Keputusan

1381 Kata
Part 2 Keputusan Dini hari, Shafira melangkah hati-hati menuruni tangga. Menuju ruang makan yang temaram dengan lampu malam. Ia mengambil air minum dari dispenser, kemudian duduk dan minum. Kedua telapak tangannya menangkup pada gelas. Mata berbulu lentik itu menatap ke ruang tengah. Dimana mama mertuanya tidur di salah satu kamar di sana. Masih terbayang jelas, rona gembira di wajah anggun wanita umur enam puluh tahun itu. Kegembiraan karena kabar kehamilannya. "Doa mama terkabul, Sha," ucapnya sebelum Shafira naik ke lantai atas untuk tidur. Bagaimana sekarang? Darimana harus mengawali pembicaraan bahwa rumah tangganya akan berakhir. Sebagian orang merasakan sakit setelah perpisahan, dan sebagian lagi memilih berpisah untuk menghilangkan kesakitan. Dan ia tidak tahu pada posisi yang mana. Tapi yang pasti, walaupun perpisahan itu di kehendaki, tetap saja menimbulkan luka di hati. "Jangan sungkan sama mama. Ada apa-apa bilang saja. Mama siap mendengarkan. Aku ini mamamu sekarang." Bu Aida berkata sambil mengelus punggungnya, di malam setelah resepsi pernikahannya dengan Ferdy. Ketika itu Shafira seperti mendapatkan oase di tegah gurun pasir. Ia merasakan rengkuhan hangat yang tidak pernah di rasakan sebelumnya. Peluk mesra seorang ibu. "Jaga istrimu baik-baik, Fer." Masih terngiang jelas pesan mama mertua pada putranya malam itu. Shafira berharap, menikah dengan pria yang sangat di cintainya akan mendapat naungan yang nyaman. Tapi nyatanya sekarang, naungan itu tidak akan seteduh dulu. Semua berubah seiring waktu. Sebagai istri, ia telah lama merasakan perubahan suaminya. Ia pikir itu hanya karena urusan kerja yang terbawa sampai rumah. Tapi sekarang ia tahu, apa yang membuat sikap suaminya mulai berbeda akhir-akhir ini. "Sha, kenapa duduk di sini?" Shafira kaget dan menoleh, saat ada yang bersuara dan menyentuh pundaknya. "Haus, ngambil minum." Ferdy menggeser kursi ujung meja dan duduk tepat di dekat istrinya. "Masih jam dua, ayo tidur lagi. Kamu harus jaga kesehatan." Shafira memandang sekilas pria tampan di sebelahnya. Tubuh itu dan wanginya masih sama. Tapi hangatnya sudah berbeda. "Aku tidak bisa tidur. Mas, tidur saja. Besok ngantor, kan?" Ferdy mengangguk, tapi tidak beranjak dari situ. Beberapa menit yang lalu, ia panik bukan main saat terbangun dan Shafira tidak ada di sebelahnya. Ia takut, istrinya benar-benar telah pergi. Hening menyelimuti. Hanya detak bunyi jam dinding yang terdengar jelas, dengan ritme teratur. Shafira diam menatap gelas dan Ferdy memandangnya dengan rasa was-was yang berlebihan. Ini rasanya takut kehilangan. Bunyi saklar lampu di nyalakan dari kamar depan, membuat mereka memandang ke arah yang sama. Shafira segera berdiri, dan kembali menaiki anak tangga. Tentu sebentar lagi mama mertuanya keluar kamar untuk wudhu. Sudah jadi rutinitas, kalau malam Bu Aida akan bangun untuk sholat sunah. Tidak lama kemudian, Ferdy mengikuti di belakang. ??? "Pagi ini mama pulang. Nanti sore ada pengajian di sebelah rumah. Mungkin Minggu depan Mama kesini lagi. Kamu jaga Shafira baik-baik. Orang hamil sering ngidam sesuatu, Fer. Diperhatikan, ya." Ferdy mengiyakan pesan mamanya sambil memandang Shafira