nama Mbak Lena tertera di layar. Mbak Lena adalah kakak sulung Ferdy. "Assalamualaikum, Mbak." "Waalaikumsalam, Sha. Kamu dimana?" "Ini mau pulang. Dari kliniknya dokter Rita, Mbak. Ada apa?" "Baiklah, Mbak jemput. Kebetulan ada di jalan ini. Tunggu, ya!" "Iya, Mbak. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Setelah tersenyum pada tiga orang ibu-ibu yang lebih dulu duduk di halte, Shafira duduk di sisi lainnya. Walaupun tatapannya melihat kesibukan lalu lintas di jalan, tapi pikirannya terbang melayang. Dia tidak mengira akan sampai ke tahap ini. Setelah hampir empat tahun tidak kunjung hamil, ia sudah membicarakan dengan Ferdy. Dan siap jika Ferdy ingin mencari pengganti, agar suaminya memiliki keturunan. Akan tetapi, sikap Ferdy yang tidak terlalu menuntut dan bijak membuat Shafira terlena. Bahwa rumah tangganya tetap baik-baik saja. "Sayang, ngomong apa, sih. Dokter kan sudah bilang bahwa kita berdua tidak ada masalah. Ini soal waktu saja. Alloh sedang menguji kita dengan kesabaran," kata Ferdy beberapa tahun yang lalu, ketika Shafira bilang siap berpisah bukan siap di madu. Namun, kenyataannya sekarang. Ferdy telah melukainya demikian dalam. Bunyi klakson dari mobil yang terparkir di sebelah kiri tempat duduknya, membuat Shafira menoleh. Ia tergesa menghampiri dan membuka pintu mobil. Sebentar kemudian, mobil yang dikendarai kakak iparnya meluncur di jalanan. "Mbak seneng deh, Sha. Denger kabar kamu hamil. Mama yang nelfon, ngasih tahu kemarin." "Iya, Mbak." "Di jaga baik-baik. Tadi kamu habis periksa apa?" "Hmm ... ya," jawab Shafira bohong. "Langsung pulang apa mau kemana dulu. Mbak antar." "Sebenarnya saya mau mampir belanja, Mbak. Kebutuhan rumah habis." "Oke, sekalian mbak belanja juga." Hening sejenak. "Sha, kamu nggak apa-apa, kan?" Shafira kaget dan menoleh, "enggak, Mbak. Saya nggak apa-apa." "Misalnya untuk dibawa perjalanan. Kan biasanya hamil muda gitu, males mau kemana-mana." "Alhamdulillah, saya enjoy saja sementara ini. Memangnya ada apa, Mbak?" "Minggu depan itu kan ada libur hari Kamis. Mbak sama Mas Hari mau ngajak kalian jalan-jalan. Sekalian ibu juga. Nggak jauh-jauh kok. Cuman ke Songgoriti aja. Mas Hari sewa villa di sana. Ntar kita berangkat Kamis pagi. Minggu siang kita pulang. Biar anak-anak, Mas Hari dan Ferdy izin hari Jum'at. Bagaimana?" Shafira menunduk. Memainkan ujung jilbab yang dikenakannya. "Gimana? Bisa ikut, kan? Udah lama kita nggak liburan bareng." "Terserah Mas Ferdy aja, Mbak," jawab Shafira sambil tersenyum. * * * Setelah selesai belanja, Shafira dan Mbak Lena makan di KFC. Keduanya duduk berhadapan. "Sha." "Ya, Mbak." "Mbak tahu, apa yang terjadi antara kamu dan Ferdy." Shafira memandang kaget pada kakak iparnya. "Mbak mengamuk, waktu Ferdy cerita kemarin. Mbak tahu apa yang kamu rasain sekarang, Sha." Shafira menunduk. "Mama belum Mbak kasih tahu. Mbak nggak bisa bayangin gimana marahnya Mama." "Benarkah kamu ingin cerai dari Ferdy, Sha?" Shafira tidak menjawab. "Kami semua menyayangi kamu, Sha. Tentunya Mama pun tidak ingin kehilangan kamu." "Saya tidak bisa bertahan, Mbak. Mas Ferdy telah melukai saya sesakit ini." Mbak Lena menggenggam tangan Shafira. Erat. Dan pada itu ada suara yang menyapa. Merry tersenyum tanpa dosa. Sebelum wanita itu mendekat, Shafira mengatakan pada Mbak Lena untuk berpura-pura tidak ada apa-apa. "Boleh gabung?" izin Merry. "Boleh. Duduklah! Udah lama kita nggak ketemu, ya?" kata Shafira sambil menyambut ciuman pipi Merry. "Tambah cantik kamu, Sha." "Pastilah. Pesona ibu hamil," kata Mbak Lena yang mengagetkan Merry. "Hamil?" "Ya. Delapan Minggu." Ada pias kecewa di wajah bermake-up tebal itu. "Bener, Sha." "Ya," jawab Shafira dengan mati-matian menahan kemarahan di benak. "Selamat, ya." Shafira mengangguk. "Oh ya, darimana ini tadi?" tanya Mbak Lena. "Biasa, Mbak. Single parents. Jadi sibuk sendiri. Urus kerjaan, urus anak. Sendirian semua." "Makanya cepetan cari ganti." Merry tersenyum, "maunya, sih gitu, Mbak." "Nah, tunggu apalagi. Buruan. Cari yang jelas statusnya. Jangan salah ambil punya orang." Ucapan Mbak Lena baru saja mengejutkan Shafira dan Merry. Wajah Merry seperti menciut dan pucat. "Maksud Mbak hati-hati. Kadang pria beristri ngakunya masih sendiri." Ralat Mbak Lena yang semakin menambah Merry salah tingkah. Akhirnya mereka bertiga berbincang banyak hal. Yang sebenarnya membuat Merry semakin tidak nyaman. Sementara Shafira sibuk membalas chat dari suaminya. [Sayang, sudah pulang?] [Belum. Ini masih di mall] [Sama siapa?] Perlahan dan hati-hati, Shafira mengarahkan ponsel untuk mengambil gambar Merry. Karena ketidaknyamanan, wanita itu tidak sadar dengan apa yang di lakukan Shafira. [Ini, dengan wanita simpananmu, Mas.] Terkirim. Hitungan detik kemudian telfon masuk dari Ferdy. Shafira tidak peduli. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN