Pagi yang cerah. Shafira bercanda dengan Mama, Mbak Lena dan dua keponakannya di ruang tengah. Entah apa yang dibicarakan, hingga membuat para wanita itu tertawa lepas.
Ferdy yang minum kopi bersama Mas Hari di teras nampak lega. Ada secercah harapan untuk ia bisa memperbaiki semuanya.
"Udah belum ngopinya, ayo kita jalan," teriak Mbak Lena dari dalam.
"Ayo," balas Mas Hari, sambil menghabiskan sisa kopi.
Akhirnya mereka melangkah menuju Tirta Nirwana Songgoriti yang tidak jauh dari penginapan. Udara dingin pagi itu cukup bersih dan segar.
Ferdy dan Shafira berjalan paling belakang.
"Sayang, terima kasih," ucap Ferdy yang hanya dijawab senyum simpul Shafira. Ia tahu, tentu suaminya mengucapkan terima kasih untuk percintaan mereka malam tadi.
"Sha, mas masih diberi peluang 'kan?"
Shafira memandang jauh ke depan. Melihat rombongan Mbak Lena dan mama mertuanya. Lantas menggeleng pelan. Ferdy terhenyak. Dugaannya ternyata salah. Mengingat kemesraan mereka tadi malam, dipikir akan membuat hubungan mereka akan jauh lebih baik. Ternyata, Shafira tetap pada keputusannya.
"Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai istri."
"Maafkan aku, Mas. Aku tidak bisa melupakan begitu saja. Apa yang telah, Mas, lakukan. Merry janda 'kan? Tinggal, Mas, saja membereskan hubungan kita. Dan kalian bisa bersama."
"Sha ...."
"Aku sudah nggak peduli apapun, Mas. Aku siap kita berpisah."
Ferdy tidak berkata apapun lagi. Ia memandang hampa pada perbukitan jauh di sana. Mereka terus melangkah pelan. Pria itu berusaha meraih jemari istrinya, tapi di tolak. Kemudian Shafira berhenti. Keduanya saling berhadapan.
"Aku akan keluar rumah dan bekerja. Karena aku datang tidak membawa apa-apa. Maka pergipun, aku nggak akan bawa apa-apa. Terima kasih karena telah memberi kehidupan yang layak untukku selama ini."
Ferdy menggigit bibir kuat-kuat. Ada yang terkoyak dalam benak.
"Kamu benar-benar akan pergi, Sha? Kita akan punya anak."
"Ya. Jangan khawatir. Aku akan memberitahu siapa papanya. Saat dia besar nanti."
Shafira kembali melangkah.
"Seperti kita yang dulu tidak saling mengenal, lalu saling jatuh cinta, terus menikah. Hingga, Mas, bosan padaku dan penantian panjang menunggu kehadiran anak telah membuat, Mas, lelah dan berpaling. Sehabis ini, kita akan berjauhan dan saling melupakan."
"Apakah perasaanmu padaku sudah hilang, Sha?"
"Aku mencintai pria yang sudi memunggutku dari kesendirian, hingga membuatku memiliki keluarga dan merasa berharga. Dan ... aku harus sadar ketika kehadiranku sudah nggak lagi diinginkan. Aku harus rela pergi. Mas, berhak bersama perempuan yang, Mas, cintai."
Ferdy meraih lengan istrinya. Menggenggam erat.
"Sha, kamu ingin membunuh, Mas. Kamu tahu siapa wanita yang Mas cintai. Yaitu kamu."
"Mencintai tidak akan menyakiti, Mas."
"Shafira, Mas tahu telah melakukan kesalahan fatal. Tapi semua itu bukan atas dasar cinta. Percayalah!"
Shafira mendongak, memandang wajah pria yang dicintainya, juga yang telah menorehkan luka terdalam dibenaknya.
"Lalu atas dasar apa?"
"Yang jelas bukan karena cinta."
"Apa karena nafsu? Kalau karena nafsu, Mas, punya istri. Bahkan belum pernah sekali saja aku menolak. Kecuali pada waktu siklus bulanan ku. Bahkan ... malam tadi, dengan rasa terluka aku juga melayani. Selagi talak belum terucap, aku tidak boleh menolak."
"Beri hukuman apapun, Sha. Tapi jangan perpisahan."
Shafira mengajak suaminya duduk di bangku semen yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Sementara di ujung sana, keluarganya yang lain asik bercengkrama.
"Aku hanya nggak sanggup, kalau harus terluka lagi, Mas. Perempuan itu memang sudah lama mengincarmu. Aku tahu dari cara dia memandangmu."
"Sayang, Mas tidak pernah mencintainya."
Hening. Keduanya sibuk melayani rasa dibenak masing-masing. Ferdy mencari cara agar jangan sampai terjadi perceraian. Sedangkan Shafira, tetap saja terluka walaupun seribu kali Ferdy mengucapkan kata cinta.
* * *
Sore itu kabut turun perlahan dari perbukitan. Shafira sedang mengenakan sweater warna abu-abu, ketika Ferdy memeluknya dari belakang. Jemari besar itu meraba perut Shafira yang masih rata.
Shafira melepaskan rengkuhan suaminya.
"Akan ku buatkan teh sebentar."
Ferdy menahan lengan istrinya.
"Beri kesempatan mas sampai anak kita lahir, Sha."
Keduanya berpandangan, kemudian tanpa menjawab, Shafira melangkah keluar kamar.
Next ....