yang menunduk. Sarapan di piringnya belum habis. "Jangan lupa, segera cari asisten rumah tangga. Biar Shafira tidak kecapekan." "Ya, Ma." Setengah jam setelah sarapan, Bu Aida pamitan pulang. Di jemput Pak Bandi. Sebenarnya Pak Bandi ini adalah sopir pribadi mamanya. Terkadang saja kalau ada perlu dadakan, Ferdy akan memanggilnya. Shafira mengemas meja makan. Sedangkan Ferdy duduk di kursi sambil melepas dasi. "Mas izin nggak masuk kerja hari ini," ucapnya saat Shafira tanpa tanya heran memandangnya. "Ada yang ingin Mas bicarakan. Mas nggak ingin, kamu pergi dari rumah." Shafira diam. Ia sibuk mencuci piring dan gelas. Setelah itu mengeluarkan sayuran dan daging dari dalam kulkas. Kemudian membawanya ke dapur yang terhalang tembok setengah badan dari ruang makan. Menyiapkan bahan masakan untuk menu makan siang. "Sha, maafin Mas ya," ucap Ferdy yang sudah berdiri di belakang istrinya. "Jangan tinggalin Mas, Sha. Please ...." "Mas tidak ingin kehilangan kalian. Mas janji, ini kali pertama dan terakhir Mas melakukan kesalahan fatal ini." Hening. Hanya bunyi pisau yang beradu dengan telenan yang terdengar. Ferdy mulai frustasi, ketika Shafira tidak mengatakan apapun. Bagi Shafira, untuk pergi juga tidak semudah itu. Kemana tempat yang akan di tuju. Apa akan kembali ke panti, tempat dia di besarkan? Kembali ke pangkuan Bu Fatma, pemilik yayasan yang kian menua dan menambah bebannya. Tentu tidak. Ia hanya akan menambah beban pikiran wanita yang merengkuhnya sejak bayi. Dulu, setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Pakdhe Har yang merupakan keluarga satu-satunya yang masih ada, terpaksa menyerahkan Shafira yang waktu itu masih berumur setahun pada Bu Fatma. Sahabat ibunya Shafira. "Sebenarnya, pakdhemu dulu tidak tega melepasmu, Sha. Tapi mau bagaimana lagi. Pakdhemu hanya petani musiman dengan lima anak yang masih kecil-kecil. Tentu beban hidupnya akan bertambah dengan merawatmu. Makanya beliau menyerahkan kamu pada ibu." Bu Fatma menjelaskan untuk pertama kalinya, ketika Shafira berumur lima belas tahun. Apa ia akan kembali ke desa, menemui sepupunya. Tinggal di sana dan membebani saudara yang tidak pernah membesar bersama sebelumnya. Mungkinkah mereka bisa menerimanya, dalam kondisi hamil pula. Setetes air mata luruh di pipi dan buru-buru di hapus dengan punggung tangannya. "Sha ...," panggil Ferdy yang benar-benar bingung dengan diamnya sang istri. Pria itu mendekat hendak memeluk, tapi dengan cepat Shafira bergeser. "Mas, pergilah. Aku selesaikan masak dulu. Habis itu kita bicara." Ferdy kembali duduk di kursi meja makan. Mengusap rambutnya dengan kasar. Apapun permasalahan dalam rumah tangga mereka, baru kali ini ia merasakan kegundahan yang luar biasa. Ternyata takut kehilangan itu demikian menyiksa. ??? Selesai memasak Shafira melangkah ke ruang tengah sambil membawakan teh hangat untuk suaminya. "Terima kasih," ucap Ferdy setelah Shafira meletakkan segelas teh di meja. "Sha." "Ya." "Berikan kesempatan untuk Mas memperbaiki semuanya. Mas tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan perempuan itu." Shafira tersenyum tipis. "Bagaimana cara, Mas, melupakan perempuan yang telah, Mas, tiduri berkali-kali. Dan ... bagaimana caraku melupakan pengkhianatan ini," ucap lirih Shafira. Ferdy meraih jemari Shafira untuk di genggam. Tapi dengan halus, di letakkannya kembali telapak besar itu di atas paha pemiliknya. "Dulu aku pernah bilang, jika pernikahan kita sudah membuat, Mas, tidak nyaman. Kita bisa bicarakan. Kita berawal baik, maka biarlah berakhir dengan baik-baik. Bukan menusuk perlahan dari belakang." "Maafkan, Mas." "Semua sudah terjadi. Cukup lama dan memuaskan 'kan, Mas. Dan aku terlalu dungu hingga tidak menyadarinya. Sekarang kita pikirkan saja, bagaimana akan mengakhiri semuanya." "Nggak, Sha. Kamu juga lagi mengandung anak kita." Shafira berdiri, "aku akan menjaganya. Jangan khawatir, Pak Ferdy." Shafira melangkah menaiki anak tangga. Kristal-kristal bening berjatuhan membasahi pipi halusnya. Bersamaan dengan pikiran yang mencoba cari jalan keluar, kemana akan pergi setelah ini. ??? Ferdy merebahkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Memandang lampu kristal yang menggantung di tengah ruangan. Lampu hias itu adalah pilihan Shafira, di belinya setahun yang lalu. Kemudian satu per satu ia memandang seluruh ruangan, yang hampir semuanya adalah hasil dari sentuhan tangan istrinya. Lalu bagaimana ia akan melupakan Shafira, jika jejaknya ada di seluruh penjuru rumah. Ferdy tidak akan sanggup untuk itu. Lantas ... bagaimana dengan mamanya? Ferdy tahu, kalau Shafira sangat di cintai oleh mamanya. Di saat mertua lain menyalahkan karena menantunya tidak kunjung mengandung, tapi tidak dengan mamanya. Wanita itu selalu memberikan wejangan dan semangat pada mereka untuk terus berusaha dan sabar. "Percaya saja sama Gusti Alloh, kapan waktu yang tepat untuk kalian mendapatkan momongan. Yang penting jangan putus usaha dan doa." Itu ucapan mama untuk menyemangati mereka. Selama ini dengan sabar, ia dan Shafira keluar masuk ruang praktek dokter kandungan untuk konsultasi dan pemeriksaan. Sudah berapa dokter yang di datangi. Baik dokter dari rekomendasi teman atau kerabat. Lalu, untuk tujuan apa ia berselingkuh? Kalau untuk mendapatkan keturunan, sudah pasti dia tidak akan pakai pengaman. Selama ini ia cukup berhati-hati, jangan sampai menghamili wanita lain. Is it just for s*x? Rasanya ia ingin menampar diri sendiri berkali-kali. Ferdy merasa hina dan memalukan. Bunyi berisik dari lantai atas membuat Ferdy bangun dan bergegas naik. Pintu kamar sebelah kamar utama terbuka. "Ada apa, Sha?" tanya Ferdy sambil mendekati istrinya yang sibuk menata seprei. "Sambil menunggu kita cari kesempatan bicara pada Mama. Sebaiknya kita pisah kamar saja, Mas. Aku ingin semuanya berakhir secara baik-baik." Ferdy memeluk istrinya dari belakang. Shafira tidak menolak. "Kamu benar-benar serius, Sha." Shafira merubah posisi, hingga saling berhadapan. "Ya. Mas, sudah berbagi raga dengan perempuan lain. Mencari kenikmatan bersamanya. Hubungan yang cukup lama itu menandakan, Mas, memperoleh kepuasan darinya. Jadi ... tidak perlu ada aku lagi, bukan?" Setelah berjinjit untuk mencium pipi suaminya, Shafira tersenyum lalu melepaskan diri dan berlalu pergi. Meninggalkan Ferdy dengan rasa nyeri yang menusuk-nusuk hati. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN