Aku merasa sangat sakit secara jiwa dan raga. Apa yang terjadi kemarin serta apa yang aku lihat tadi malam sungguh membuatku terus-menerus merasa mual dan muntah-muntah. Tidak hanya itu, aku sampai berkeringat dingin terus-menerus dan kehilangan selera makan. Aku sama sekali tidak membaik meskipun dokter telah meresapkanku beberapa obat. Denis membuatku tidur di ranjangnya, bukan di tempat pengap itu. Dia merawatku dengan senang hati, sikapnya normal seperti suami pada umumnya. Namun, dia tentu sudah tidak normal. Bahkan, mungkin sudah tidak waras. Dia yang membuatku sakit, tapi dia juga yang bertanggung jawab atas diriku. Entah, apakah ini bisa disebut sebuah perhatian seorang suami pada istrinya atau dia hanya sedang berakting saja. Aku tidak mengerti, dan tidak mau mengerti. Bagiku, dia tetap saja seorang pembunuh kejam. Walau dia suamiku, aku sangat membencinya.
“Jangan marah, Nisa,” katanya seraya menyeka peluh di keningku. “Apa kamu mau aku menceritakan sebuah kisah?”
Aku segera menggeleng cepat, “Tidak!” Demi apapun, aku tidak mau mendengar ceritanya. Dia pasti akan menceritakan hal yang mengerikan, menjijikkan dan memuakkan. Apapun ceritanya, aku tidak berharap mendengarnya sama sekali.
“Ayolah, ini cerita yang menarik,” bujuknya.
“Aku tidak mau,” tolakku lagi.
Denis menghela napas kasar, tatapannya tiba-tiba menjadi dingin membuatku seolah tertelan dalam kehampaanyang nyata.
“Baiklah,” ujarku dengan takut. Entah mengapa, aku merasa dia akan memakan jiwaku jika aku terus-menerus menolak. Aku tidak memiliki pilihan lain, selain berubah pikiran. Ini bukan plin-plan, akan tetapi demi menjaga keselamatan.
Denis tersenyum lebar, “Bagus,” pujinya dengan senyuman senang.
“Suatu malam, Ditengah hujan, seorang gadis menyeret kakinya dengan sekuat tenaga menuju istana kami. Sepertinya, kakinya terluka melihat bagaimana caranya berjalan. Dari gurat rasa panik dan bingung di wajahnya, bisa disimpulkan bahwa dia tersesat.
Gadis muda itu mengetuk pintu istana. Tidak ada jawaban, tentu saja. Dia tidak kehilangan akal, membunyikan bel yang masih berfungsi. Dia berharap ditolong tanpa menyadari kalau ada beberapa pasang mata yang tengah menunggunya. Seandainya dia peka, seharusnya dia tidak memaksa dan pergi saja. Dengan begitu, dia mungkin masih berpeluang untuk tetap hidup di dunia yang fana.
Gadis itu berdiri cukup lama sampai akhirnya berinisiatif untuk memutar knop pintu. Dia tidak punya sopan-santun memang, seenaknya masuk ke dalam rumah orang. Dia sempat terkejut ketika pintu rumah menutup sendiri tetapi tidak gentar. Dia memandangi ruangan, takjub dengan betapa megah dan berbedanya penampilan istana kami.
Jantungnya mungkin berdebar-debar, merasakan ada aura lain yang tinggal. Dia berteriak beberapa kali, mencaritahu siapa pemilik atau orang lain yang berada di sini bersamanya. Namun, dia mulai tersenyum ketika yang menjawab teriakannya hanya keheningan. Dia mungkin berpikir kalau istana itu kosong dan bisa tinggal di dalamnya sesuka hati. Serakah!
Dia kemudian berjalan dan duduk di sofa ruang tengah. Dia meletakkan ransel yang digendongnya sejak tadi ke lantai, mengambil napas panjang lalu mengembuskannya secara perlahan-lahan. Agaknya, dia ingin menarik kain yang digunakan untuk membalut lukanya.
Dia menjerit kesakitan ketika kain itu dilepas.
Setelah sakitnya mereda, dia mengamati luka di kakinya. Kulitnya robek. Mungkin terjatuh atau tak sengaja mengenai ranting, benda runcing atau semacamnya. Dia kemudian mengambil baju dari ransel, membalutkannya ke kakinya.
Dia cukup lama beristirahat sebelum akhirnya bangkit. Dingin dan kelaparan, sementara hujan belum juga mereda, ia berjalan mendekati ruangan terdekat yang bisa dicapainya. Gadis yang tidak tahu apa-apa itu kemudian masuk, tidak menyadari bahaya yang mengancamnya sekarang. Dia takjub, ketika pintu dibuka dan suguhan kue-kue serta teh telah menyambutnya. Ini memang jam minum teh Fiona.
Terburu, gadis itu segera melangkah masuk tanpa memandang apapun lagi. Sayang, niatnya untuk makan segera lenyap. Dia ambruk setelah beberapa langkah. Fiona telah mendaratkan jarum bius ke punggungnya. Gadis itu pingsan, tak sadarkan diri. Fiona menutup pintu kamar lalu menyeringai. Permainannya baru akan dimulai.
Gadis itu perlahan membuka mata.Sedikit demi sedikit kesadarannyakembali. Ia agak tersentakketika melihat Fiona berada di depannya. Gadis itu mencoba menggerakkan tubuhnya, namun tak bisa. Sekuat tenaga ia mencoba namun selalu gagal. Ia lalu menyadari bahwa dia telah kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Fiona telah mengubahnya.
Fiona tersenyum memandangi 'karya seni' yang baru saja dia ciptakan. Fiona telah mengubah gadis itu mirip dengannya, seolah mereka adalah dua anak kembar yang baru saja dipersatukan. Mereka berdua mengenakan baju, model rambut dan dandanan yang serupa. Tak hanya itu, Fiona juga telah mematahkan sendi di setiap rangka penghubung tubuh gadis malang itu. Fiona melumpuhkannya secara permanen, gadis itu tidak akan pernah bisa kabur. Lagipula, itu pilihannya karena telah memilih untuk masuk ke kamar Fiona.
Fiona berjalan pelan dan mengambil kamera yang terletak di atas meja rias. Dia menyeringai membuat gadis di depannya semakin ketakutan.
"Sister, bicaralah! Aku belum memotong lidahmu, hanya mematahkan sendi di kedua bahu, siku, telapak tangan, lutut dan pergelangan kakimu." Fiona memandang kecewa pada tamu di hadapannya. Sedangkan gadis malang di depannya hanya bisa memasang wajah penuh ketakutan.
Fiona berjalan mendekat membuat gadis itu terisak lalu mulai menangis. Melihat hal itu Fiona cemberut, semakin merasa kecewa dengan tamunya. Fiona meletakkan kameranya lalu memandangi wajah gadis malang itu dengan seksama.
"Sister, jangan menangis. Aku ingin mengabadikan wajah bahagiamu," mohon Fiona sembari mengusap wajah gadis malang itu dengan tangannya.
“Kamu dengar? Aku bilang, jangan menangis!” Mata Fiona membulat, menatap lekat pada mata gadis malang itu, memerintah dengan karisma kuat untuk membuatnya diam.
Tubuh mangsanya bergetar, bibirnya digigit kuat, mencoba sekuat tenaga untuk menahan tangisnya agar tidak jebol. Hal itu membuat Fiona merasa senang. Cewek gotik itu memberikan senyuman tipis sebagai hadiah.
“Good, Sister,” pujinya.
"Tolong, lepaskan aku," iba gadis malang itu.
Fiona mengembuskan napas kasar, rasa senangnya terlalu cepat pergi.
"Sister, jangan buat aku bosan. Kita bahkan belum bersenang-senang," keluh Fiona.
Gadis itu menelan ludah, tenggorokannya terasa kering dan sakit. Fiona kembali melihat gadis itu cukup lama seolah ingin memastikan bahwa tamunya dalam kondisi 'bahagia'.
"Sister, haruskah aku potong kakimu? Agaknya itu membuatmu kesakitan."
Mata gadis itu terbelalak, pernyataan Fiona benar-benar menakutinya. Dia menggelengkan kepalanya. Fiona duduk berjongkok di depan gadis yang terkulai lemah di kursi 'penjagalan'-nya. Kemudian cewek gotik itu mulai menyingkap gaun gadis itu sehingga tampaklah kedua kaki gadis itu. Fiona menyentuh semua luka robek di kaki gadis itu namun gadis itu diam saja seolah-olah tak merasakan apapun. Fiona telah menyuntikkan obat bius pada luka gadis itu sehingga mati rasa.
"Gaunku mahal, lho. Jangan merusaknya. Kakimu yang busuk itu seharusnya bersyukur bisa ditutupi dengan gaun indah yang mahal."
Gadis itu hanya mengangguk pelan.Jantungnya berdegup tak karuan. Ia begitu ketakutan. Mungkin, seumur hidup, dia tidak pernah bertemu dengan seseorang seperti Fiona. Dan harusnya dia bersyukur. Karena penghuni lain di villa ini, tidak lebih baik daripada cewek gotik itu, termasuk aku. Mungkin. Aku belum memiliki hasrat membunuh siapapun. Sejauh ini, belum ada tamu yang masuk ke kamarku.
"Sister, kau lapar?" tanya Fiona tiba-tiba.
Gadis malang itu menggelengkan kepalanya cepat.
Fiona memanyun bibir, agak kecewa dengan jawaban yang diberikan oleh gadis di depannya. Cewek gotik itu menghela napas panjang sebelum akhirnya ia bangkit, berdiri lalu melangkah ke tempat kameranya berada. Fiona tersenyum sembari menunjukkan kamera yang dipegangnya dengan tangan kiri karena kidal.
"Sister, I will take your picture. Smile!"
Fiona mengambil beberapa foto dengan kameranya lalu segera melihat hasil fotonya.
"Not bad, Sister." Fiona tersenyum puas.
Gadis itu menelan ludah sekali lagi. Ia benar-benar ketakutan sehingga airmata yang telah ditahannya mulai menggenang di kelopak mata. Tak lama kemudian, airmata itu pun jatuh membuat sebagian maskara tebal yang dikenakannya ikut terbawa. Luntur.
Fiona memandang gadis itu dengan tatapan kosong. Cewek gotik itu meletakkan kameranya lalu berjalan kembali menuju gadis di depannya.
"Sister, aku benci kesedihan," ujar Fiona dingin dengan sorot mata yang begitu dalam dan lekat.
"Ma, ma-afkan aku! Ampuni aku!"
Fiona berdecak. Tangannya dengan cepat meraih pisau belati yang tersembunyi di gaun panjangnya. Dalam satu gerakan, darah segar keluar dari leher gadis itu hingga memuncratkannya ke segala arah. Gadis itu tewas seketika. Fiona menyeka airmata di mata mayat itu.
"Kau merusak dandananku, Jalang!"
Fiona mengumpat, sudah jenuh dan muak dengan tamu di hadapannya.
"Kau sungguh mengecewakanku," ujarnya sambil membuang pisau yang digunakan untuk membunuh gadis di depannya ke tempat sampah.
Di tempat sampah itu ada banyak pisau dengan darah yang telah mengering. Pisau-pisau itu telah berkarat, tetapi masih meninggalkan bau anyir yang amis, membuat orang biasa yang mencium baunyaakan muntah-muntah. Namun berbeda bagi kami. Bau kematian adalah sesuatu yang harus kami cium setiap hari untuk membuktikan jati diri.
Fiona mulai melucuti baju gadis yang telah mati itu. Cewek gotik itu kemudian mengolesinya dengan alkohol. Dia mengambil kapak yang terletak di bawah tempat tidurnya kemudian beralih ke radio tua yang tergeletak diam di mejanya. Dinyalakannya radio usang itu dengan alunan lagu yang mellow dan menyayat hati. Fiona mulai memotong tubuh gadis itu menjadi 8 bagian. Dia mulai dari memenggal kepala gadis malang itu lalu beralih ke kedua tangan gadis itu. setelah itu ia potong kedua kakinya lalu dibagi lagi menjadi dua. Selesailah 'tahap awal' dari pembantaian Fiona.
Fiona masih menari-nari sembari memegang kepala gadis itu seolah sedang mengajaknya berdansa. Ia memeluk erat kepala itu di dadanya. Ketika lagu dari radio usang miliknya terhenti, ia menyeringai lalumelemparkan kepala itu ke tempat tidurnya.
"Itadakimasu," ujarnya dengan senyuman tipis tersungging dari kedua tepi bibirnya yang berwarna hitam legam.
Denis mengakhiri ceritanya, lalu menatapku dengan senyuman penuh arti, “Kamu tahu ini kisah siapa?”
Aku menggeleng, “Tebaklah!” pintanya.
“Kisahmu?” Aku menebak.
“Tidak, ini kisah ibumu,” katanya membuat pupil mataku melebar. “Dan rumah seperti istana ini adalah tempat di mana dia biasa membunuh.”
Aku menelan ludah. “Apa maksudmu?” Aku berpura-pura tidak mengerti.
“Semua keluargaku pembunuh Nisa, termasuk ayah, ibu dan kakakku.”
Aku membeku, paru-paruku mendadak seperti berhenti bernapas.
“Kamu tahu, darah psikopat akan selalu diwariskan,” katanya dengan senyuman terkembang, “Termasuk, jika kamu hamil nanti. Kamu akan melahirkan keturunan yang mewariskan darah seorang Psikopat, Nisa.”
“Tidak!!!! Aku tidak mau!!!”
Aku menjerit dengan segera, tidak terima sekaligus jijik. Namun Denis hanya tertawa terbahak lalu pergi meninggalkanku yang hanya bisa berbaring di kasur karena masih lemah dan tidak berdaya. Sialan. Apa maksud ucapannya barusan? Aku sama sekali tidak berniat memiliki anak darinya. Tidak sama sekali! Aku sama sekali tidak sudi!