Sebuah Sikap 2

828 Kata
Pelukan Ferdy malah semakin erat. Di ciuminya rambut Shafira yang tidak berhijab. Wangi shampoo memenuhi penciuman, membangkitkan gairah yang hadir tiba-tiba. "Kangen," bisik pria itu di telinga sang istri. Shafira menoleh, "iya. Tapi, Mas, mandi dulu sana. Aku siapin makan siang. Mas, sudah makan siang belum?" "Sudah tadi di bandara Sepinggan." "Baiklah. Mas, mandi aja dulu. Kejutannya ntar habis mandi." Ferdy melepaskan pelukan. Kemudian Shafira mengambil baju ganti yang sudah di siapkan dari atas ranjang. Sebelum berlalu ke kamar mandi, pria itu mendaratkan kecupan hangat di bibir istrinya. Shafira tersenyum. * * * Sehabis sholat ashar, Ferdy memeluk istrinya yang duduk bersandar di ranjang. Sebelum membuka suara, Shafira telah menyodorkan sebuah amplop putih. Ada nama sebuah klinik bersalin tercetak di salah satu sisi amplop. Cekatan sekali Ferdy membukanya. Dan ... ia terbelalak kaget saat melihat dua garis merah di testpack yang di pegangnya. Lalu dengan cepat pula Ferdy, membuka lipatan kertas, surat keterangan dari dokter. "Sayang, hamil?" tanyanya tak percaya. Shafira mengangguk. "Sudah dua bulan. Kenapa tidak bilang dari awal." Shafira tersenyum. Senyum berselubung kegundahan yang coba di sembunyikan. Ia juga tidak membalas pelukan Ferdy yang erat mendekapnya. "Mas, ada kabar satu lagi." "Apa?" tanya Ferdy dengan rona bahagia yang luar biasa. "Kita cerai." Bagaikan tersambar petir di tengah menikmati keindahan pelangi. Ferdy menatap tidak percaya pada istrinya. "A-apa maksudnya?" "Mas, tahu apa alasan aku tidak segera memberitahu kehamilan ini? Karena aku ... aku tahu perselingkuhan, Mas, dengan Merry. Aku tahu dimana kalian selalu pergi. Termasuk kepergian, Mas, kemarin." Tubuh Ferdy lemas dan gemetar seketika. Isak tangis Shafira pecah saat berhenti bicara. "Dua tahun kalian curang di belakangku. Dan aku tahu semuanya, saat aku di nyatakan positif hamil oleh dokter Rita. Kita cerai, Mas." "Tidak," sahut Ferdy cepat. "Aku tidak akan menghalangi hubungan kalian. Jangan membuat dosa. Dua tahun bersama, tentu sudah berapa kali kalian melakukannya." "Sha ...." "Seperti yang pernah aku bilang, aku tidak bisa hidup di madu. Maka ceraikan aku. Terus terang, aku tidak bisa menerima pengkhianatanmu, Mas." "Sha, dengarkan Mas." Ferdy berusaha meraih istrinya. Tapi Shafira menolak. "Mas mengakui kesalahan ini. Tapi Mas sudah tidak bersamanya lagi. Sumpah. Maafkan Mas, Sha." Ferdy memohon. "Putus? Bukankah kalian berkencan beberapa hari ini." Ferdy kembali mendekat. Dan Shafira juga menggeser tubuhnya. "Kami sudah putus. Percayalah! Bagiku kamu lebih segala-galanya." Shafira yang bisanya kalem itu tersenyum sinis, sambil mengusap air matanya. Ia tidak percaya. Jelas suaminya mengajak Merry dalam beberapa hari ini. "Apa servisnya sudah tidak memuaskan lagi, makanya di tinggal." Diam. Ferdy mulai frustasi, ia tidak menduga, di kala ingin kembali semua berubah secepat ini. "Aku akan pergi membawa anak ini. Karena bayi ini adalah keluarga yang masih aku punya. Aku tidak akan membawa apa-apa saat pergi. Karena dulu aku masuk rumah ini juga nggak bawa apa-apa." Shafira berdiri, melangkah ke samping sebuah almari pakaian. Mengambil travel bag yang sudah di siapkan. Kemudian memakai jilbab instan dengan cepat. Ferdy bergegas menahan tangan istrinya. "Jangan tinggalin Mas, Sha. Please ... kita bicarakan baik-baik." "Aku sudah pernah bilang sama, Mas. Kalau hubungan kita sudah tidak bisa membuat, Mas, nyaman. Kita pisah baik-baik. Bukan dengan berselingkuh dan berzina selama ini. Mas, nggak usah kasihan sama yatim piatu seperti aku. Bukankah aku punya anak ini sekarang. Dia yang akan menemaniku." "Sha ... please. Jangan pergi." Bersamaan dengan itu, di lantai bawah terdengar suara Bu Aida, mamanya Ferdy yang datang memanggil Shafira. Membuat kedua suami istri itu terdiam saling memandang. Ini kesempatan Ferdy untuk mencegah istrinya pergi. Di raihnya lengan Shafira, setelah menghapus air mata sang istri. "Ikut turun, atau menunggu di sini?" tanya Ferdy. Shafira menggeleng. Kemudian duduk di sofa kamar. Ia tidak mau urusan menjadi panjang untuk saat itu. Biarlah mama mertuanya tidak tahu dulu. Ferdy seperti mendapatkan angin segar. Ia segera keluar kamar dan turun ke lantai bawah. Meninggalkan Shafira yang tetap kukuh dengan keputusannya. * * * "Shafira hamil, Ma," ungkap Ferdy pada mamanya setelah mereka selesai makan malam. Nampak berbinar pandangan Bu Aida. Senyum tulus seorang ibu terukir di sana. "Benarkah, Sha." Shafira hanya mengangguk dan tersenyum. "Alhamdulillah, nggak sia-sia Mama menginap di sini malam ini. Mulai sekarang mama akan sering menginap. Sebelum kalian nyari asisten rumah tangga untuk mengurus rumah." Ferdy tersenyum dan Shafira hanya diam. Memang selama ini sudah berkali-kali, mama mertuanya menyarankan agar mereka mencari pembantu. Tapi selalu di tolak Shafira dengan alasan ia bisa mengerjakan sendiri pekerjaan rumah, karena tidak berkarir. "Jangan kecapekan ya, Sha. Jaga kandunganmu baik-baik. Kalian sudah lama nunggu saat seperti ini." Shafira mengiyakan dengan anggukan kepala. Hingga makan malam selesai dan masuk ke kamar, wanita itu tidak banyak bicara. "Sha," panggil Ferdy sambil mencondongkan tubuh pada istrinya. "Jangan pergi. Jangan minta cerai." "Kalau begitu, kasih tahu aku, Mas. Bagaimana cara menghilangkan bayanganku saat, Mas, meniduri wanita itu." "Sha, apa yang harus, Mas, lakukan untuk tetap bersamamu." "Beritahu aku dulu, bagaimana aku bisa melupakan perselingkuhanmu." Ferdy terdiam. Menatap penuh harap pada wanita yang telah terkoyak kepercayaannya. Sedangkan Shafira membalas tatapan dengan keteguhan hati yang menginginkan semua segera di akhiri. Next ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN